Sabtu, 24 Juli 2010

Dedicated to My Brother

Brother...
Do you remember when we were child
and we played together?

Brother...
Do you remember when you broke up my doll
and I cried loud?

Brother...
Do you remember when we had a picnic
that we would not forget?

+++

“Assalamualaikum, Kak Rendra.”
Aku mengucap salam saat membuka pintu ruang rawat. Aku berjalan mendekati kak Rendra yang sedang tertidur lelap dan mencium keningnya. Aku tahu dia tidak sedang terlelap, namun koma.
Koma?
Ya, kak Rendra mengalami over dosis karena mengkonsumsi narkoba. Entah mengapa kak Rendra memutuskan untuk menggunakan barang haram itu. Aku mengelus kepala kak Rendra dengan lembut dan berbicara di dekat telinganya.
“Aku sayang Kakak.”
Tangan kak Rendra bergerak. Aku tersenyum. Selalu begitu. Kak Rendra selalu memberikan respon setiap aku berbicara dengannya. Aku mengecup kening kak Rendra sekali lagi.
Brother, would you please wake up?
Air mataku menetes satu persatu. Kak Rendra pasti kesakitan, batinku sambil memegang tangannya. Dingin.
“Bangun, Kak. Aku sayang Kakak,” kataku. Kali ini kak Rendra memberi respon dengan menggerakkan kakinya.
“Selamat siang.”
Terdengar salam dari luar disusul dengan bunyi deritan pintu. Seorang suster masuk dengan membawa sebuah baki yang terbuat dari alumunium. “Selamat siang, Mbak. Tumben sudah datang?” sapa suster itu. Aku tersenyum tipis.
“Pulang sekolah jam dua belas, Sus,” jawabku datar. Suster itu mengangguk dan tersenyum. Dia mengeluarkan jarum suntik dan menyuntikkan cairan berwarna merah. Dapat kulihat tubuh kak Rendra sedikit menegang saat cairan itu mulai masuk.
“Kondisi Mas Rendra sudah sedikit membaik dibandingkan hari kemarin. Kami, tim medis, masih berusaha menaikkan kondisi tubuhnya sampai ke titik stabil,” kata suster.
“Lalu kira-kira kapan kakak saya akan sadar?” tanyaku. Suster itu menggeleng dan menatapku. “Kami belum tahu, Mbak. Kondisi mas Rendra masih bisa berubah sewaktu-waktu dan kami belum bisa memastikannya,” jawabnya.
Sudah kuduga jawabannya akan seperti itu. Semua suster yang kutanyai selalu menjawab, “Kami belum tahu, Mbak” atau “Mas Rendra belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar” seakan-akan kak Rendra tidak dapat bangun kembali!
Kugenggam tangan kak Rendra dan kutempelkan ke pipiku. Brother... would you please wake up?

+++

“Assalamualaikum.”
Aku langsung terjaga saat mendengar salam itu. Ternyata aku tertidur, batinku. Mbak Mirna, kakak sulungku, masuk dengan membawa beberapa buah tas plastik hitam. Wajahnya tampak letih.
“Waalaikumsalam. Baru pulang, Mbak?”
“Iya, sayang. Mbak bawa nasi bungkus nih. Kamu makan dulu ya,” kata mbak Mirna. Aku mengangguk dan menyambar sebungkus nasi di atas meja. Perutku yang belum diisi sejak pagi menuntutku untuk makan dengan lahap.
“Setelah ini kamu langsung pulang aja ya,” kata mbak Mirna. Kontan aku menggeleng. “Nggak mau, Mbak. Kasian kak Rendra,” jawabku. Mbak Mirna menatapku dan balas menggeleng.
“Ntar kamu kecapekan. Malam ini biar Mbak yang jaga,” kata mbak Mirna. Perkataan kakak sulungku jelas tidak membutuhkan pembantahan. Lagi pula aku harus belajar untuk menghadapi ujian semester besok.
“Tapi kalu ada apa-apa, Mbak telepon aku ya,” kataku sambil melipat bungkus nasi dan membuangnya di tempat sampah. Mbak Mirna mengangguk. Aku tersenyum dan menuju washtafel untuk mencuci sendok bekas yang telah kupakai.
“Aku pulang dulu, Mbak. Assalamualaikum.”
Aku menutup pintu pelan-pelan. Aku pulang dulu, Kak. Kakak cepat sadar, ya. Aku sayang kakak, batinku saat mengintip kak Rendra melalui jendela yang ada di pintu.
“Selamat siang, Mbak. Dokter ingin bertemu dengan Anda sekarang juga,” kata suster yang tanpa kusadari telah berdiri di hadapanku. Aku mengangguk dan segera mengikuti suster itu ke ruang praktek dokter.
“Silakan masuk, Mbak. Dokter Irham sudah menunggu,” kata suster sambil membukakan pintu. Aku mengangguk dan masuk. Senyum lebar dan sapaan ramah dokter Irham langsung menyambutku.
“Selamat siang, Mbak. Silakan duduk.”
“Terimakasih, Dok.”
Aku menarik kursi yang ada di depanku dan duduk diatasnya. Dokter Irham mengangguk dan menyodorkan sebuah map biru. Aku menatap map itu. “Silakan dibuka,” kata dokter Irham.
“Ini apa, Dok?”
Dokter Irham tersenyum dan menunjuk tulisan yang ada di bagian atap map itu. Laporan pemeriksaan kak Rendra. Mulutku membulat dan membuka halaman depan map itu.
“Itu grafik kesehatan kakak Anda,” kata dokter Irham. Mulutku kembali membulat. Dokter itu mengubah posisi duduknya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Tubuhnya condong kearahku.
“Saya ingin memberikan suatu kabar tentang kakak Anda,” kata dokter Irham. Aku menutup map itu dan segera memasang telinga baik-baik.
“Pemeriksaan itu menunjukkan telah terjadi disfungsi medulla oblongata yang disebabkan oleh zat aditif. Hal tersebut sangat mungkin menyebar ke batang otak karena pengaruh zat tersebut.”
Tubuhku serasa membeku.
“Tapi masih ada kemungkinan bagi kakak Anda untuk sadar dan sembuh lagi,” lanjut dokter Irham.
Aku menelan ludah. Aku tahu, dalam dunia kedokteran, yang disebut dengan mati adalah kematian batang otak. Aku juga tahu, letak medulla oblongata sangat dekat dengan bagian otak itu. Itu berarti...
Air mataku langsung berloncatan layaknya memori yang pernah kulewati bersama dengan kak Rendra. Aku mengingat semuanya. Aku sama sekali tidak sanggup seandainya aku harus kehilangan kak Rendra!

+++

Brother... brother...
I still remember when mommy and daddy deforced...
When everything went wrong...
And when you went away...

“Papa benar-benar tidak tahu malu! Ingat keluarga, Pa! Kita sudah memiliki tiga orang putera!”
Mama benar-benar tidak dapat menahan emosi ketika mendapati papa membawa seorang wanita ke rumah. Papa tertangkap basah, namun masih saja mengelak.
“Mama ini apa-apaan sih? Siapa yang tidak tahu malu?”
Aku dan mbak Mirna hanya bisa menangis. Sungguh, kami tidak menyangka hal itu akan terjadi. Papa yang berwibawa, penuh kasih sayang, dan sangat kami hormati ternyata sampai hati untuk berselingkuh dengan wanita lain. Aku menatap wanita selingkuhan papa dengan pandangan benci. Tiba-tiba...
PLAAAKK!!
“Aku tidak pernah mengajarimu untuk berlaku kurang ajar terhadap suami!” bentak papa. Mama jatuh tersungkur. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Aku dan mbak Mirna langsung menghambur ke arah mama.
“Cukup, Pa!”
Terdengar teriakan kak Rendra disusul dengan suara gebrakan di meja. Papa menoleh dan mendapati kak Rendra menatapnya garang. “Tidak usah ikut campur, Ndra!” kata papa.
“Rendra punya hak, Pa!”
Kak Rendra maju mendekati papa. Jarak keduanya kini tidak kurang dari sepuluh senti. “Papa hidung belang!” kata kak Rendra dengan suara pelan namun tegas. Papa langsung memukul kak Rendra.
“Kurang ajar kamu!”
“Papa yang kurang ajar. Papa tega menelantarkan keluarga hanya karena wanita ini!” kata kak Rendra. Kak Rendra berlari ke kamar dan kembali dengan membawa tas ransel. “Rendra nggak tahan tinggal di rumah ini lagi!”
“Kakak jangan pergi!” kataku sambil memeluk kak Rendra dari belakang. Kak Rendra mengibaskan tanganku dan menatapku tajam. “Lebih baik kakak pergi dari pada harus tinggal dengan hidung belang!”
Sejak saat itu kak Rendra tidak pernah kembali ke rumah. Suasana di rumahpun menjadi tidak terkendali. Akhirnya, dengan terpaksa mama dan papa bercerai. Hal ini membuatku jatuh. Aku tidak pernah mengira semuanya akan berakhir seperti ini. Sampai pada suatu pagi, dua orang polisi mendatangi rumahku.
“Selamat pagi. Kami dari kepolisian,” kata seorang polisi sambil menunjukkan kartu identitas. Aku yang membukakan pintu langsung menyilakan mereka masuk.
“Tidak usah, Mbak. Kami hanya ingin bertemu dengan nyonya Nurti. Apa beliau ada?” tanya polisi itu. Aku langsung memanggil mama. Tak lama kemudian mama datang dengan tergopoh-gopoh.
“Maaf, ada keperluan apa Bapak dengan saya?”
“Putera Anda, Rendra, kami tahan karena menggunakan narkoba,” kata polisi. Mama langsung beristigfar dan mengelus dadanya. “Dan sekarang saudara Rendra dirawat di rumah sakit karena menderita over dosis.”
“APA?!”

+++

“Sayang, bangun. Kak Rendra kritis.”
Aku membuka mataku perlahan-lahan dan mendapati tubuhku telah terbaring di ranjang UGD. Aku mengucek mataku dan menatap mbak Mirna. “Rendra kritis,” ulangnya.
Mbak Mirna segera menarik tanganku. Antara sadar dan tidak aku ikut berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Aku mengucek mataku sekali lagi sebelum masuk ke ruang rawat kak Rendra.
Ini pasti mimpi! Aku berharap ini hanya mimpi!
Aku melihat tubuh kak Rendra kejang-kejang. Seorang suster tampak berusaha memasukkan sebuah selang melalui mulut kakakku. Mbak Mirna menghampiriku dan menangis di pundakku.
“Kata dokter sudah tidak ada harapan lagi. Mereka semua menyerah,” kata Mbak Mirna. Aku menggeleng-geleng. TIDAK! Kak Rendra tidak akan pergi secepat ini! Kataku dalam hati. Mbak Mirna terus menangis di pundakku. Tiba-tiba seorang suster datang mendekati kami.
“Siapkan diri Anda, Mbak. Kondisi Mas Rendra sangat kritis. Kami tidak yakin dapat menyelamatkan nyawanya,” kata suster. Aku tersentak dan langsung menghampiri kak Rendra dan menggenggam tangannya.
Tubuh kak Rendra tetap kejang. Suster kembali menyuntikkan cairan di lengan kak Rendra. Air mataku mulai menggenang. Tiba-tiba monitor jantung berbunyi panjang seiring dengan berhentinya kejang-kejang kak Rendra. Dokter Irham langsung melakukan resusitasi, sedangkan aku hanya dapat menangis.
Dua menit... Lima menit... Sepuluh menit...
Inilah yang kutakutkan! Dokter Irham menghampiriku dan mbak Mirna dengan kepala tertunduk. Dia mendesah panjang. “Maaf, Mbak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun kondisi...”
Tidak perlu menunggu kata-kata itu selesai diucapkan, air mataku langsung tertumpah.

+++

Brother...
When I layed there beside you
Could you feel me there?
When I kissed you for the last time
Could you feel it?

Brother...
Would you please open your eyes?
Would you please wake up
And never hold your breath?
I need you here.

No...
I don’t want to remind it
When there was your last breath...
Your last heartbeat and you close your eyes forever..
Good bye, brother...
Mendung menghiasi langit siang itu. Semua tampak gelap. Tak lama kemudian rinai hujan mulai turun. Sepasang suami isteri yang sedang menunggu putusan cerai dan dua orang anaknya turun dari sebuah mobil. Sang suami memeluk Sang Isteri dengan erat, seakan ingin memberikan kekuatan padanya untuk tetap tegar. Sedangkan kedua orang anak mereka saling berpegangan tangan.
Tanah merah itu masih belum mengering...
Masih hangat di benak sepasang suami isteri itu saat mereka melahirkan putera keduanya. Mereka masih mengingat saat merawat anak itu bersama-sama hingga tumbuh dewasa. Sang isteri menangis di pelukan suami, begitu juga dengan kedua anak mereka. Mereka masih tidak percaya saat melihat batu nisan yang tertanam di sebuah pusara.

Muhammad Rendra Adirangga
Lahir: 20 Maret 1985
Wafat: 19 Mei 2009

Dia adalah anak, kakak, sekaligus adik dari keluarga itu! Dialah kak Rendra yang sangat kami banggakan! Selamat jalan, Kakakku sayang. Kami semua sayang padamu.

+++

Love you, my rascal!

1 komentar:

  1. Cerpen ini pernah menang lomba loooh... hehehe... modalnya bisa buat beli printer baru dua biji. hihihi

    BalasHapus

Bagaimana kualitas cerpen yang baru saja anda baca?