Sabtu, 24 Juli 2010

Perfect

Aku merebahkan tubuhku di ranjang. Dengan malas kubuka kembali kertas selebaran yang diberikan oleh guruku tadi siang. Olimpiade kedokteran. Uuh... Apa mereka tidak salah pilih? Padahal masih ada Lia yang jago kimia atau Leon yang selalu menyabet ranking pertama kelas paralel. Belum lagi siswa-siswi lain yang mengikuti berbagai macam olimpiade berjibun banyaknya. Heran, apa mereka benar-benar tidak salah pilih?
”Mita... ayo makan dulu!” kata mama sambil mengetuk pintu kamarku. Aku bangkit, membuka pintu, dan mengikuti mama ke meja makan. ”Hari ini Mama masak sayur kesukaanmu,” kata mama. Beliau tahu benar aku akan makan banyak kalau ada sayur favoritku. Namun kali ini tidak.
”Kamu nggak kenapa-napa, kan?” tanya mama. Aku menggeleng dan menyendok nasi. Pikiranku tetap terfokus pada olimpiade kedokteran itu. Aku sama sekali tidak berminat mengikuti lomba itu meskipun aku ingin menjadi dokter kelak. Tapi guruku dengan enaknya bilang, ”Tidak bisa, Nak. Kamu sudah saya daftarkan.” saat aku menolaknya.
Enak di elo, enggak enak di gue dong!
”Hei hei. Kamu mikirin apa sih? Kok kayak nggak selera makan begitu?” tanya mama. Aku menggeleng dan menjauhkan piringku. ”Aku ada masalah di sekolah, Ma,” kataku tiba-tiba. Mama berhenti mengunyah kemudian menatapku. ”Coba liat deh, Ma,” kataku sambil menyerahkan kertas pengumuman lomba itu. Mama tersenyum lebar.

+++

Keesokan paginya...
”Mita... Ada telepon,” kata mama dari bawah. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi segera turun dan menemui mama. ”Dari siapa Ma?” tanyaku. Mama menggedikkan bahu.
”Halo...”
”Halo. Ini Mita?”
”Iya. Ini siapa ya?”
”Kenalin, gue Brian. Gue disuruh sama guru lo untuk membimbing lo buat persiapan olimpiade kedokteran. Apa nanti kita bisa ketemu di sekolah?”
”Oh iya, iya. Jam tujuh gue udah nyampe kok.”
”Thanks. Gue tunggu di sekolah ya!”

Di sekolah...
”Mita... Mita Pharameswari kelas IPA 3. Are you there?” tanya Thomas, ketua kelas yang mengidap penyakit ayan akut karena entah mengapa tubuhnya selalu gemetar. Di belakangnya tampak seorang cowok atletis berpakaian rapi dan bersepatu kets.
”Ada yang nyariin lo,” kata Thomas. Aku mengernyitkan dahi saat bertemu dengan cowok itu. Tiba-tiba tangannya terjulur. ”Mita ya? Gue Brian yang tadi pagi telepon lo,” kata cowok itu. Aku menepuk dahiku dan membalas tangannya. ”Oh iya. Gue Mita. Salam kenal,” kataku. Brian tersenyum.
”Kita harus ketemu guru lo dulu. Soalnya beliau yang udah merekomendasikan gue buat membimbing lo,” kata Brian. Aku hanya mengangguk.
”Eh iya. Emangnya lo kuliah semester berapa sih?” tanyaku saat kami berjalan di koridor sekolah. Brian tersenyum kecil. ”Tebak coba,” kata Brian. Aku segera menatap wajahnya.
”Semester empat?” tanyaku. Brian menggeleng. ”Gue udah jadi co-ass kali,” jawab Brian. Aku ternganga dan menatap Brian tidak percaya. ”Lulus SMA umur enam belas taun. Lulus kuliah empat taun kemudian,” kata Brian. Kali ini mulutku terbuka lebar. Enam belas tahun lulus SMA? Aku yang berumur tujuh belas tahun saja masih duduk di kelas tiga. Hebat!
”Terus program co-ass lo gimana? Nggak terganggu sama pembinaan?” tanyaku. Brian memasukkan kedua tangannya di saku celana jeansnya. ”Sebenernya sih iya. Tapi gue rela kok. Asalkan lo berusaha sungguh-sungguh dan serius,” jawab Brian. Aku mengangguk. ”Janji?” tanya Brian sambil menjulurkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum.
”Janji.”
Aku tertawa lebar, begitu juga dengan Brian. ”Nah, itu guru gue. Masuk yuk,” ajakku. Tanpa kusadari tanganku telah menggandeng tangan Brian dan menariknya masuk.

Laboratorium Fakultas Kedokteran
”Welcome to my campus,” kata Brian sambil membuka pintu laboratorium. Beberapa mahasiswa yang sedang asik mengamati sesuatu tampak melirik kami sekilas, lalu kembali menekuni kegiatan masing-masing.
“Lo boleh pake jas lab gue,” kata Brian sambil menyerahkan sebuah jas berwarna putih. Aku segera menerimanya. ”Sori, bau alkohol sedikit,” kata Brian sambil mengambil sebuah jas berwarna sama yang digantung dibalik pintu.
”Gue lebih menekankan praktek daripada teori. Gue akan jelasin teori sambil lo praktek. Lo nggak ada masalah kan sama sistem ngajar gue?” tanya Brian lagi. Aku menggeleng. Brian tersenyum.
”OK, kita mulai dengan anatomi tubuh manusia. Konsenterasi, jangan mudah terpengaruh lingkungan. Gue percaya lo bisa,” kata Brian. Dia menarik tanganku dan menunjukkan sebuah tiruan tubuh manusia lengkap dengan pembuluh darah dan kelenjar-kelenjarnya. Penjelasan Brian yang gamblang membuatku mudah memahami materi yang diajarkan. Syukurlah, karena sebenarnya aku bukanlah anak yang mudah menghafal materi baru.
”Ngerti?” tanya Brian setelah dia selesai menjelaskan. Aku mengangguk dan mengacungkan dua ibujari tanganku. Brian tersenyum. ”Sekarang gue pengen ngajarin lo tentang jantung dan pembuluh darah. Kita belajar ngukur tekanan darah dulu,” kata Brian.
”Gue bisa,” kataku sambil mengambil tensimeter yang telah dipersiapkan oleh Brian. Brian tampak kaget, namun tetap membiarkanku menggulung lengan bajunya dan mengukur tekanan darahnya. Tiga menit kemudian...
”Tekanan sistole 120, diastole 90. Normal. Bener kan?” tanyaku pada Brian. Brian segera mengukur tekanan darahnya sendiri dan tersenyum. ”Correct. Kayaknya gue nggak harus ngajarin ini lagi ke lo. Kita pindah ke ruangan selanjutnya,” kata Brian. Begitu seterusnya sampai kami tidak menyadari jam telah menunjukkan pukul empat sore. Brian menyudahi pembinaan itu dan mengajakku makan di kantin.
”Sorry ya, gue bikin lo telat makan,” kata Brian sambil membawa nampan makanan. Dua piring steak dan dua gelas orange juice segera terhidang.
”Nggak kenapa-napa lagi. Asik kok,” kataku sambil menyedot minumanku. Brian tersenyum. ”Lo hebat, Ta. Lo bisa ngerti semua yang gue jelasin. Jarang gue nemuin anak SMA yang cerdas seperti lo.”
Aku tersenyum malu. Aku dan Brian makan tanpa banyak bicara. Setengah jam kemudian kami telah meluncur pulang.

+++

Keesokan harinya...
”Gimana persiapan kamu, Nak?” tanya papa saat aku, mama, dan beliau makan bersama di meja makan. “Persiapkan dengan baik dan serius. Ini juga kesempatanmu untuk mendapatkan pengalaman baru,” kata papa. Aku hanya mengangguk-angguk.
Tiin... tiin...
Terdengar bunyi klakson mobil. Aku segera mencium tangan papa dan mama kemudian segera menemui Brian yang datang dengan Toyota Fortunernya.
”Pagi. Udah siap untuk liat kadaver?” tanya Brian saat aku membuka pintu mobil. Aku terseyum dan mengangguk. Giliran Brian yang menatapku aneh. Dari mana anak ini tahu istilah kadaver? Batinnya.
“Gue tau dari buku ini,” kataku sambil mengambil sebuah kamus kedokteran milik salah satu teman mama yang sengaja kupinjam untuk persiapan lomba.
“Bagus kalo gitu. Berarti lo udah tau istilah-istilah lain selain mayat?” tanya Brian. Aku mengangguk. Brian mengacak-acak rambutku. “Wah, thanks banget ya atas usaha lo. Gue nggak perlu kerja terlalu keras untuk membimbing lo,” katanya. Aku tertawa. Hari ini Brian akan mengajakku melihat organ tubuh manusia yang asli dengan mengorek-korek kadaver. Menurut kamus yang kubaca, kadaver berarti mayat.
”Nggak takut sama darah kan?” tanya Brian sambil memutar stir dan menginjak pedal gas. Aku menggeleng. ”Bagus. Itu berarti kita nggak akan nemuin kendala nanti. Gue bawa beberapa status pasien. Coba lo pelajari dulu. Kalo ada pertanyaan, langsung aja tanyain ke gue,” kata Brian. Aku mengangguk dan mengambil sebuah map yang ada di kursi belakang dan mulai membaca-baca.
Sepuluh menit kemudian aku telah rapi berpakaian jas lab dan menunggu Brian yang sedang mencari beberapa barang yang kami butuhkan untuk bimbingan kali ini. Tak lama kemudian Brian kembali dan memberikan sehelai baju khusus operasi.
”Kita liat sesi bedah aja hari ini, mumpung ada yang mahasiswa yang praktek. Tenang, nggak pakai manusia asli kok,” kata Brian sambil membantuku yang terbalik memakai baju operasi. Tak lama kemudian beberapa orang mahasiswa-Brian bilang mereka itu residen bedah-datang dengan setengah berlari. Brian tampak berbicara sebentar dengan mereka kemudian mengajakku masuk. Semua residen bedah segera menempatkan diri di samping meja operasi sedangkan aku dan Brian berada di ruangan terpisah, namun tetap dapat melihat proses operasi itu.
”Sekarang kita liat dulu proses sebelum pembedahan. Pertama-tama pasien dibius dulu. Bisa total, bisa lokal. Lo bisa liat cara nyuntik dan posisi dimana kita bisa nyuntikin obat bius,” kata Brian. Aku mengangguk-angguk.
”Setelah itu dilakukan proses penyayatan. Pembuluh darah yang kecil dibiarin putus, yang besar diikat dulu agar tidak terjadi pendarahan. Usahakan sayatan itu dekat dengan bagian tubuh yang akan kita operasi.”
Tiba-tiba Brian melingkarkan tangannya di pinggangku seolah ingin memelukku. ”Lo liat deh, cara mereka bikin sayatannya,” kata Brian setengah berbisik. Tiba-tiba aku tidak dapat berkonsenterasi lagi dan hanya dapat merasakan desahan lembut nafas Brian yang sibuk menjelaskan ini itu. Semuanya tampak begitu mempesona. Apakah aku…

+++

Akhirnya hari yang sangat ditunggu-tunggu tiba. Hari perlombaan olimpiade kedokteran. Aku memakai jas putih pemberian Brian dan memasang kancingnya satu persatu. Aku, mama, dan papa segera meluncur ke tempat perlombaan.
”Hai, Yan!” sapaku saat melihat Brian duduk di salah satu kursi penonton. Brian berbalik dan tersenyum. Dia mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku. ”Lo pasti bisa,” katanya. Aku tersenyum. Selanjutnya para peserta dikumpulkan di salah satu ruangan dan diberi pengarahan oleh panitia. Aku mulai unjuk kebolehan dengan unggul dari babak pertama hingga semifinal. Namun, salah satu pertanyaan juri cukup membuatku kelimpungan di babak final. Lawanku sungguh lihai dalam sesi debat ini. Sial! Kalau tahu begini aku belajar berdebat juga!
Kali ini tidak ada waktu untuk berpikir karena waktuku hanya tersisa beberapa detik dan jika pertanyaan tersebut tidak dijawab, maka nilaiku akan dikurangi. Akhirnya aku menjawab pertanyaan itu dengan ragu-ragu dan jelas dapat menjatuhkan poinku. Aku tertunduk saat turun panggung.
”Maafin gue, Yan,” kataku saat turun dari panggung dan mendapati Brian menungguku disana. Air mataku mulai menetes. Brian segera merengkuhku dalam pelukannya. Dia tahu jawabanku pada soal yang terakhir dapat menghilangkan kesempatanku untuk menang.
”Lo udah melakukan yang terbaik. Lo hebat, Ta. Gue salut sama lo. Lo nggak usah menyesali semua yang udah terjadi. OK?” tanya Brian. Aku mengangguk dan mengusap air mataku. Brian mengajakku duduk.
”Jujur… Sejak pertama kita ketemu gue langsung suka sama lo,” kata Brian. Aku diam dan menatap mata elangnya. Brian tampak gugup. “Gue suka semangat lo. Gue suka lo apa adanya. Pokoknya lo perfect buat gue. Lo mau nggak jadi…”
Tiba-tiba terdengar suara dari pengeras suara. Pengumuman kejuaraan. Brian langsung terdiam sedangkan aku memegang tangan Brian dengan erat. Dia balas menggenggam tanganku dengan lembut. Dewan juri mulai membacakan hasil perlombaan. Namaku tidak disebut pada urutan kedua dan ketiga.
”Kayaknya gue nggak ada harapan buat menang deh, Yan,” kataku sambil melepaskan tangan Brian. Brian mengelus punggungku. ”Lo udah berjuang, Ta. Jangan menyesal gitu,” kata Brian. Aku menunduk. Tidak kupedulikan dewan juri yang hendak membacakan pengumuman pemenang pertama. Tiba-tiba…
”Juara pertama kita dengan skor 2835 diraih oleh... Mita Pharameswari!”
Aku langsung menatap Brian tidak percaya. Brian tertawa lebar dan merentangkan kedua tangannya. Aku langsung memeluknya.
”Gue menang, Yan!”

+++

1 komentar:

Bagaimana kualitas cerpen yang baru saja anda baca?