Aku menatap seorang gadis cilik yang pagi ini dibawa ke rumah sakit dengan pandangan miris. Entah apa lagi yang dia alami sampai-sampai tubuhnya penuh luka lebam. Baru beberapa minggu yang lalu dia dirawat di rumah sakit dengan gejala yang sama: tubuhnya penuh luka lebam. Namun, setiap kali aku menanyakan sebabnya, anak itu hanya menjawab, “Saya jatuh dari metromini.”
Sungguh terenyuh aku mendengarnya. Anak ini baru berumur sebelas tahun, namun bnyak sekali kehidupan pahit yang telah dia rasakan. Dia sudah tidak memiliki orang tua, namun masih memiliki seorang kakak yang berusia empat tahun lebih tua. Sayang, sang kakak pergi tanpa diketahui rimbanya.
Aku mulai mencuci kedua tanganku dengan sabun dan mengenakan sarung tangan karet. Untuk kasus seperti ini, biasanya para suster yang menangani. Namun kali ini biar aku saja yang melakukannya.
Sampai di ruang UGD, aku segera menuju tempat perawatan. Setelah melihat kondisi pasien, aku langsung meminta para suster untuk memindahkannya ke ruang tindakan operasi kecil. Ada beberapa luka di kakinya yang kuperkirakan harus dijahit. Tanpa membutuhkan banyak waktu, anak itu telah siap untuk ditangani.
“Siapa namamu?” tanyaku sebelum aku mulai melakukan tindakan. Anak itu meringis kecil, menggeser kakinya sedikit, lalu menjawab, “Lia.”
Aku mengangguk-angguk dan mulai memerksa luka di kakinya. Tampaknya memang cukup lebar, namun tidak terlalu dalam. Aku memutuskan untuk tidak menjahitnya.
“Lia jatuh dari metromini lagi?” tanyaku. Dia mengangguk, begitu juga denganku. Namun aku mendadak ragu saat melihat bekas luka di tangan kirinya, tepatnya bagian lengan atas. Tampak sepertiga bagian lengannya membiru. Aku sedikit khawatir ketika Lia mengaduh saat aku menyentuh bagian yang membiru itu.
“Lia beneran jatuh dari metromini?” tanyaku. Lia mengangguk berkali-kali. Tapi warna biru di lengan atasnya tampak seperti bekas pukulan benda tumpul, batinku. Entah karena terlalu sering menonton acara penganiayaan di televisi atau karena naluri seorag dokter, aku segera memeriksa kepalanya.
“Dok, kepala saya nggak sakit,” kata Lia saat aku memeriksa kepalanya. Aku tersenyum. “Saya hanya ingin tahu apakah ada luka juga di kepalamu,” jawabku. Lia mengangguk-angguk. Setelah tiga puluh menit berlalu, aku selesai memeriksanya. Semua luka yang ada di tubuhnya telah selesai kuobati. Anak ini tidak perlu dirawat, batinku saat memberikan selembar resep pada orang yang waktu itu mengantar Lia ke rumah sakit dan memintanya kembali kontrol esok hari.
+++
“Pasien Lia sudah ada di ruang tunggu, Dokter Kevin,” kata seorang suster saat aku masuk ke ruang praktik. Aku meletakkan tas kerjaku dan duduk di kursi. Seorang pekerja membawakan segelas teh hangat dan langsung kuteguk.
“Sudah siap untuk praktik?” tanya suster. Aku tersenyum dan mengangguk. Suster itu mulai memanggil pasien satu-persatu. Pasien pertamaku pagi ini adalah Lia. Lia adalah pasien yang penurut. Dia selalu datang setiap kali kuminta untuk kontrol ulang.
“Selamat pagi,” sapaku saat Lia masuk. Dia tampak menggandeng seseorang yang belakangan kuketahui adalah sopir metromini bernama Bakir yang sering Lia bantu untuk mencari uang.
“Selamat pagi juga, Dokter,” jawab Lia. Dia meminta sopir metromini yang mengantarnya untuk duduk, kemudian tidur di tempat yang telah disediakan. Seorang suster memberikan status pasien kepadaku. Aku membacanya dengan teliti, kemudian bertanya dengan sedikit nada curiga kepada Pak Bakir.
“Lia bilang, dia jatuh dari metromini kemarin. Benar, Pak?” tanyaku. Sopir taksi itu tampak akan mengatakan sesuatu namun Lia cepat-cepat menyahut, “Iya, Dok. Beneran deh.”
Keningku berkerut, namun aku segera memeriksa Lia. Tidak ada masalah dengan kondisi anak ini. Hanya saja warna biru di lengan kiri atasnya masih tampak, bahkan semakin jelas terlihat. Lia mengaduh kesakitan saat aku menyentuhnya.
“Kita harus melakukan foto rontgent untuk mengetahui kondisi tangan kiri Lia,” kataku pada Pak Bakir. Pak Bakir hanya terdiam. Tiba-tiba Lia yang baru saja selesai kuperiksa menyahut, ”Pak Bakir nggak punya uang.”
Aku tertegun. Meskipun baru tiga tahun menjalani profesi sebagai seorang dokter, aku telah paham bagaimana rasa kemanusiaan terkadang tidak berlaku di rumah sakit. Pengobatan pasien seringkali tertunda hanya karena masalah ekonomi. Aku tahu pemerintah telah memberikan program jaminan kesehatan, namun terkadang ada pula oknum yang mempersulit para golongan ekonomi lemah untuk mendapatkannya. Sebagai seorang dokter, terkadang akupun tidak dapat melakukan tindakan jika si pasien bermasalah dengan uang.
Seperti saat ini. Aku mengizinkan Lia keluar dari ruang praktikku tanpa tindakan apapun. Hanya prosedur pemeriksaan standart yang dia dapatkan.
+++
“Sudah pulang. Vin?” tanya mama saat aku kembali dari rumah sakit. Aku mengangguk dan duduk di sebelah mama. Kubiarkan Mbok Rah, pembantu yang telah bekerja di rumahku sejak aku berumur lima tahun, meletakkan sepatu dan tas di kamarku.
“Kamu kelihatan capek sekali hari ini?” tanya mama lagi. Aku mengangguk dan mengendurkan dasiku. Mama tersenyum dan mengelus rambutku. Hal yang sering dilakukan mama meskipun aku telah dewasa.
“Mama sudah masak makanan kesukaan kamu, Vin. Sebaiknya kamu segera makan, kemudian istirahat. Mama nggak mau dokter pribadi mama sakit,” kata mama. Aku tersenyum dan memeluk mama, kemudian segera menuju kamarku.
Makan malam yang sunyi. Papa seperti biasa belum pulang dari kantornya, sedangkan mama sibuk dengan aromatherapy yang beberapa hari yang lalu dibelinya. Seluruh ruangan berbau lavender sekarang.
Aku mengambil sesendok nasi dari ricecooker yang letaknya tidak jauh dari meja makan. Tampaknya malam ini perutku menolak untuk diisi makanan terlalu banyak, meskipun mama memasak sayur kangkung kesukaanku. Aku makan sambil sesekali memikirkan Lia. Sepertinya ada sesuatu yang membuatku ingin menyelidikinya.
“Kok kamu makan sedikit sekali Vin? Masakan mama kurang enak ya?” tanya mama. Aku tersenyum dan menggeleng. “Tidak, Ma. Kevin hanya sedang ada sedikit masalah di rumah sakit,” jawabku.
Mama mengelus kepalaku dan duduk di sampingku. Beliau mengambil sebutir apel dan mulai mengupasnya perlahan-lahan. “Masalah dengan pasien kamu?” tanya mama. Aku mengangguk. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Cepat-cepat kuraih gagang telepon dan menelepon asistenku di rumah sakit.
“Halo, selamat malam.”
“Selamat malam. Suster, tolong alihkan semua pasien saya kepada dokter Brian malam ini karena besok saya tidak dapat datang.”
+++
“Lucu. Kamu akan melakukan penyelidikan? Memangnya kamu pikir, kamu seorang detektif? Lebih baik kamu urus pasien-pasienmu saja,” kata Brian, teman seprofesiku, saat aku meneleponnya. Aku tersenyum.
“Aku titip pasien-pasienku sebentar,” kataku sambil menutup telepon. Segera kupakai topi hitamku dan keluar rumah tanpa membawa mobil. Rencananya hari ini aku akan menumpang metromini yang dikondekturi oleh Lia.
Sudah satu jam aku berdiri di pinggir jalan Ganesha, pusat metromini yang ada di kotaku. namun Lia tidak kunjung muncul. Berulang kali aku melirik arloji, berharap dia segera muncul.
Diiin... Diiin...
“Jalur lima Pak! Jalur lima!”
Terdengar suara yang sangat kukenal. Suara Lia. Sudut bibirku terangkat. Dengan sekali lambaian metromini itu menepi dan berhenti. Sekilas kulirik sopir yang duduk di depan. Pak Bakir.
Sempurna! Batinku saat metromini mulai melaju. Aku memilih duduk di belakang agar aku dapat mengawasi Lia. Dia bekerja sangat cekatan, seperti orang dewasa saja. Tiba-tiba bahuku dicolek seseorang. “Ongkos, Mas,” katanya.
Aku mengeluarkan selembar uang duapuluh ribuan. “Ambil saja kembaliannya,” kataku saat si penarik ongkos memberikan uang kembalian. Dia tersenyum. “Terima kasih Mas. Terimakasih.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian aku kembali serius mengamati Lia. Tidak ada masalah dengan anak itu. Hanya saja dia jarang sekali menggunakan tangan kirinya. Aku tahu tangan kirinya mengalami cedera. Tak lama kemudian metromini melaju di jalan Mangkubumi dan melewati rumah sakit tempatku bekerja. Lia tampak berbicara sebentar dengan Pak Bakir kemudian turun. Aku buru-buru mengikutinya.
Lia menyusuri gang sempit disamping rumah sakit. Aku berusaha mengkutinya tanpa menimbulkan suara. Saat itu suasana mendung dan hujan gerimis turun. Beberapa kali aku hampir terpeleset karena jalan sangat licin.
“Sudah kau dapatkan uang itu, anak ingusan?!” bentak seseorang saat Lia memasuki sebuah gubug. Langkahku terhenti. Segera kucari tempat persembunyian. Entah apa yang Lia lakukan di dalam sana. Yang kudengar hanyalah bentakan-bentakan yang sangat kasar yang tidak pantas diucapkan.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam. Tanpa pikir panjang aku keluar dari persembunyianku dan menerobos masuk. Kulihat Lia sedang terkapar dengan memegangi lengan kirinya. Beberapa orang bertubuh sangar berdiri di depannya dengan membawa sebilah kayu. Jadi... ini alasan mengapa banyak luka di tubuhnya? Luka-luka itu disebabkan oleh pukulan kayu, bukan karena jatuh dari metromini! Batinku.
Aku segera memeluk Lia dan membawanya keluar. Tidak kupedulikan teriakan geram dan ancaman dari orang-orang bertubuh besar itu. Satu hal yang kupikirkan: aku harus menyelamatkan anak ini.
+++
“Kadaver dengan kasus drowning dengan ciri-ciri: tinggi tubuh 160 cm, kulit sawo matang, rambut ikal sebahu berwarna hitam, identitasnya telah diketahui...”
Aku mendengarkan penjelasan seorang co-ass yang sedang mengambil siklus forensik dengan seksama. Sesekali aku tersenyum saat si co-ass sibuk mendeskripsikan kadaver dengan berbagai gaya: menggaruk-garuk kepalanya ketika kebingungan, menjelaskan dengan gerak tangan yang berlebihan, bahkan terkadang kehabisan suara karena gugup.
“Cukup. Saya mengerti,” kataku sambil berjalan mendekati si co-ass. Co-ass itu mengangguk dan memberikan sepasang sarung tangan karet padaku. “Tolong ambilkan map yang ada atas meja,” kataku sambil meneliti kembali kadaver yang tadi diteliti oleh Lia, adikku.
Adik?
Ya, Lia adalah adikku. Adik angkat lebih tepatnya. Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk menjadikannya sebagai adik angkat. Mama dan papa setuju. Sekarang, Lia telah menyelesaikan studinya di fakultas kedokteran dan tengah mengambil profesi di rumah sakit tempatku bekerja.
Aku sendiri telah resmi menjadi dokter spesialis forensik satu tahun yang lalu. Pendidikan forensik kudapatkan di Yale University, Amerika, dilanjutkan dengan mengambil profesi di salah satu universitas di Indonesia, dan akhirnya bekerja kembali di rumah sakit ini.
“Silakan, Dok,” kata Lia sambil menyerahkan sebuah map berwarna biru muda. Aku mengangguk dan membaca data-data otopsi dengan teliti. Sekilas kulirik Lia yang berdiri tidak jauh dariku. Air matanya menggenang.
“Kenapa Lia?” tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari map yang sedang kubaca. Tiba-tiba terdengar suara isakan. “Kadaver itu bernama Eka Saputra kan, Kak?” tanya Lia. Aku mengangguk.
“Akhirnya aku bisa bertemu dengan kakak kandungku, meskipun dengan kondisi seperti ini...”
+++
Untuk keluargaku, terimakasih telah mendukung cita-citaku.
Cerpen renungan hati... Dibuat pada suatu malam saat aku mengenang perjuangan kedua orang tuaku dalam mendukung cita2q...
BalasHapus