Minggu, 25 Juli 2010

Pengorbanan Terakhir

Bruuukkk…
Kraaakkk…
“Kakaaaaaak!!!”
Aku terbangun dari tidur malamku. Segera kuraba kening dan leherku. Keringatku mengucur deras, sederas ingatanku tentang kak Reza, kakakku. Sesaat aku terdiam, namun beberapa detik kemudian air mataku menetes.
“Kak Reza…”
Aku mengerang lirih. Entah mengapa hati ini rasanya sakit sekali setiap kali mengenang kejadian itu. Tuhan… mengapa kecelakaan itu harus terjadi. Kecelakaan yang membuatku harus berpisah dengan kak Reza. Kecelakaan yang membuatku kehilangan dia untuk selama-lamanya…

+++

Pagi ini aku bangun dengan semangat. Tidak seperti biasanya, aku menyentuh air dingin di bak mandi tanpa rasa enggan. Hari ini aku dan keluargaku akan berekreasi bersama ke Dieng, sebuah daerah yang terletak di Jawa Tengah yang terkenal sebagai penghasil keripik jamur kesukaanku. Meskipun membutuhkan waktu sekitar lima jam perjalanan, namun pemandangan yang tersaji di sepanjang perjalanan cukup menghilangkan rasa lelah. Begitu kata kak Reza.
“Dari mana aja sih? Kakak tunggu dari tadi,” kata kak Reza sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. Aku mendengus kecil, meletakkan tas yang kubawa, dan masuk kembali ke rumah. Terdengar suara tawa kak Reza.
“Hey hey hey… Gitu aja marah. Kakak bercanda tau,” kata kak Reza sambil memelukku dari belakang. Hal yang sering dia lakukan untuk membujukku saat aku merajuk. Aku menggeleng jengah dan berbalik.
“Nyebelin!” kataku singkat dan bersiap untuk berlari ke kamarku. Namun sebelum niatku terlaksana, kak Reza memegang tanganku dan menuntunku kembali ke mobil. “Jadi orang jangan cepat marah. Ntar cepat tua loh,” kata kak Reza. Aku terkikik geli.
“Mana papa dan mama, Kak?” tanyaku saat kami telah berada di mobil. Kak Reza menggedikkan bahunya dan menekan klakson mobil. Tak lama kemudian papa datang tergopoh-gopoh.
“Mendadak mama sakit perut. Perjalanannya kita tunda saja ya,” kata papa. Aku mendengus kesal dan cepat-cepat keluar dari mobil. Tidak kuhiraukan panggilan kak Reza yang mengikutiku dari belakang.
“Mit… Mita…” Kak Reza terus mengikutiku samai ke kamar. Kututup pintu kamarku dengan kasar dan membaringkan tubuhku di kasur. Moodku berubah 180 derajat pagi itu.
“Lagi ngapain Dek?” sapa kak Reza disusul dengan bunyi deritan pintu. Aku memalingkan wajahku dan mendengus sekali lagi. Kurasakan kak Reza duduk di tepi tempat tidurku dan tertawa kecil.
“Manja banget sih kamu,” kata kak Reza singkat, namun cukup membuatku tertarik untuk mencubitinya berkali-kali. Kak Reza tertawa, menjerit, kemudian tertawa lagi sambil berusaha menghalau tanganku.
“Mama udah baikan tuh. Kita berangkat sekarang,” kata kak Reza. Aku nyengir ke arah kak Reza dan menggamit tangannya. “Ayo kita berangkat!” kataku semangat. Kak Reza menyentil hidungku dan kami kembali ke mobil bersama-sama.
Sesampainya di halaman depan, mama menyambut kami. Wajah beliau pucat dan kedua tangannya terus saja memegangi perut. “Maaf, Sayang. Mama tidak bisa ikut hari ini,” kata mama. Aku kecewa berat. Hampir saja aku kembali ke kamarku seandainya kak Reza tidak menahanku.
“Biar mama istirahat saja dirumah. Lagipula kita masih bisa having fun kan, meskipun mama tidak ikut?” kata papa sambil mengelus punggungku. Aku menatap mama, meminta persetujuan.
“Papa benar. Biar mama istirahat saja dirumah,” kata mama. Demi melihat wajah mama yang tampak pucat, akhirnya aku mengangguk. Kak Reza melingkarkan tangannya di bahuku dan berkata, “Ayo kita berangkat!”
Aku tersenyum dan mencium kening mama, kemudian masuk mobil. Kak Rendra ganti mencium kening dan tangan mama dan berkata, “Reza pergi dulu Ma.”

+++

Sebuah truk berukuran besar berhenti di pinggir jalan. Sopir yang mengendarainya membuka pintu dengan kasar dan mengumpat-umpat pada dua teman seprofesinya. Dengan panik dia memeriksa bagian belakang mobil. Ada cairan berwarna hitam kental yang menetes dari sana. Oli.
“Menurut kau, berapa panjang tetesan oli ini sampai ke tempat kita berangkat tadi?” tanya si sopir dengan logat bicaranya yang khas. Seorang temannya meletakkan salah satu tangannya di dahi untuk mengurangi silaunya matahari dan menatap ke kejauhan.
“Menurut awak, perjalanan kita ini sudah lima ratus meter jauhnya. Jadi, mungkin saja oli ini sudah menetes sepanjang itu,” kata orang itu. Si sopir menepuk dahinya dan dengan geram dia membentak, “Bah! Lima ratus meter kau bilang? Alamak, ini berbahaya sekali. Cepat kau telepon polisi!”.

+++

“Masih jauh, Kak?” tanyaku bosan. Kak Reza dan papa yang duduk di depan tertawa geli. “Ini belum setengah perjalanan,” kata kak Reza. Aku mendesah panjang dan kembali menatap keluar.
“Kenapa? Kamu bosan ya?” tanya papa. Aku hanya mengangguk tanpa melepaskan pandanganku dari jendela. Sepertinya pemandangan diluar mulai indah, batinku sambil menurunkan kaca mobil. Kak Rendra ikut-ikutan. Dia mematikan AC dan membuka semua jendela mobil lebar-lebar. Angin sejuk mulai terasa.
“Coba kamu lihat ke sisi kanan jalan. Ada pemandangan bagus disana,” kata kak Reza. Aku menurut dan melemparkan pandanganku. Tepat di sisi kananku, berhektar-hektar sawah yang hijau terhampar dengan indahnya. Aku tersenyum lebar dan cepat-cepat melepas kaca mataku. Kata dokter, minus mataku bisa dikurangi dengan melihat pemandangan seperti ini.
“Bagus kan?” tanya kak Reza sambil tetap fokus mengemudi. Aku mengangguk dan mulai mengabadikannya lewat kamera ponsel.

+++

“Sudah kau telepon polisi hah?!” tanya si sopir truk dengan panik. Temannya mengangguk berkali-kali. “Polisi sedang menuju kemari,” jawabnya. Sopir itu kembali mengangguk dan mulai berjalan mondar-mandir, hal yang sering dilakukannya ketika sedang menghadapi masalah penting.
“Sekarang apa yang dapat kita lakukan? Bah! Kalau saja kau mengeceknya dengan benar, tentu saja tidak akan menetes sepanjang ini,” katanya. Si sopir terus menggerutu sampai beberapa polisi datang dari arah yang berlawanan.
“Selamat siang. Ada yang bisa…”
Polisi itu terdiam saat melihat tumpahan oli yang begitu banyak. Dengan sigap dia mengambil handie talkie dan menghubungi rekan-rekannya sedangkan sopir truk itu hanya dapat berkata, “Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Ada jurang di sebelah kanan jalan. Jika ada kendaraan yang tergelincir, mau tak mau juranglah yang mereka hadapi.”

+++

Aku masih sibuk memandangi pemandangan di luar jendela. Bibirku berkali-kali bergumam kagum saat melihat hutan ataupun sawah yang sambung menyambung dengan teratur dan sangat indah. Udarapun mulai terasa lebih dingin, membuatku mengambil jaket kak Reza yang ada di sebelahku. Kak Reza hendak menutup jendelaku, namun kularang. Biarlah aku menghirup udara segar ini setelah dijejali oleh udara kota yang penuh polusi.
“Kak…”
Aku memanggil kak Reza dan memeluknya dari belakang. Kak Reza melepaskan salah satu tangannya dari kemudi dan mengelus kepalaku yang berada di pundak kirinya. “Makasih ya, Kak. Pemandangannya bagus banget,” kataku. Kak Reza mengangguk dan mencium pipiku. Iseng, kucubit pipinya keras-keras. Kak Reza mengaduh sedangkan aku dan papa tertawa geli.
Kuarahkan kembali pandanganku pada pemandangan di luar. Ttiba-tiba aku terpaku pada noda panjang berwarna hitam di jalan yang tengah dilewati oleh kami.
“Kak Reza, hati-hati. Ada oli di sebelah kanan jalan,” kataku. Kak Reza memelankan laju mobil dan memandang ke kanan jalan. Hasilnya nihil. Tidak ada oli di jalan barang setetespun.
“Mana olinya?” tanya papa yang juga ikut-ikutan memandang sisi kanan jalan. Telunjukku mengarah. “Itu Pa, yang di tengah jalan itu! Olinya banyak sekali Pa!” kataku panik. Kak Reza segera menghentikan mobil dan mengajakku turun.
“Mana olinya? Nggak ada kan?” kata kak Reza meyakinkan. Aku terdiam. Aneh… bukankah tadi ada banyak tetesan oli di jalan ini? Batinku bingung. Kak Reza memintaku kembali masuk mobil dan melanjutkan perjalanan.
Dan tetesan oli yang ada di jalan itu kembali muncul!

+++

“Lapor, Pak. Kami telah mencoba mengurangi tetesan oli itu, namun hasilnya nihil,” kata seorang anak buah Letnan Haryo, polisi yang menangani kasus ini. Polisi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dan mendesah panjang. Segera diinstruksikannya anak buahnya untuk menjalankan strategi kedua.
“Segera tutup semua jalan yang menuju kemari. Cari jalur alternatif! Lakukan pengamanan!” perintahnya. Semua anak buahnya mengangguk dan segera kembali ke lokasi. Sopir truk dengan panik mendekati polisi dan bertanya, “Bagaimana Pak polisi?”
“Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan selain menutup akses melewati jalan ini,” kata Letnan Haryo. Sopir truk itu mengangguk dengan cemas seraya berdoa agar Tuhan tidak menyiapkan skenario lain. Agar Tuhan menyelamatkan semua atas kuasaNya.
Namun semua terlambat. Sebuah mobil APV silver berjalan tidak terkendali saat menuruni jalan yang curam…

+++

“Ada apa ini, Reza?!”
Papa yang panik berteriak keras, apalagi saat mobil menghantam sisi kiri jalan. Kak Reza menggeleng-gelengkan kepala dan berusaha menginjak rem. “Reza tidak tahu, Pa. Mobilnya tidak bisa dikendalikan!”
Aku yang juga berada di mobil APV silver itu hanya dapat menatap sisi kanan jalan dengan ngeri. Tetesan oli itu tampaknya semakin banyak saja. Aku memegang handle di pintu dengan erat.
“Reza! Ada oli di sebelah kanan jalan!”
Benar apa yang kulihat! Batinku. Oli! Itu oli yang tumpah! Aku tidak dapat berpikir lagi ketika mobil kembali menghantam sisi kiri jalan. Teriakan histeris keluar dari mulutku.
Tak lama kemudian sebuah tikungan tajam mulai tampak. Hanya ada sebuah pohon besar yang berdiri kokoh disana. Jantungku semakin berpacu kencang, sekencang mobil yang melaju tanpa sanggup ditahan. “Kak Reza… bagaimana ini?” tanyaku panik. Terdengar suara desahan kak Reza.
“Pohon itu akan menyelamatkan kalian,” kata kak Reza. Papa yang berpegangan kuat-kuat pada handle mobil langung menyahut, “Apa yang akan kamu lakukan?”
“Reza akan menghentikan laju mobil ini dengan menabrakkannya pada pohon itu. Dan kalian akan selamat,” kata kak Reza. Aku menggelengkan kepalaku keras-keras.
“Bukan kalian, tapi KITA!” kataku keras.
“Kakak akan berusaha menabrakkan mobil ini tepat di pintu kanan belakang. Tabrakannya akan cukup keras, tetapi pintu belakang tidak akan terbuka. Kamu akan selamat, Dek,” kata kak Reza.
“Tidak, Reza. Jangan tabrakkan mobil ini. Pasti ada jalan lain,” kata papa. Kak Reza menggeleng. “Sudah tidak mungkin lagi, Pa. Ini satu-satunya jalan,” katanya pesimis.
“Nggak, Kak!” sahutku. Mendadak suara kak Reza menjadi parau. “Lebih baik kakak yang berkorban untuk kalian,” katanya.
“Apa? Jadi Kakak…”
“Mita! Lebih baik mengorbankan satu nyawa daripada dua ataupun tiga!” sambar kak Reza. Suaranya makin bergetar saat mobil semakin mendekati tikungan tajam itu.
Dan kak Reza benar-benar melakukannya…

+++

“Yang sabar ya, Sayang.”
Mama mengelus punggungku sesaat setelah aku turun dari mobil, seakan berusaha untuk memberikanku kekuatan. Aku menatap nanar. Sebuah pemandangan yang sangat menyayat hati terhampar di depan mata. Bukan lagi pemandangan indah itu. Bukan lagi sawah atau hutan yang berjajar dengan manis. Tetapi sebuah makam. Makam yang tanahnya masih memerah basah. Makam yang baru berumur tiga hari, namun telah kukunjungi berkali-kali…

Reza Wisnu Wardhana
Lahir: 18 Februari 1988
Wafat: 30 September 2009

Makam kak Reza…
Masih hangat di benakku saat kak Reza membujukku yang sedang merajuk. Masih kuingat saat kak Reza mencium kening mama dan mengucapkan salam perpisahan. Masih jelas terasa pelukanku pada pundak kak Reza saat berada di mobil, dan pelukan itu menjadi yang terkahir untukku!
Aku tahu, aku tidak dapat menyalahkan takdir dan keputusan yang Tuhan tetapkan. Namun jika boleh meminta, Tuhan, izinkanlah kak Reza mendapat tempat yang layak disisimu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang. Hapuslah semua dosanya, sebagai balasan dari pengorbanannya. Muliakanlah dia. Karena aku tahu, Tuhan, Engkaulah sang Maha Kuasa.

+++

Love all brothers in the world!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana kualitas cerpen yang baru saja anda baca?