Aku bukanlah orang kaya yang mampu menyewa cottage untuk menginap. Aku juga bukan orang yang suka menghabiskan waktuku untuk menunggu saat-saat matahari terbenam pada akhir tahun atau matahari terbit untuk pertama kalinya di pantai. Aku bukan orang yang suka menghabiskan waktuku dengan bermain ombak atau membuat istana pasir konyol seperti yang sering dilakukan oleh kakak-kakakku. Tapi sepertinya aku tidak mampu mengelak dari ritual ini karena semua yang kusebutkan tadi adalah rutinitas keluargaku di malam tahun baru.
Seperti sekarang. Tahun baru masih dua minggu lagi namun aku telah diserahi tugas untuk mencari lima tiket pesawat jurusan Yogya-Bali. Bukan tugas yang susah, karena aku mempunyai nomor telepon dari beberapa penyedia layanan tiket. Aku tinggal menghubunginya satu persatu. Tapi tampaknya aku kehilangan beberapa nomor setelah ponselku hilang beberapa hari yang lalu. Aku memutuskan untuk mendatangi agen-agen itu langsung. Aku mengambil kunci motor milik Ega, kakak pertamaku, tanpa sepengetahuannya. Biar saja. Habisnya, dia tidak pernah mengijinkanku menaiki Satria kesayangannya.
Tidak perlu waktu lama untuk sampai di agen tiket yang berjarak satu kilometer dari rumahku. Hawa sejuk langsung terasa saat aku masuk. Para pekerja tersenyum ramah padaku. Aku menarik sebuah kursi dan duduk menghadap meja.
“Selamat pagi, Mbak. Bisa saya bantu?” tanya si pelayan ramah. Aku tersenyum dan melirik plate name di dadanya. Lusi. “Saya mencari tiket tujuan Bali untuk lima orang. Tanggal tiga puluh satu,” jawabku. Lusi tampak mengetik sesuatu di keyboard. “Untuk tanggal tiga puluh satu sold out, Mbak,” katanya. Aku tercengang.
“Ganti maskapainya aja deh, Mbak. Siapa tau masih ada,” kataku memberikan option. Lusi mengangguk dan mencari lagi. “Sama Mbak. Sold out di data kami,” katanya. Aku menepuk dahiku. Segera kupacu motor Ega untuk berkeliling kembali ke beberapa agen tiket. Hasilnya? Nihil. Semua sold out. Aku duduk di sebuah tempat makan dengan sebuah orange juice di meja. Tanganku sibuk mengetik sms untuk papa dan Ega. Tiga puluh menit kemudian aku kembali meluncur menuju agen terakhir yang disarankan oleh papa. Seperti biasa, para pelayannya menyambutku dengan ramah.
“Ada yang bisa kami bantu, Mbak?” tanya seorang cowok yang melayaniku. Aku mengangguk. “Masih ada tiket untuk tanggal tiga puluh satu, Mas?” tanyaku.
“Tujuan Bali?” tanya si pelayan yang kuketahui dari plate namenya bernama Angga. Aku langsung mengangguk. “Bali memang tempat yang romantis untuk menghabiskan tahun bersama pasangan,” kata Angga. Aku tersenyum. Dasar sok tahu. Mungkin hanya kebetulan saja dia berhasil menebak pulau tujuanku.
“Masih ada tiket untuk lima orang, Mbak,” kata si pelayan. Aku tersenyum lebar. “Saya ambil semuanya,” kataku bersemangat. Angga tampak kaget. Mungkin dia berpikir aku hanya akan mengambil dua tiket, namun ternyata tidak.
“Saya pikir Mbak cuma ambil dua,” kata Angga. Aku sempurna tertawa. Benar apa yang kupikirkan. “Untuk siapa saja Mbak?” tanya Angga. Aku tersenyum. “Saya dan keluarga,” jawabku singkat. Angga tersenyum.
“Berarti, Mbak belum punya pasangan?” tanyanya. Aku tersenyum jengah. “Oh, maaf. Saya tidak bermaksud…”
“Nggak kenapa-napa kok, Mas. Lagipula saya memang belum punya pasangan,” jawabku sedikit malu. Angga tersenyum. Dia menyodorkan tangannya. “Nama saya Angga. Nama Mbak?” tanyanya. Aku tersenyum geli dan menyambut tangannya. “Ari,” jawabku singkat. Dia mengangguk-angguk.
“Saya cetak tiketnya dulu, Mbak. Silakan tanda tangan disini,” kata Angga sambil menyodorkan pulpen dan selembar kertas. Aku mengangguk. Tidak sampai lima menit, kelima tiket itu sudah berada di tanganku.
“Lain kali, kalau Mbak berencana pergi ke Bali, datang saja ke agen kami,” kata Angga. Aku mengangguk dan memberikan sejumlah uang pada Angga. “Makasih Mas,” kataku sambil menjabat tangan Angga. Tiba-tiba kurasakan ada secuil kertas yang sengaja Angga berikan padaku.
“Terimakasih juga, Mbak. Selamat liburan!” kata Angga sambil tersenyum manis. Aku cepat-cepat membuka kertas yang kugenggam setelah sampai di pintu keluar. Tertera beberapa nomor di kertas itu. Nomor ponsel Angga. Aku kontan tertawa dan mengalihkan pandanganku pada Angga yang masih melayani pelanggannya. Angga menoleh padaku dan tersenyum.
Dua minggu kemudian, aku dan keluarga bersiap menuju bandara. Aku ditugasi untuk check in bersama dengan Alan, kakak keduaku. Seperti biasa, kami berebut tempat duduk. Aku tidak ingin duduk di samping Ega atau Alan karena pasti aku akan habis dikerjai mereka. Satu jam kemudian kami telah duduk di pesawat. Jarak tempat duduk kami tidak begitu jauh. Papa dan mama duduk di barisan kanan. Ega dan Alan duduk di barisan kiri sedangkan aku duduk di barisan kanan berjarak beberapa kursi dari papa dan mama. Aku mulai menyalakan iPodku.
“Maaf, Mbak. Bisa geser sedikit?” tanya seseorang yang sebelumnya telah mencolek bahuku. Aku menoleh dan terkejut saat mendapati Angga telah berdiri di belakangku. “Angga!” sapaku kaget. Entah mengapa pada saat itu aku merasa senang sekali. Aku langsung menggeser tempat dudukku.
“Nggak disangka ya, kita bisa satu tempat duduk begini,” kataku senang. Angga tersenyum dan mengangguk. “Iya. Kebetulan aku membeli tiket sama sepertimu. Hehehe.” Angga tertawa. Aku tersenyum. Beberapa lama kemudian pesawat mulai mengudara.
“Kamu sering naik pesawat?” tanya Angga. Aku mengangguk. “Kami selalu merayakan tahun baru di Bali,” jawabku. Angga menggaruk kepalanya. “Wow,” serunya tertahan. Aku tertawa. “Sebenarnya aku merasa bosan. Tapi aku tidak boleh absen sekalipun,” kataku. Mulut Angga membulat kembali.
“Sebenarnya profesimu apa?” tanyaku pada Angga. Angga tersenyum. “Seperti yang kamu lihat saat kamu memesan tiket kemarin,” jawab Angga. Aku mengangguk-angguk. “Kamu kuliah?” tanya Angga. “Teknik Geologi semester tiga,” jawabku. Angga tersenyum.
“Wah, ternyata kamu talented juga. Cerdas,” kata Angga memujiku. Diam-diam aku merasa bangga. “Setiap orang juga bisa cerdas asalkan mau bersungguh-sungguh,” jawabku. Angga tersenyum lagi.
“Bertambah satu kekagumanku padamu. Kamu dewasa,” kata Angga. Kali ini aku tersipu malu. Entah mengapa aku merasa nyaman berada di dekat Angga. Obrolan kami berlangsung seru sehingga tanpa sadar pesawat kami telah mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali. Aku dan Angga berpisah saat kami mengambil koper masing-masing. Aku melanjutkan perjalanan menuju hotel tempatku dan keluargaku menginap.
Sore harinya, aku, Ega, dan Alan pergi ke kafe di dekat pantai Kute untuk reservasi tempat. Kami ingin menikmati pesta kembang api tepat pukul 00.00 malam nanti. Ega dan Alan menghubungi petugas reservasi. Namun sayang, semua tempat telah penuh. Aku, Ega, dan Alan hendak mencari tempat lain saat seseorang meneriakkan namaku.
“Ari!”
Aku menoleh. “Hey. Angga. Kebetulan sekali,” kataku menyambutnya. Angga berlari mendekatiku. Aku mengenalkannya pada Ega dan Alan. “Aku baru saja memesan tempat di kafe ini. Kalian boleh menggunakannya jika kalian mau,” kata Angga. Mata Ega dan Alan langsung berbinar-binar. Kepala mereka mengangguk-angguk. “Tapi… kuharap nanti malam Ari mau meluangkan waktu untukku,” lanjutnya. Tanpa persetujuanku, Alan dan Ega langsung menyanggupi. Aku mencium bau persekongkolan mereka dari lirikan mata masing-masing. Angga mengedipkan sebelah matanya padaku.
“Kamu mau kan?” tanya Angga padaku. Demi melihat Alan dan Ega yang memasang wajah memohon, aku menyanggupinya. Angga tersenyum senang. “Oke. Aku sudah memesan sebuah tempat di tepi pantai. Kita akan menghabiskan waktu disana,” kata Angga. Lagi-lagi aku mengangguk. Ega dan Alan tidak membolehkanku ikut saat mereka akan kembali ke hotel. Jadilah aku dan Angga duduk di kafe berdua sampai keluargaku datang.
“Kamu harus mencoba steak spesial dari kafe ini,” kata Angga saat pelayan datang. Aku mengangguk. Tidak masalah. Aku juga penggemar berat steak. Nama steak yang dipesan oleh Angga kali ini sedikit berbeda, membuatku menaikkan kedua alisku. “Eternal Love Steak.” Steak macam apa itu? Batinku heran.
“Steak ini melambangkan cinta sejati. Siapa saja yang memakannya bersama dengan pasangan, cinta mereka akan abadi,” kata Angga. Aku kontan tertawa. Lagi-lagi sifat Angga yang sok tahu muncul. “Tau dari mana kamu?” tanyaku sambil menyeruput orange juice yang lebih dulu terhidang.
“Aku sempat bertanya pada pelayan disini. Ini steak yang khusus kupesan untumu,” kata Angga lagi. Aku tersenyum geli. Angga memasang tampang protes. “Dari tadi kamu tidak berhenti tertawa atau tersenyum mengejekku,” kata Angga. Tak lama kemudian pesanan kami datang. Sungguh diluar dugaan saat piring berisi steak itu berada di hadapanku. Eh? Bentuknya hati dengan sayur-sayuran yang ditata sesuai dengan warnanya membentuk hati yang lebih besar lagi.
“Cinta itu bisa menumbuhkan berbagai macam perasaan,” kata Angga saat aku mulai terkagum-kagum dengan steak yang baru pertama kali kuihat. Aku langsung mengangkat kepalaku. “Kita bisa merasa senang, sedih, terlindungi, dan dimiliki sekaligus. Cinta bisa mengubah warna hidup kita, seperti sayuran yang ditata di piring steak ini. Cinta membuat hidup kita lebih berwarna,” kata Angga. Aku mengangguk-angguk. “Ayo, dicoba steaknya,” kata Angga. Aku menurut.
“Kamu sering juga ke Bali, Ngga?” tanyaku sambil memasukkan sepotong kecil steak ke dalam mulutku. Angga menggeleng. “Nggak sesering kamu,” jawabnya. Aku langsung memukul tangannya pelan. “Jangan meledekku seperti itu. Ini ritual keluarga yang harus kuikuti,” sambarku. Angga tertawa.
“Mungkin mereka ingin kamu mendapat jodoh disini,” kata Angga. Aku menggeleng. “Mungkin juga tidak, karena aku selalu menghabiskan malam tahun baru bersama keluargaku saja,” jawabku. Angga tersenyum.
“Malam ini kamu akan menghabiskan malam tahun baru denganku,” kata Angga. Aku mengangguk-angguk. Tidak masalah selama keluargaku bisa merayakan malam tahun baru seperti tahun-tahun sebelumnya. Lagipula siapa yang bisa menolak untuk menghabiskan malam bersama cowok ganteng bernama Angga di kafe seromantis ini?
“Ri, apa benar, kamu belum punya pendamping… Mmm… Maksudku…”
“Pacar?” sambarku dengan cepat. Angga mengangguk sambil menatapku yang tidak berhenti mengunyah steak. “Aku memang belum punya pacar,” jawabku jujur. Angga tampak senang sekali. “Kalau begitu… apakah resolusimu di tahun 2010 adalah memiliki pacar?” tanyanya lagi. Aku hampir saja tersedak mendengar pertanyaan konyol itu.
“Mungkin,” jawabku sambil tersenyum geli. Angga tersenyum lebar. Tak lama kemudian kami telah menghabiskan makanan masing-masing. Angga mengajakku duduk di tepi pantai.
“Kamu suka pantai?” tanya Angga saat aku duduk disampingnya. Aku mengangguk sambil memegangi rambutku yang mulai berlarian ditiup angin. Angga tersenyum dan mengambil sapu tangan di saku celananya. “Pakai ini. Mungkin bisa membantu menahan rambutmu,” kata Angga. Aku tersenyum dan mengambil sapu tangan itu kemudian mengikat rambutku. Angga menggelengkan kepala. “Bukan begitu maksudku,” katanya sambil melepas ikatan di rambutku. Dia melipat saputangannya menjadi segitiga dan memakaikannya di kepalaku sebagai bandana. “Kamu terlihat lebih cantik dengan rambut tergerai,” katanya. Tanpa sadar pipiku memerah. Angga selalu berhasil membuatku tersipu malu.
“Kamu suka musik?” tanya Angga lagi. Aku mengangguk. Tiba-tiba Angga menghilang dan kembali dengan sebuah gitar di tangan. “Aku akan menyanyikan lagu untukmu,” katanya sambil duduk di hadapanku dan memainkan gitarnya. Angga mulai menyanyi sedangkan aku tersenyum geli. Angga langsung berhenti memainkan gitarnya. “Tuh kan,” katanya sambil memasang tampang cemberut. Aku tertawa sedangkan Angga mulai mengambil suara lagi.
“I’m never gonna say goodbye… coz I never wanna see you cry… I swore to you my love would remain… And I swear it all over again and I… I’m never gonna treat you bad… Coz I… never wanna see you sad… I swore to share your joy and your pain… And I’d swear it all over again… More I know of you… is the more I know I love you… And the more that I’m sure I want you forever and ever more…”
Aku memandang Angga yang sedang memainkan gitar. Tiba-tiba dia berhenti dan menatapku. “But until that day… you… know you are… the queen of my heart,” kata Angga. Tiba-tiba dia meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
“Would you be mine?” tanyanya. Aku tercengang dan tanpa sadar aku mengangguk. Angga tersenyum senang dan memelukku dengan erat. Dia menatap mataku lekat-lekat dan tersenyum jahil. “Aku yang mengatur semuanya. Itu sebabnya tiba-tiba kamu bertemu denganku di pesawat dan semua tempat di kafe sengaja kupesan semua agar aku bisa berdua denganmu malam ini,” kata Angga. Senyum jahil tetap terpampang di bibirnya. Mulutku kontan menganga. Angga menggenggam tanganku dan meletakkannya di dadanya.
“Aku juga bukan seorang pelayan yang bekerja di agen tiket,” kata Angga sambil melirikku. Aku balas meliriknya. Kami tertawa bersamaan. “Aku sudah menduganya sejak awal, karena tampaknya kau mengetahui banyak tentang Bali, especially pantai Kute,” jawabku. Angga mengangguk-angguk.
“Bulan depan aku akan kembali ke Australia untuk melanjutkan studiku disana,” kata Angga. Aku tetap diam. “Tenang saja, setelah studiku selesai, kamu tidak perlu datang ke dokter untuk general check up,” kata Angga. Mulutku lagi-lagi menganga. Jadi Angga adalah seorang mahasiswa kedokteran yang berkuliah di Australia! Angga terkekeh melihat reaksiku yang terheran-heran.
Aku tersenyum dan menatapnya. Wajah Angga semakin mendekat. Aku memejamkan mataku, menunggu bibirnya menyentuh bibirku. Tepat pada saat itu, bermacam-macam kembang api diletuskan. Langit menjadi semarak seketika. Angga memelukku dari belakang sedangkan aku berteriak-teriak seru saat melihat kembang api meledak di atas kepalaku. Ah, kembang api tahun ini memang lebih indah dari tahun-tahun sebelumnya…
Cerpen ini juga pernah ditolak sama penerbit... atau jangan2 gara2 timing yang g tepat kali a...
BalasHapus