Sabtu, 24 Juli 2010

Never Ending Love Story

Siapa sih, yang ingin menjadi anak dari keluarga broken home? Siapa sih, yang ingin hidup tanpa kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua? Siapa sih, yang ingin dipandang perlu dikasihani hanya karena keluarga kita tidak utuh lagi? Kupikir tidak ada satupun yang menginginkannya, begitu pula denganku.
Papa dan mamaku bercerai setengah tahun yang lalu. Hak asuh anak jatuh pada papa. Aku dan kedua adikku tidak banyak protes saat beliau mengajak kami pindah ke rumah baru, meskipun kami juga harus mengurus kepindahan kami dari sekolah yang lama.
Tidak ada yang istimewa di sekolah baruku, kecuali seseorang yang membuat hatiku berbunga untuk pertama kalinya. Namanya Gilang. Usianya satu tahun lebih tua dariku. Saat ini dia sedang sibuk mempersiapkan ujian akhir sekolah yang kabarnya semakin sulit karena pemerintah kembali menaikkan standar kelulusan. Aku sering berpapasan dengannya saat kami berada di kantin. Dia selalu menyapaku lebih dulu.
Gilang bukanlah orang penting di sekolah. Dia bukan ketua OSIS yang setiap hari mengumpulkan anggotanya di ruang rapat. Dia bukan ketua teater atau klub seni di sekolahku. Dia juga tidak tergabung di klub olimpiade sains bergengsi di sekolahku. Dia hanyalah seorang kapten tim basket yang setiap hari selalu meluangkan waktu untuk berlatih di halaman belakang ditemani olehku.
Ah, menemaninya berlatih basket sudah membuatku senang. Aku juga penyuka basket. Mungkin karena itulah aku kami menemukan kecocokan dalam diri masing-masing. Gilang sudah pernah merasakan bertanding dengan pemain basket nasional saat mengikuti ajang basket yang diselenggarakan oleh salah satu produsen mie instan. Dia mengetahui banyak trik permainan. Itulah sebabnya mengapa klub basket sekolahku disegani oleh klub basket sekolah lain.
Gilang juga mahir berbahasa Inggris. Dia pernah mengikuti program pertukaran pelajar selama empat bulan ke Connecticut. Selama itulah ada seseorang yang hadir di hatiku. Namanya Angga. Dia adalah kakak Gilang. Kak Angga adalah seorang dokter yang pernah menangani cedera lututku saat aku bertanding basket. Hubungan kami semakin dekat saat aku ditugaskan untuk mengikuti olimpiade kedokteran yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi bergengsi di kotaku, dan kak Angga menjadi pembimbingku.
Kami banyak meluangkan waktu bersama. Saat itu entah mengapa aku sedikit melupakan Gilang. Aku tidak begitu bersemangat saat dia meluangkan waktu untuk meneleponku. Aku juga tidak begitu tertarik saat dia mengajakku video chatting. Aku lebih bersemangat saat kak Angga mengajakku melihat rekaman video “Dr. Oz Show” yang dia dapatkan dari sebuah situs.
Siang itu, seperti biasa aku mengikuti bimbingan dengan kak Angga. Sebuah SMS yang masuk ke HP kak Angga membuatnya tersenyum senang. Hari ini Gilang pulang dari Connecticut. Itu artinya, besok pagi aku dan kak Angga akan menjemputnya di bandara. Ayayay… dua orang yang aku sukai akan bertemu besok.
Keesokan harinya kak Angga telah menjemputku di rumah. Toyota Fortunernya membunyikan klakson, membuatku cepat-cepat menuntaskan sarapan pagiku dan berlari menemuinya. Kami bergurau di sepanjang jalan menuju bandara. Di ruang tunggu, kak Angga mendahuluiku saat melihat Gilang sedang duduk dengan dua tumpuk koper di sampingnya. Riuh sejenak. Kak Angga dan Gilang saling berangkulan dan menemuiku yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Gilang memelukku dengan erat saat aku tersenyum ke arahnya. Kak Angga membawa kami mengitari kota Yogyakarta dan berhenti sejenak di depan kampusnya saat dia melihat seseorang. Kak Angga mengenalkannya padaku. Namanya Lian. Dia adalah rekan seprofesi sekaligus teman istimewa kak Angga. Saat itu ada sesuatu yang kurasakan hilang dari tubuhku.
Kami melanjutkan perjalanan. Penghuni mobil bertambah satu, kak Lian. Dia duduk di samping Gilang dan mengobrol dengan riuh. Aku mengamati mereka satu-persatu. Kak Angga. Dia istimewa untukku, namun entah apakah aku pernah menjadi istimewa untuknya. Kak Lian. Istimewa untuk orang istimewaku. Gilang. Setidaknya aku pernah menjadi istimewa untuknya.
Kami berhenti di sebuah rumah di jalan Ganesha. Kak Angga, kak Lian, aku, dan Gilang masuk. Betapa terkejutnya saat aku melihat seorang wanita turun dari tangga menyambut kami. Mama!
“Ma, ini teman Gilang. Namanya Mita,” kata Gilang sambil merangkul mama. Hah? Mama? Gilang memanggil mama dengan sebutan “mama”? Aku menatap mama dengan pandangan tidak percaya.
“Kemarilah, Nak,” kata mama sambil memelukku. Air mataku menetes. Ternyata mama telah menikah lagi dengan seorang pengusaha dua bulan yang lalu. Pengusaha itu adalah ayah dari kak Angga dan Gilang. Itu berarti, mereka berdua adalah saudara tiriku.
Kurasakan kelegaan yang sangat saat aku memeluk kak Angga dan Gilang bergantian. Ternyata rasa cintaku selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mampu mendapatkan cinta dari keduanya. Ya, cinta yang tulus dan abadi dari kedua orang kakak. Dan cerita cinta ini akan terus berlanjut…

1 komentar:

Bagaimana kualitas cerpen yang baru saja anda baca?