Cerpen ini dibuat untuk mengenang teman kami tercinta, Falentina Airin, yang meninggal akibat kanker otak yang dialaminya lima bulan yang lalu. Dia adalah teman sekaligus sahabat kami yang cerdas dan selalu ceria. Kami tidak pernah mengira penyakit itu akan merenggut nyawanya tepat beberapa minggu sebelum UM UGM 2010 dilaksanakan. Rest in peace, my best friend…
+++
Dear Luna “Love”
Bagaimana kondisi kesehatanmu? Kuharap aku bisa segera pulang setelah semua urusanku selesai…
Love you,
Arya
Arya mendesah dan memejamkan mata. Jadwal yang padat membuatnya sedikit kelelahan hari ini. Dia tidak berharap akan mendapat balasan dari email yang dikirimnya malam itu, namun sebuah email baru telah menghuni inboxnya.
Lovely Arya…
I miss you so much… Aku baik-baik saja… Selesaikan saja urusanmu dan selamatkan nyawaku…
Luna “Love”
Arya tersenyum. Ah, dia memang selalu ada untuk mendukungku, batinnya. Arya kembali membalas email dengan senyuman lebar.
“Love” Luna…
Terimakasih… Terimakasih karena kau selalu ada disaat aku membutuhkanmu. I love you…
Arya.
Arya mematikan notebook dan menyalakan lampu meja belajarnya. Diambilnya sebuah kamus tebal dan ditelusurinya kata-kata yang ada satu persatu. Tak lama kemudian mata itu terpaku pada sebuah kata. Diambilnya lagi sebuah buku lainnya yang tidak kalah tebal kemudian diletakkan buku itu disamping kamus yang telah dibukanya lebih dulu. Dalam hatinya dia berujar, “Aku pasti bisa!”
+++
“Outstanding!” kata Dr. Carter saat Arya menemuinya di ruangan pribadinya. Arya tersenyum puas. “Thanks, but I do need some informations from you about that case,” katanya. Dr. Carter tersenyum dan duduk di depan Arya. Dia siap membuka diskusi panjang bersama murid terbaiknya.
“Can I ask you something?” tanyanya sebelum diskusi dimulai. Arya mengangguk. “Sebenarnya siapa Luna? Kenapa kau begitu berambisi untuk menyelamatkannya?” tanya Dr. Carter. Arya tampak berpikir sejenak. “Is she your girl?”
“More than just a girl, Sir. She is my everything,” jawab Arya. Dr. Carter mengangguk-angguk. “Kalau begitu kamu harus menjadi neuro surgeon secepatnya. OK, what do we get for today?” tanyanya. Arya menyodorkan beberapa lembar kertas. Dr. Carter membacanya dengan serius dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Im sorry, it is untreatable,” kata Dr Carter sambil melepas kacamatanya. Arya mendesah. Dia sudah menduga jawabannya akan seperti itu. “There must be a way,” kata Arya lirih. Dr. Carter mendesah.
“Kamu sudah mendapatkan hasil terakhir MRI-test-nya?” tanya Dr. Carter. Arya mengangguk. “Sel jahanam itu sudah menyebar terlalu jauh,” jawab Arya sedih, namun masih terdengar optimis. Dr. Carter bangkit dan menepuk-nepuk punggung Arya. “Jangan menyebutnya dengan jahanam,” katanya. Arya menunduk. Jangan menyebutnya dengan jahanam katanya? Lalu nama apa yang akan kau berikan pada sebuah penyakit yang mengancam nyawa orang yang paling kau cintai?
“We will find the way to save her. I promise,” kata Dr. Carter menenangkan Arya. Tangannya menggenggam kedua pundak Arya. “I’m terribly sorry,” katanya lagi. Arya mengangguk. Tanpa dia sadari air matanya menetes.
+++
Dear Luna…
You have to be strong for your surgery… I miss you so much…
Arya.
Arya mendesah dan mengambil buku pemberian Dr. Carter di dalam tasnya. Menjadi seorang dokter bedah syaraf memang bukan hal yang mudah. Dia harus melalui pendidikan di fakultas kedokteran Universitas Gajah Mada selama enam tahun lamanya. Betapa beruntungnya dia saat terpilih untuk mengikuti ajang pertukaran pelajar dengan mahasiswa Harvard University dan menjadi the best student selama masa pertukaran tersebut. Dengan senang hati dia menerima tawaran untuk melanjutkan sudinya di universitas terbaik di Amerika itu.
Arya kembali mendesah untuk kedua kalinya saat membaca email balasan dari Luna. “Aku akan menunggumu, Sayang. Tetaplah berjuang.” Arya membaca email itu keras-keras. Ada sesuatu yang dirasa meletup di dalam tubuhnya. Semangat itu kembali muncul. Arya mengambil spidol berwarna merah dari laci mejanya dan kembali belajar.
“Hey, I heard someone speak Indonesia here,” kata Eric, teman satu asramanya yang baru saja masuk. Arya tersenyum dan menatap sahabatnya yang duduk di tempat tidurnya. “Belum tidur?” tanya Eric. Arya tersenyum dan menggeleng. Pikirannya kembali terfokus pada buku yang sedang dibacanya.
“Bisakah kau berhenti belajar sebentar saja?” tanya Eric sambil mengambil buku Arya yang ada di meja. Arya mendengus kesal. “I can’t,” jawabnya singkat sambil merebut kembali buku yang diambil oleh Eric. Eric tertawa geli. “Jangan sampai sel otakmu mengalami mutasi karena terlalu banyak menghafal pelajaran kedokteran,” katanya. Mau tidak mau Arya tertawa.
“I just wanna be the best student,” katanya. Eric tersenyum. “Everyday, each semester, every year,” lanjutnya. Arya hanya tersenyum. Dia selalu menerima hasil outstanding selama belajar di Harvard. Semua itu dia lakukan untuk Luna. Untuk menyembuhkan penyakit mematikan yang dialami olehnya.
“She is a strong girl, you know. Kebanyakan penderita oligodendroglioma tahap akhir tidak mampu survive,” katanya. Arya hanya mengangguk-angguk. Sulit menyembuhkan penyakit itu hanya dengan operasi, batinnya.
“Aku memiliki beberapa daftar lembaga yang mengurusi masalah kanker. Mungkin kau membutuhkannya,” kata Eric. Arya tersenyum. “Thanks, tapi Luna akan tetap tinggal dan menjalani pengobatan di Indonesia,” jawabnya. Eric menggelengkan kepala.
“You sure?” tanyanya tidak percaya. Arya mengangguk dan tersenyum. “Padahal kau sendiri pernah bilang kalau teknologi kedokteran di negaramu masih kalah jauh dengan Amerika. Kualitas dokter-dokternyapun tidak bisa bersaing dengan dokter-dokter lulusan Harvard. Bagaimana mungkin kau bisa menyerahkan Luna pada orang-orang yang tidak professional seperti itu?” tanya Eric heran.
“Aku kan dokter lulusan Harvard,” jawab Arya enteng. Eric langsung bangkit dari duduknya. “Kau tidak berencana mengobatinya sendiri kan?” tanyanya kaget. Arya terkekeh. “Aku sudah mengontak beberapa dokter ahli bedah onkologi di negaraku dan mereka siap membantu mem-follow-up Luna,” jawabnya.
“You must be kidding me!”
+++
Dear Luna…
Aku sedang mempelajari penyakit yang kau derita. Aku berdiskusi dengan temanku dan kami menemukan cara untuk mengakhiri penyakitmu. Besok aku akan bertemu dengan Dr. Carter dan berbicara dengannya mengenai masalah ini.
Your dearest Arya.
Beberapa lama kemudian sebuah email masuk.
Arya…
Terimakasih karena kau mau berjuang untukku. Melihat semangatmu yang begitu menggebu membuatku ingin hidup lebih lama lagi. I love you so much.
Luna
Tanpa terasa sebutir air mata jatuh dari mata elang Arya. Aku akan terus berusaha, Luna. Aku akan terus berjuang demi kesembuhanmu...
+++
“It might not work, Arya,” kata Dr Carter saat Arya mendiskusikan terapi yang rencananya akan digunakan untuk menyembuhkan Luna.
“It won’t work if we don’t try,” jawab Arya. Dr Carter mendengus kesal. “Now what, kau akan menjadikan Luna sebagai kelinci percobaanmu?” tanyanya. Arya langsung menunduk. “Don’t be so selfish. Kau harus berpikir ulang untuk menerapkan metode ini pada Luna.”
“Lalu apa lagi yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan nyawanya? Aku datang dengan berbagai solusi pengobatan namun kau selalu menolaknya mentah-mentah! She is very important for me, and I’ll do anything to save her life!” kata Arya sedikit kecewa. Dr. Carter tampak menghela nafas.
“So you have to think deeper,” kata Dr Carter menenangkan Arya. Arya terdiam. “Kau adalah mahasiswa spesialis semester akhir Harvard Medical School, and you are my best student. I know you know what you have to do. Namun kali ini kau harus mengurangi sedikit sifat keras kepalamu itu. She is untreatable. You know that. You better take her home and make her comfortable,” kata Dr Carter.
“But I can’t,” kata Arya. Dr Carter menghela nafasnya. “I lost my parents two years ago. Please, Doc. You have to understand me. She is my sister,” kata Arya sedikit putus asa. Dr Carter tampak kaget.
“Jadi Luna adikmu?”
Arya mengangguk.
“Dan dia satu-satunya anggota keluargamu yang masih hidup?”
Arya mengangguk lagi.
“You know, it will be worth it to try that methods. I’ll help you,” dukung Dr. Carter.
+++
Dear Luna…
I miss you so much… Aku akan pulang ke Indonesia bersama Dr Carter minggu ini.
Arya.
Arya menekan tombol send dan tersenyum puas. Beberapa lama kemudian sebuah email balasan masuk.
Lovely Arya…
Aku akan menjemputmu di airport!
Luna loves you.
Arya tersenyum simpul. Seandainya saja kau masih memiliki cukup tenaga untuk menungguku di ruang tunggu bandara seperti saat kau mengantarkan kepergianku ke Amerika beberapa tahun yang lalu, batin Arya. Dia segera mengetik email balasan dan mematikan laptopnya. Besok Dr Carter menunggu Arya di ruang pribadinya untuk berdiskusi. Dia harus datang lebih pagi jika tidak mau ada para interns yang meminta waktunya untuk mengajari mereka ini-itu.
Keesokan paginya…
“Dengan hasil MRI yang semakin membaik, aku optimis rencanamu akan berhasil,” kata Dr. Carter saat Arya melaporkan hasil pemeriksaan Luna. Arya tersenyum puas. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Arya memiliki dua ponsel. Ponsel yang pertama digunakannya untuk berkomunikasi dengan teman dan dosen-dosennya. Ponsel yang kedua digunakannya untuk berkomunikasi dengan Luna, adiknya. Ponsel pertamanya tidak mungkin diaktifkan saat dia berdiskusi dengan Dr Carter.
Luna? Ada apa?
“Sorry, Sir,” kata Arya sambil berjalan menuju sudut ruangan. Dia mengangkat telepon itu dan terdengarlah suara Luna di seberang. “Hello, Rascal!” sapa Luna riang. Arya tersenyum.
”Ada apa meneleponku?”
“Aku hanya merindukan kakakku. Ada yang salah?”
“Of course not. Hanya saja waktunya kurang tepat. Ah, Dr Carter pasti mau merelakan waktu diskusinya berkurang untukmu.”
“Kapan kau akan pulang ke Indonesia?”
“Dua hari lagi. Kau harus mempersiapkan dirimu untuk operasi.”
“Sure. Aku akan kirim email untukmu.”
“Okay. Bye, Sissy.”
+++
Dear Luna…
Besok aku pulang ke Indonesia bersama Dr Carter. Tidak sabar rasanya. Aku merindukan pelukan hangatmu itu.
Arya.
Seperti biasa balasan email itu datang begitu cepat.
Arya…
Aku juga merindukan aroma colognemu yang aneh itu… He he he… Aku menunggumu, Sayang…
Luna.
Arya tersenyum dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Dia menoleh dan menatap dua koper sedang yang berdiri di depan lemarinya. Tunggu aku, Luna. Kau akan segera sembuh, batinnya.
Keesokan paginya, Arya dan Dr Carter bertemu di bandara. Dr Carter menyambut Arya dengan senyuman lebar. “You are ready for the journey, Kid,” sapa Dr Carter saat melihat Arya memakai baju bermotof batik berwarna merah marun. Dia mengacak-acak rambut Arya. Arya hanya tertawa. Tak lama kemudian Arya dan Dr Carter telah berada di dalam pesawat yang siap membawa mereka ke Yogyakarta.
Perjalanan yang cukup panjang membuat Arya dan Dr Carter lelah. Namun beberapa saat setelah kaki mereka menginjak tanah Indonesia (untuk Dr Carter ini adalah pengalaman pertamanya), rasa lelah itu berubah menjadi rasa senang yang membuncah. Sebuah mobil APV silver bertuliskan ”RS. BETHESDA” berhenti di depan ruang tunggu. Seorang supir segera membawa Arya dan Dr Carter ke rumah sakit.
Di rumah sakit…
Arya tertegun saat mendapati tubuh Luna tergolek lemah di ranjang ICU. Kenapa kau terlihat begitu lemah, Luna? Batinnya. Dengan perlahan dirabanya dahi sang adik. Luna membuka matanya perlahan-lahan.
“Kakak?”
Luna mengucek matanya beberapa kali. Arya segera merengkuhnya dalam pelukan. “Benar ini kau?” tanya Luna seraya memeluk sang kakak lebih erat lagi.
“Aku datang, Sayang,” kata Arya. Luna menangis haru di pelukan sang kakak. Arya melepas pelukannya dan memandangi Luna yang tubuhnya semakin mengurus.
“Kau diet ketat ya?” tanya Arya. Luna tertawa geli dan mencubit lengan sang kakak. “Tubuhku terlihat menyedihkan ya,” katanya sambil menatap mata kakaknya. Arya tersenyum dan kembali merengkuh sang adik dalam pelukannya. “Kau harus sembuh kembali,” katanya. Luna hanya mengangguk-angguk.
“Lama sekali aku tidak merasakan pelukan ini,” kata Arya. Luna tersenyum geli dan mendongakkan kepalanya menatap sang kakak. “Kemana parfummu yang berbau aneh itu? Aku merasa sedang berada di kuburan jika mencium aromanya,” balas Luna. Mereka tertawa bersama.
Seorang dokter menepuk pundak Arya, memintanya untuk ikut.
“Silakan masuk,” kata dokter itu sambil membuka pintu. Arya masuk dan mendapati Dr Carter bersama dengan beberapa dokter lainnya duduk mengitari meja marmer putih berbentuk elips. Arya menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya.
“Ada sesuatu yang harus kami katakan pada Anda, dokter Arya,” kata seorang dokter berkepala botak. Tiba-tiba lampu di ruangan itu meredup, sejalan dengan sorotan sinar LCD pada layar yang semakin menyilaukan mata. “Itu adalah hasil terakhir MRI saudari Luna,” katanya lagi. Sekilas gambar tengkorak manusia itu tampak normal, namun mata Arya membelalak saat mendapati hampir seluruh otaknya tertutupi oleh bayangan putih.
“Sel kanker saudari Luna sudah menyebar ke seluruh otaknya. Operasi dan kemoterapi tidak bisa menolongnya,” kata satu-satunya dokter wanita yang ada di ruangan itu. Arya menatap hasil MRI itu tanpa berkedip.
“Ini bukan hasil tes terakhir Luna yang saya terima melalui email,” kata Arya tidak percaya. Semua dokter yang ada di ruangan terdiam, begitu pula dengan Dr Carter yang sejak tadi tidak mengerti pembicaraan para dokter itu.
“Kami mohon maaf. Pasien Luna sendiri yang meminta kami untuk mengirimkan hasil MRI palsu ke email anda,” kata seorang dokter berkacamata disusul anggukan dari rekan-rekannya. Mulut Arya kontan menganga.
“But why?” tanya Arya tidak percaya. Tanpa disadarinya sebutir air mata jatuh membasahi pipinya. “Pasien tidak ingin Anda khawatir dengan kondisinya yang semakin memburuk,” jawab dokter berkacamata itu lagi. Arya menghembuskan nafas panjang. “Doctor Carter, we will do the surgery tomorrow,” katanya. Tubuhnya bergetar menyadari peluang hidup sang adik sangat tipis.
Dr Carter menggeleng. “Its too risky, Dear. I’m afraid she will not awake anymore,” jawabnya. Arya menggeleng. “I will do the surgery tomorrow. Who else is with me?” tanyanya. Tidak ada satupun dokter yang mengangkat tangannya tanda setuju. Arya menggeram. ”Fine! I’ll do it my self!” katanya sambil bangkit dari tempat duduknya.
“You can’t do that, Kid. This is a big surgery. You can’t handle it alone,” kata Dr Carter berusaha menghalangi Arya yang hendak keluar ruangan.
“You are right. I can’t handle it alone. Tapi tidakkah hatimu tergerak untuk membantuku menyelamatkan adikku?” tanya Arya garang. Dr Carter tidak mengatakan apapun lagi. Arya tidak peduli dan segera menemui Luna di ruang rawatnya.
“Kenapa kau membohongiku?” tanya Arya saat mendapati Luna duduk di ranjangnya. Luna tersenyum manis. ”Mereka sudah memberitahumu?” tanyanya santai
“Untuk apa kau melakukan ini semua? Selama ini aku berjuang menjadi neuro surgeon terbaik agar aku dapat menyembuhkanmu!” kata Arya. Luna kembali tersenyum. “Kau telah menjadi dokter spesialis bedah syaraf terbaik, Kak,” katanya.
“Tapi semua ini kulakukan hanya untukmu! Untuk menyembuhkanmu!” kata Arya gusar. Matanya mulai basah.
“Penyakitku ini tidak dapat disembuhkan.”
“Siapa yang memberitahumu hal bodoh seperti itu?” tanya Arya gusar. Dia tidak dapat menutupi kegelisahannya. Sejujurnya dia mulai ragu dengan ambisinya menyembuhkan Luna. Apakah Luna benar-benar akan sembuh atau ini hanya akan membuatnya meninggalkanku lebih cepat? Batinnya.
“Why are you so stupid?!” bentak Luna. Matanya menatap Arya dengan garang. “Mahasiswi kedokteran semester dua seperti akupun tahu kalau kanker ini tidak dapat disembuhkan!”
“Jangan membuang tenagamu. Kau akan dioperasi besok,” potong Arya sambil meninggalkan ruangan. Matanya basah. Nafasnya memburu. Kau akan sembuh, Luna. Harus! Batinnya.
+++
“Silakan Dok,” kata seorang suster yang baru saja memakaikannya baju operasi. Arya mengangguk dan berdiri di samping meja operasi. Diamatinya wajah Luna yang tengah tertidur. Kakak akan mengoperasimu sekarang. Bertahanlah, batinnya. Dia berjalan menuju bagian kepala sang adik dan bersiap-siap melakukan craniotomy.
“Skalpel,” katanya. Seorang suster menyerahkan sebilah pisau pada Arya. Dengan mantap dia mulai menggores kulit kepala sang adik. Operasi berjalan lancar sampai Arya menemukan gumpalan daging yang menempel di otak Luna. Dengan sekali potong, gumpalan itu telah berpindah dari otak Luna ke sebuah tempat berwarna keperakan yang dibawa oleh suster. Tiba-tiba terjadi pendarahan.
“Bring me the sucker,” kata Arya. Dia menyedot darah sang adik dengan sebuah alat. Arya juga meminta suster menyediakan darah untuk Luna. Dua jam lamanya dia berkutat dengan pendarahan yang semakin meluas. Saat itulah Dr Carter masuk dan berdiri di sampingnya.
“She needs more blood,” kata Arya saat mendapati Dr Carter berdiri di sampingnya. Dr Carter tampak mengamati sejenak kemudian menggeleng. Dia menoleh ke arah dokter yang mengawasi monitor otak. Dokter itu juga menggeleng. Dr Carter mengerti apa yang telah terjadi.
“Arya, She is gone,” kata Dr Carter sambil memegang pundak Arya. Arya menggeleng dan terus menghisap darah di otak Luna dengan alat penghisap. “She just needs more blood. Give her more blood!” kata Arya. Seorang suster hendak menambah darah Luna namun batal saat Dr Carter menatapnya dan menggeleng.
“She is gone, Arya,” kata Dr Carter lagi. Arya tidak peduli. Dia memegang alat penghisap lebih erat saat Dr Carter hendak mengambilnya.
“Arya, look at me.”
Arya tidak peduli.
“Look at me!” kata Dr Carter sedikit membentak.
”I can’t! I have to keep focus!” jawab Arya tidak kalah membentak.
“Arya, it’s over. Don’t fight anymore. She is gone,” kata Dr Carter lembut. Arya menggeleng berkali-kali. “Give her more blood,” katanya.
“No more blood, Arya. Let her go.”
Arya berontak.
“She just needs more blood. Give her more blood. Give her more!”
Arya terduduk lemas di lantai ruang operasi.
+++
Senin, 26 Juli 2010
Minggu, 25 Juli 2010
Mentari di Kaki Merapi
tKaki gunung merapi. Tidak pernah terbayangkan tempat ini akan menjadi tempat praktekku yang pertama setelah lulus dari fakultas kedokteran sebuah universitas ternama di Jakarta. Tanpa kusangka, sebuah desa bernama Ringinanom dengan jumlah penduduk tidak lebih dari seratus orang itu mampu memikat hatiku saat pertama kali aku datang.
“Eh, pak dokter sudah datang. Monggo, mari silakan,” kata bu Lurah yang menyambutku di rumahnya. Jauhnya perjalanan yang harus kutempuh dan nyamannya udara desa yang bersih dari polusi membuatku tidak sabar untuk beristirahat.
“Silakan beristirahat dulu, pak dokter. Maaf, tempatnya ndak seperti rumah pak dokter di kota,” kata bu Lurah lagi. Aku tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa, Bu,” kataku sambil menenteng tasku. Setelah mengucapkan terimakasih, aku segera merebahkan tubuhku di sebuah kamar kecil di samping kamar pak Lurah. Mataku hampir saja terpejam saat sebuah ketukan halus terdengar di pintu.
“Ini kopi dan singkong rebus, pak dokter. Bisa untuk menghilangkan capek,” kata bu Lurah sambil membawakan nampan berwarna merah berisi segelas kopi dan sepiring singkong rebus yang masih mengepul. Aku memutuskan untuk makan bersama bu Lurah di ruang makan.
“Oh, jadi pak dokter ini anak tunggal to,” kata bu Lurah sambil mencocol singkong rebusnya dengan garam. Aku mengangguk. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari luar. “Mboook. Ini sayur kangkungnya sudah dipetik,” kata seorang gadis yang langsung berdiri di samping bu Lurah. Dia tersenyum kikuk ke arahku setelah menyadari simboknya sedang bersama seseorang.
“Kenalkan, Nduk. Ini dokter Yongki. Dia akan bertugas disini selama beberapa bulan,” kata bu Lurah sambil memperkenalkanku pada puterinya. Aku langsung menjulurkan tanganku. “Yongki,” kataku singkat. Gadis itu tersenyum manis. “Mentari,” jawabnya.
Itulah yang membuatku terpikat untuk pertama kalinya.
+++
Keesokan paginya, Mentari mengajakku untuk berkeliling desa dengan menaiki sepeda. Aku harus memahami lingkungan desa ini karena sore nanti aku sudah mulai praktek. Dengan sabar Mentari menjelaskan desanya padaku. Dia hafal dengan semua warga yang hidup di desanya. Hm… puteri lurah yang baik, batinku.
Matahari mulai bersinar terik saat Mentari mengajakku ke kebun mentimun miliknya. Dia memetikkan sebuah timun berukuran besar dan memotongnya menjadi dua bagian. “Silakan dimakan,” katanya padaku yang sudah mulai mengibas-ngibaskan tangan karena kepanasan. Aku tersenyum dan mencari-cari air untuk mencuci mentimunku.
“Sini biar saya bersihkan,” kata Mentari sambil mengambil mentimun itu dari tanganku. Dia mengelap mentimunku dengan selendang yang ada di pinggangnya. “Nih,” katanya sambil menyerahkan mentimun itu. Aku menerimanya dengan kikuk.
“Tenang saja. Dokter ndak akan sakit perut gara-gara makan mentimun yang belum dicuci,” kata Mentari geli saat melihat keragu-raguanku. Aku segera menggigit mentimun itu. Dapat kurasakan kesegaran mengalir di kerongkonganku. Hm, lumayan, batinku sambil menggigit mentimun itu sekali lagi. Tiba-tiba Mentari tertawa. “Dokter ndak pernah makan timun sebelumnya ya?” tanyanya heran.
“Eh… em… Pernah kok,” kataku kikuk sambil menatap Mentari yang sedang tersenyum manis. Dia kembali tertawa. “Tapi belum pernah kan, makan timun di tengah sawah begini?” tanyanya lagi. Aku tersenyum malu dan menggeleng. Mentari kembali tertawa lepas.
Itulah yang membuatku terpikat untuk kedua kalinya.
+++
Sore harinya, Mentari mengantarku ke sebuah klinik yang akan menjadi tempatku praktek. Rupanya beberapa orang manula dan dua orang balita telah menunggu kedatanganku. Aku bergegas masuk ke ruang praktek sedangkan Mentari mendaftar pasien satu persatu.
“Bapak Slamet,” panggil Mentari. Seorang manula masuk. Aku segera menyilakannya duduk di kursi dan menanyakan keluhannya. Tak lama kemudian aku selesai memeriksa pasien pertamaku. Klinik kecil ini tidak memiliki ranjang periksa sehingga aku terpaksa memeriksa pasienku dengan posisi duduk. Klinik mulai ramai setelah seorang ibu bersama balita masuk ke ruang periksa. Balita berusia empat tahun itu menangis meraung-raung saat aku meminta ibunya menidurkannya di pangkuan. Untunglah Mentari datang dan membantuku menenangkan pasien kecil itu. Pasien ketigaku adalah seorang manula yang hanya mampu berbicara dalam bahasa Jawa. Aku yang tidak mengerti bahasa Jawa meminta bantuan Mentari untuk menerjemahkannya. Selanjutnya, beberapa orang manula dan balita selesai kuperiksa.
Sore berganti petang saat aku mengunci pintu klinik. Aku dan mentari berjalan beriringan menuju rumah. “Kamu capek ya, Mentari?” tanyaku saat melihat wajah kusut Mentari. Dia menggeleng. “Ndak apa-apa kok, Mas Yongki,” jawabnya sambil tersenyum. Aku yang memintanya untuk memanggilku “mas” setelah acara makan memakan timun tadi siang.
“Terimakasih ya, kamu sudah membantu saya di klinik sore ini,” kataku. Mentari tersenyum. “Itu tugas saya, Mas. Saya memang harus menemani mas Yongki selama bertugas disini,” kata Mentari. Jalan yang mulai gelap memaksaku lebih berhati-hati. Sesekali aku terperosok lubang di tengah jalan atau kakiku tertusuk duri-duri tanaman liar. Tanganku sibuk menggaruk-garuk leher dan telingaku yang menjadi sasaran empuk nyamuk malam itu. Tiba-tiba tangan Mentari meraih tanganku.
“Sini Mas, biar saya bantu,” katanya sambil menggandeng tanganku.
Itulah yang membuatku terpikat untuk ketiga kalinya.
+++
Keesokan harinya aku mulai praktek full time di klinik. Meskipun pasienku tidak terlalu banyak, namun aku sedikit kelelahan karena harus menjelaskan berbagai macam hal pada pasien yang tampaknya masih kurang mengerti dengan penyakit yang mereka derita.
“Pasien yang keenam belas, Mas. Sudah siap?” tanya Mentari sambil menatapku yang berkali-kali mendesah panjang. Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba Mentari keluar dari ruangan dan berbicara sejenak dengan para pasien yang sedang antri. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Mohon maaf, praktek dokter akan dilanjutkan nanti pukul dua siang. Mohon maaf sekali. Terimakasih, Pak, Bu,” katanya dengan logat jawa yang khas. Mentari kembali ke ruang praktek dan duduk di depanku.
“Mas Yongki capek ya?” tanyanya. Aku menggeleng dan tersenyum. “Nggak capek, tapi lelah,” jawabku sambil menelungkupkan kepalaku di meja. Mentari berteriak, “Uuu.” Dan melempar tutup pulpen ke kepalaku. Aku tertawa geli.
“Iya, saya capek,” kataku sambil mengangkat kepalaku dari meja dan menatap wajah Mentari. Mentari melakukan hal yang sama. Dia menyandarkan kepalanya di meja. Kami saling berpandangan. Ah, Mentari… entah apa jadinya jika kau tidak membantuku disini, batinku. Tiba-tiba Mentari bangkit.
“Mas Yongki genit ah,” kata Mentari sambil menutup mukanya. Dahiku berkerut heran. “Jangan melihat saya seperti itu to Mas. Ndak ilok. Tidak baik,” katanya. Aku tersenyum geli dan mengangguk-angguk tanda setuju. Polos sekali kau, Mentari!
Keesokan paginya…
Tidak seperti biasanya, Mentari tidak membangunkanku pagi ini. Bu Lurah dan pak Lurah juga tidak ada di rumah. Tiba-tiba seorang pria mengetuk pintu dengan keras. Segera kubuka pintu dan kudapati Mentari sedang berada dalam gendongannya. Pak Lurah, bu Lurah, dan beberapa warga mengikuti di belakangnya.
“Mentari?!”
Aku berteriak kaget. Mentari membuka matanya sekilas dan menatapku. “Segera baringkan di kamar. Biar saya periksa,” kataku sedikit panik. Mentari telah berada di ranjang sekarang. Aku hendak memeriksanya denyut nadinya saat tiba-tiba tangan Mentari menyentuh tanganku.
“Saya ndak mau diperiksa, Mas,” kata Mentari lemah. Aku duduk di sebelahnya, meraba denyut nadinya, dan mencocokkannya dengan jam tangan yang kupakai. Normal kok, batinku sambil menggenggam tangan Mentari. “Ada apa, Mentari?” tanyaku sambil meraba dahinya. Panas!
“Saya ndak apa-apa, Mas. Beneran deh, suer,” katanya polos. Aku tersenyum geli dan meminta Mentari meletakkan termometer di ketiaknya. Suhu badan Mentari yang tinggi membuatnya tidak bisa membantuku di klinik.
Bertugas tanpa Mentari adalah hal paling repot yang harus kuhadapi saat ini. Ada dua puluh pasien yang harus kutangani dan tidak ada satupun dari mereka yang mau mengantre. Saat itulah tiba-tiba Mentari muncul. Dia langsung membantuku mengatur antrean pasien.
“Kamu sudah baikan?” tanyaku saat aku selesai memeriksa pasien terakhirku. Mentari mengangguk dan duduk di hadapanku. Tanganku terjulur meraba dahi Mentari. Hm, demamnya sudah turun, batinku.
“Terimakasih ya, Mas. Obatnya manjur. Mas Yongki pinter deh,” puji Mentari. Ada binar ketulusan di matanya saat itu. Aku tersenyum dan segera mengajaknya pulang.
Itulah yang membuatku terpikat untuk keempat kalinya.
+++
Suhu badan Mentari kembali naik saat kami sampai di rumah. Aku segera meminta Mentari untuk beristirahat. Malam harinya aku mengantarkan semangkuk bubur, segelas air, dan beberapa butir obat ke kamar Mentari.
“Loh… Mas Yongki ndak usah repot-repot,” kata Mentari sambil membukakan pintu untukku. Aku menggeleng dan meletakkan nampan yang kubawa di meja. “Saya suapin ya,” tawarku. Mentari tersenyum malu dan mengangguk. Saat itu entah mengapa aku ikut tersipu malu melihatnya.
“Besok kamu istirahat saja di rumah. Tidak usah ikut saya praktek,” kataku sambil menyuapkan bubur ke mulut Mentari. Mentari kontan menggeleng. “Kalau Mentari ndak bantuin Mas, nanti Mas repot,” katanya sambil memandangku penuh perhatian.
“I can handle it. Trust me,” kataku yakin. Mentari terdiam dan menatap kedua mataku. “Mas yakin?” tanyanya. Aku mengangguk dan memasukkan satu suapan ke mulut Mentari.
“Kita ukur suhu badan kamu ya,” kataku sambil menyerahkan termometer yang kukibas-kibaskan terlebih dahulu. Mentari menurut dan meletakkan termometer itu di ketiaknya. Aku mengamati Mentari sejenak. Tubuhnya lemas, suhu badannya tinggi, dan lidahnya sedikit kotor.
Jangan-jangan…
Malam semakin larut saat aku mendengar rintihan dari kamar Mentari. Pintuku diketuk seseorang. Pak Lurah.”Nak Yongki bisa bantu saya? Suhu badan Mentari tinggi sekali,” kata pak Lurah. Aku mengangguk dan menyambar stetoskopku yang ada di meja.
“Mentari,” panggilku sambil menggenggam tangannya. Mentari hanya merintih. Matanya terpejam. “Mas… Mentari ndak apa-apa kok,” jawabnya lirih. Aku mendesah dan memakai stetoskopku. Tidak kupedulikan penolakan-penolakan Mentari saat aku memeriksanya.
“Pak, apakah ada rumah sakit di sekitar sini?” tanyaku saat selesai memeriksa Mentari. Pak Lurah mengangguk. “Saya curiga Mentari terkena demam berdarah. Kita harus ke rumah sakit sekarang juga,” kataku. Pak Lurah dan bu Lurah mengangguk. Aku segera mengangkat tubuh Mentari ke mobilku.
Satu jam kemudian Mentari tengah ditangani di UGD. Benar dugaanku. Mentari terkena demam berdarah. Trombositnya hanya separuh dari jumlah normal. Pada saat itu juga timbullah rasa sayangku padanya. Rasa sayang yang belum pernah timbul sebelumnya. Rasa sayang sejati seorang pria kepada wanita yang dicintainya…
+++
Lagu Dear God milik Avenged mengalun dari ponselku. Aku yang masih terjaga malam itu segera mengangkat telepon yang masuk. “Dokter Yongki, ada pasien yang urgent melahirkan dan butuh operasi. Anda satu-satunya dokter bedah yang dapat kami hubungi,” kata seorang suster di seberang telepon.
Aku mengangguk. Kupandangi Mentari yang masih terlelap. “Terimakasih untuk kenangan-kenangan indah itu, Mentari,“ kataku sambil mengecup keningnya.
Pandanganku beralih ke seorang bayi laki-laki berusia enam bulan yang tertidur lelap di samping Mentari. Dia adalah Delvon Adirangga, buah cinta kami. Aku tersenyum dan membelai pipinya yang montok. Ayah dan bunda akan selalu menyayangimu, Nak.
“Eh, pak dokter sudah datang. Monggo, mari silakan,” kata bu Lurah yang menyambutku di rumahnya. Jauhnya perjalanan yang harus kutempuh dan nyamannya udara desa yang bersih dari polusi membuatku tidak sabar untuk beristirahat.
“Silakan beristirahat dulu, pak dokter. Maaf, tempatnya ndak seperti rumah pak dokter di kota,” kata bu Lurah lagi. Aku tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa, Bu,” kataku sambil menenteng tasku. Setelah mengucapkan terimakasih, aku segera merebahkan tubuhku di sebuah kamar kecil di samping kamar pak Lurah. Mataku hampir saja terpejam saat sebuah ketukan halus terdengar di pintu.
“Ini kopi dan singkong rebus, pak dokter. Bisa untuk menghilangkan capek,” kata bu Lurah sambil membawakan nampan berwarna merah berisi segelas kopi dan sepiring singkong rebus yang masih mengepul. Aku memutuskan untuk makan bersama bu Lurah di ruang makan.
“Oh, jadi pak dokter ini anak tunggal to,” kata bu Lurah sambil mencocol singkong rebusnya dengan garam. Aku mengangguk. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari luar. “Mboook. Ini sayur kangkungnya sudah dipetik,” kata seorang gadis yang langsung berdiri di samping bu Lurah. Dia tersenyum kikuk ke arahku setelah menyadari simboknya sedang bersama seseorang.
“Kenalkan, Nduk. Ini dokter Yongki. Dia akan bertugas disini selama beberapa bulan,” kata bu Lurah sambil memperkenalkanku pada puterinya. Aku langsung menjulurkan tanganku. “Yongki,” kataku singkat. Gadis itu tersenyum manis. “Mentari,” jawabnya.
Itulah yang membuatku terpikat untuk pertama kalinya.
+++
Keesokan paginya, Mentari mengajakku untuk berkeliling desa dengan menaiki sepeda. Aku harus memahami lingkungan desa ini karena sore nanti aku sudah mulai praktek. Dengan sabar Mentari menjelaskan desanya padaku. Dia hafal dengan semua warga yang hidup di desanya. Hm… puteri lurah yang baik, batinku.
Matahari mulai bersinar terik saat Mentari mengajakku ke kebun mentimun miliknya. Dia memetikkan sebuah timun berukuran besar dan memotongnya menjadi dua bagian. “Silakan dimakan,” katanya padaku yang sudah mulai mengibas-ngibaskan tangan karena kepanasan. Aku tersenyum dan mencari-cari air untuk mencuci mentimunku.
“Sini biar saya bersihkan,” kata Mentari sambil mengambil mentimun itu dari tanganku. Dia mengelap mentimunku dengan selendang yang ada di pinggangnya. “Nih,” katanya sambil menyerahkan mentimun itu. Aku menerimanya dengan kikuk.
“Tenang saja. Dokter ndak akan sakit perut gara-gara makan mentimun yang belum dicuci,” kata Mentari geli saat melihat keragu-raguanku. Aku segera menggigit mentimun itu. Dapat kurasakan kesegaran mengalir di kerongkonganku. Hm, lumayan, batinku sambil menggigit mentimun itu sekali lagi. Tiba-tiba Mentari tertawa. “Dokter ndak pernah makan timun sebelumnya ya?” tanyanya heran.
“Eh… em… Pernah kok,” kataku kikuk sambil menatap Mentari yang sedang tersenyum manis. Dia kembali tertawa. “Tapi belum pernah kan, makan timun di tengah sawah begini?” tanyanya lagi. Aku tersenyum malu dan menggeleng. Mentari kembali tertawa lepas.
Itulah yang membuatku terpikat untuk kedua kalinya.
+++
Sore harinya, Mentari mengantarku ke sebuah klinik yang akan menjadi tempatku praktek. Rupanya beberapa orang manula dan dua orang balita telah menunggu kedatanganku. Aku bergegas masuk ke ruang praktek sedangkan Mentari mendaftar pasien satu persatu.
“Bapak Slamet,” panggil Mentari. Seorang manula masuk. Aku segera menyilakannya duduk di kursi dan menanyakan keluhannya. Tak lama kemudian aku selesai memeriksa pasien pertamaku. Klinik kecil ini tidak memiliki ranjang periksa sehingga aku terpaksa memeriksa pasienku dengan posisi duduk. Klinik mulai ramai setelah seorang ibu bersama balita masuk ke ruang periksa. Balita berusia empat tahun itu menangis meraung-raung saat aku meminta ibunya menidurkannya di pangkuan. Untunglah Mentari datang dan membantuku menenangkan pasien kecil itu. Pasien ketigaku adalah seorang manula yang hanya mampu berbicara dalam bahasa Jawa. Aku yang tidak mengerti bahasa Jawa meminta bantuan Mentari untuk menerjemahkannya. Selanjutnya, beberapa orang manula dan balita selesai kuperiksa.
Sore berganti petang saat aku mengunci pintu klinik. Aku dan mentari berjalan beriringan menuju rumah. “Kamu capek ya, Mentari?” tanyaku saat melihat wajah kusut Mentari. Dia menggeleng. “Ndak apa-apa kok, Mas Yongki,” jawabnya sambil tersenyum. Aku yang memintanya untuk memanggilku “mas” setelah acara makan memakan timun tadi siang.
“Terimakasih ya, kamu sudah membantu saya di klinik sore ini,” kataku. Mentari tersenyum. “Itu tugas saya, Mas. Saya memang harus menemani mas Yongki selama bertugas disini,” kata Mentari. Jalan yang mulai gelap memaksaku lebih berhati-hati. Sesekali aku terperosok lubang di tengah jalan atau kakiku tertusuk duri-duri tanaman liar. Tanganku sibuk menggaruk-garuk leher dan telingaku yang menjadi sasaran empuk nyamuk malam itu. Tiba-tiba tangan Mentari meraih tanganku.
“Sini Mas, biar saya bantu,” katanya sambil menggandeng tanganku.
Itulah yang membuatku terpikat untuk ketiga kalinya.
+++
Keesokan harinya aku mulai praktek full time di klinik. Meskipun pasienku tidak terlalu banyak, namun aku sedikit kelelahan karena harus menjelaskan berbagai macam hal pada pasien yang tampaknya masih kurang mengerti dengan penyakit yang mereka derita.
“Pasien yang keenam belas, Mas. Sudah siap?” tanya Mentari sambil menatapku yang berkali-kali mendesah panjang. Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba Mentari keluar dari ruangan dan berbicara sejenak dengan para pasien yang sedang antri. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Mohon maaf, praktek dokter akan dilanjutkan nanti pukul dua siang. Mohon maaf sekali. Terimakasih, Pak, Bu,” katanya dengan logat jawa yang khas. Mentari kembali ke ruang praktek dan duduk di depanku.
“Mas Yongki capek ya?” tanyanya. Aku menggeleng dan tersenyum. “Nggak capek, tapi lelah,” jawabku sambil menelungkupkan kepalaku di meja. Mentari berteriak, “Uuu.” Dan melempar tutup pulpen ke kepalaku. Aku tertawa geli.
“Iya, saya capek,” kataku sambil mengangkat kepalaku dari meja dan menatap wajah Mentari. Mentari melakukan hal yang sama. Dia menyandarkan kepalanya di meja. Kami saling berpandangan. Ah, Mentari… entah apa jadinya jika kau tidak membantuku disini, batinku. Tiba-tiba Mentari bangkit.
“Mas Yongki genit ah,” kata Mentari sambil menutup mukanya. Dahiku berkerut heran. “Jangan melihat saya seperti itu to Mas. Ndak ilok. Tidak baik,” katanya. Aku tersenyum geli dan mengangguk-angguk tanda setuju. Polos sekali kau, Mentari!
Keesokan paginya…
Tidak seperti biasanya, Mentari tidak membangunkanku pagi ini. Bu Lurah dan pak Lurah juga tidak ada di rumah. Tiba-tiba seorang pria mengetuk pintu dengan keras. Segera kubuka pintu dan kudapati Mentari sedang berada dalam gendongannya. Pak Lurah, bu Lurah, dan beberapa warga mengikuti di belakangnya.
“Mentari?!”
Aku berteriak kaget. Mentari membuka matanya sekilas dan menatapku. “Segera baringkan di kamar. Biar saya periksa,” kataku sedikit panik. Mentari telah berada di ranjang sekarang. Aku hendak memeriksanya denyut nadinya saat tiba-tiba tangan Mentari menyentuh tanganku.
“Saya ndak mau diperiksa, Mas,” kata Mentari lemah. Aku duduk di sebelahnya, meraba denyut nadinya, dan mencocokkannya dengan jam tangan yang kupakai. Normal kok, batinku sambil menggenggam tangan Mentari. “Ada apa, Mentari?” tanyaku sambil meraba dahinya. Panas!
“Saya ndak apa-apa, Mas. Beneran deh, suer,” katanya polos. Aku tersenyum geli dan meminta Mentari meletakkan termometer di ketiaknya. Suhu badan Mentari yang tinggi membuatnya tidak bisa membantuku di klinik.
Bertugas tanpa Mentari adalah hal paling repot yang harus kuhadapi saat ini. Ada dua puluh pasien yang harus kutangani dan tidak ada satupun dari mereka yang mau mengantre. Saat itulah tiba-tiba Mentari muncul. Dia langsung membantuku mengatur antrean pasien.
“Kamu sudah baikan?” tanyaku saat aku selesai memeriksa pasien terakhirku. Mentari mengangguk dan duduk di hadapanku. Tanganku terjulur meraba dahi Mentari. Hm, demamnya sudah turun, batinku.
“Terimakasih ya, Mas. Obatnya manjur. Mas Yongki pinter deh,” puji Mentari. Ada binar ketulusan di matanya saat itu. Aku tersenyum dan segera mengajaknya pulang.
Itulah yang membuatku terpikat untuk keempat kalinya.
+++
Suhu badan Mentari kembali naik saat kami sampai di rumah. Aku segera meminta Mentari untuk beristirahat. Malam harinya aku mengantarkan semangkuk bubur, segelas air, dan beberapa butir obat ke kamar Mentari.
“Loh… Mas Yongki ndak usah repot-repot,” kata Mentari sambil membukakan pintu untukku. Aku menggeleng dan meletakkan nampan yang kubawa di meja. “Saya suapin ya,” tawarku. Mentari tersenyum malu dan mengangguk. Saat itu entah mengapa aku ikut tersipu malu melihatnya.
“Besok kamu istirahat saja di rumah. Tidak usah ikut saya praktek,” kataku sambil menyuapkan bubur ke mulut Mentari. Mentari kontan menggeleng. “Kalau Mentari ndak bantuin Mas, nanti Mas repot,” katanya sambil memandangku penuh perhatian.
“I can handle it. Trust me,” kataku yakin. Mentari terdiam dan menatap kedua mataku. “Mas yakin?” tanyanya. Aku mengangguk dan memasukkan satu suapan ke mulut Mentari.
“Kita ukur suhu badan kamu ya,” kataku sambil menyerahkan termometer yang kukibas-kibaskan terlebih dahulu. Mentari menurut dan meletakkan termometer itu di ketiaknya. Aku mengamati Mentari sejenak. Tubuhnya lemas, suhu badannya tinggi, dan lidahnya sedikit kotor.
Jangan-jangan…
Malam semakin larut saat aku mendengar rintihan dari kamar Mentari. Pintuku diketuk seseorang. Pak Lurah.”Nak Yongki bisa bantu saya? Suhu badan Mentari tinggi sekali,” kata pak Lurah. Aku mengangguk dan menyambar stetoskopku yang ada di meja.
“Mentari,” panggilku sambil menggenggam tangannya. Mentari hanya merintih. Matanya terpejam. “Mas… Mentari ndak apa-apa kok,” jawabnya lirih. Aku mendesah dan memakai stetoskopku. Tidak kupedulikan penolakan-penolakan Mentari saat aku memeriksanya.
“Pak, apakah ada rumah sakit di sekitar sini?” tanyaku saat selesai memeriksa Mentari. Pak Lurah mengangguk. “Saya curiga Mentari terkena demam berdarah. Kita harus ke rumah sakit sekarang juga,” kataku. Pak Lurah dan bu Lurah mengangguk. Aku segera mengangkat tubuh Mentari ke mobilku.
Satu jam kemudian Mentari tengah ditangani di UGD. Benar dugaanku. Mentari terkena demam berdarah. Trombositnya hanya separuh dari jumlah normal. Pada saat itu juga timbullah rasa sayangku padanya. Rasa sayang yang belum pernah timbul sebelumnya. Rasa sayang sejati seorang pria kepada wanita yang dicintainya…
+++
Lagu Dear God milik Avenged mengalun dari ponselku. Aku yang masih terjaga malam itu segera mengangkat telepon yang masuk. “Dokter Yongki, ada pasien yang urgent melahirkan dan butuh operasi. Anda satu-satunya dokter bedah yang dapat kami hubungi,” kata seorang suster di seberang telepon.
Aku mengangguk. Kupandangi Mentari yang masih terlelap. “Terimakasih untuk kenangan-kenangan indah itu, Mentari,“ kataku sambil mengecup keningnya.
Pandanganku beralih ke seorang bayi laki-laki berusia enam bulan yang tertidur lelap di samping Mentari. Dia adalah Delvon Adirangga, buah cinta kami. Aku tersenyum dan membelai pipinya yang montok. Ayah dan bunda akan selalu menyayangimu, Nak.
Pengorbanan Terakhir
Bruuukkk…
Kraaakkk…
“Kakaaaaaak!!!”
Aku terbangun dari tidur malamku. Segera kuraba kening dan leherku. Keringatku mengucur deras, sederas ingatanku tentang kak Reza, kakakku. Sesaat aku terdiam, namun beberapa detik kemudian air mataku menetes.
“Kak Reza…”
Aku mengerang lirih. Entah mengapa hati ini rasanya sakit sekali setiap kali mengenang kejadian itu. Tuhan… mengapa kecelakaan itu harus terjadi. Kecelakaan yang membuatku harus berpisah dengan kak Reza. Kecelakaan yang membuatku kehilangan dia untuk selama-lamanya…
+++
Pagi ini aku bangun dengan semangat. Tidak seperti biasanya, aku menyentuh air dingin di bak mandi tanpa rasa enggan. Hari ini aku dan keluargaku akan berekreasi bersama ke Dieng, sebuah daerah yang terletak di Jawa Tengah yang terkenal sebagai penghasil keripik jamur kesukaanku. Meskipun membutuhkan waktu sekitar lima jam perjalanan, namun pemandangan yang tersaji di sepanjang perjalanan cukup menghilangkan rasa lelah. Begitu kata kak Reza.
“Dari mana aja sih? Kakak tunggu dari tadi,” kata kak Reza sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. Aku mendengus kecil, meletakkan tas yang kubawa, dan masuk kembali ke rumah. Terdengar suara tawa kak Reza.
“Hey hey hey… Gitu aja marah. Kakak bercanda tau,” kata kak Reza sambil memelukku dari belakang. Hal yang sering dia lakukan untuk membujukku saat aku merajuk. Aku menggeleng jengah dan berbalik.
“Nyebelin!” kataku singkat dan bersiap untuk berlari ke kamarku. Namun sebelum niatku terlaksana, kak Reza memegang tanganku dan menuntunku kembali ke mobil. “Jadi orang jangan cepat marah. Ntar cepat tua loh,” kata kak Reza. Aku terkikik geli.
“Mana papa dan mama, Kak?” tanyaku saat kami telah berada di mobil. Kak Reza menggedikkan bahunya dan menekan klakson mobil. Tak lama kemudian papa datang tergopoh-gopoh.
“Mendadak mama sakit perut. Perjalanannya kita tunda saja ya,” kata papa. Aku mendengus kesal dan cepat-cepat keluar dari mobil. Tidak kuhiraukan panggilan kak Reza yang mengikutiku dari belakang.
“Mit… Mita…” Kak Reza terus mengikutiku samai ke kamar. Kututup pintu kamarku dengan kasar dan membaringkan tubuhku di kasur. Moodku berubah 180 derajat pagi itu.
“Lagi ngapain Dek?” sapa kak Reza disusul dengan bunyi deritan pintu. Aku memalingkan wajahku dan mendengus sekali lagi. Kurasakan kak Reza duduk di tepi tempat tidurku dan tertawa kecil.
“Manja banget sih kamu,” kata kak Reza singkat, namun cukup membuatku tertarik untuk mencubitinya berkali-kali. Kak Reza tertawa, menjerit, kemudian tertawa lagi sambil berusaha menghalau tanganku.
“Mama udah baikan tuh. Kita berangkat sekarang,” kata kak Reza. Aku nyengir ke arah kak Reza dan menggamit tangannya. “Ayo kita berangkat!” kataku semangat. Kak Reza menyentil hidungku dan kami kembali ke mobil bersama-sama.
Sesampainya di halaman depan, mama menyambut kami. Wajah beliau pucat dan kedua tangannya terus saja memegangi perut. “Maaf, Sayang. Mama tidak bisa ikut hari ini,” kata mama. Aku kecewa berat. Hampir saja aku kembali ke kamarku seandainya kak Reza tidak menahanku.
“Biar mama istirahat saja dirumah. Lagipula kita masih bisa having fun kan, meskipun mama tidak ikut?” kata papa sambil mengelus punggungku. Aku menatap mama, meminta persetujuan.
“Papa benar. Biar mama istirahat saja dirumah,” kata mama. Demi melihat wajah mama yang tampak pucat, akhirnya aku mengangguk. Kak Reza melingkarkan tangannya di bahuku dan berkata, “Ayo kita berangkat!”
Aku tersenyum dan mencium kening mama, kemudian masuk mobil. Kak Rendra ganti mencium kening dan tangan mama dan berkata, “Reza pergi dulu Ma.”
+++
Sebuah truk berukuran besar berhenti di pinggir jalan. Sopir yang mengendarainya membuka pintu dengan kasar dan mengumpat-umpat pada dua teman seprofesinya. Dengan panik dia memeriksa bagian belakang mobil. Ada cairan berwarna hitam kental yang menetes dari sana. Oli.
“Menurut kau, berapa panjang tetesan oli ini sampai ke tempat kita berangkat tadi?” tanya si sopir dengan logat bicaranya yang khas. Seorang temannya meletakkan salah satu tangannya di dahi untuk mengurangi silaunya matahari dan menatap ke kejauhan.
“Menurut awak, perjalanan kita ini sudah lima ratus meter jauhnya. Jadi, mungkin saja oli ini sudah menetes sepanjang itu,” kata orang itu. Si sopir menepuk dahinya dan dengan geram dia membentak, “Bah! Lima ratus meter kau bilang? Alamak, ini berbahaya sekali. Cepat kau telepon polisi!”.
+++
“Masih jauh, Kak?” tanyaku bosan. Kak Reza dan papa yang duduk di depan tertawa geli. “Ini belum setengah perjalanan,” kata kak Reza. Aku mendesah panjang dan kembali menatap keluar.
“Kenapa? Kamu bosan ya?” tanya papa. Aku hanya mengangguk tanpa melepaskan pandanganku dari jendela. Sepertinya pemandangan diluar mulai indah, batinku sambil menurunkan kaca mobil. Kak Rendra ikut-ikutan. Dia mematikan AC dan membuka semua jendela mobil lebar-lebar. Angin sejuk mulai terasa.
“Coba kamu lihat ke sisi kanan jalan. Ada pemandangan bagus disana,” kata kak Reza. Aku menurut dan melemparkan pandanganku. Tepat di sisi kananku, berhektar-hektar sawah yang hijau terhampar dengan indahnya. Aku tersenyum lebar dan cepat-cepat melepas kaca mataku. Kata dokter, minus mataku bisa dikurangi dengan melihat pemandangan seperti ini.
“Bagus kan?” tanya kak Reza sambil tetap fokus mengemudi. Aku mengangguk dan mulai mengabadikannya lewat kamera ponsel.
+++
“Sudah kau telepon polisi hah?!” tanya si sopir truk dengan panik. Temannya mengangguk berkali-kali. “Polisi sedang menuju kemari,” jawabnya. Sopir itu kembali mengangguk dan mulai berjalan mondar-mandir, hal yang sering dilakukannya ketika sedang menghadapi masalah penting.
“Sekarang apa yang dapat kita lakukan? Bah! Kalau saja kau mengeceknya dengan benar, tentu saja tidak akan menetes sepanjang ini,” katanya. Si sopir terus menggerutu sampai beberapa polisi datang dari arah yang berlawanan.
“Selamat siang. Ada yang bisa…”
Polisi itu terdiam saat melihat tumpahan oli yang begitu banyak. Dengan sigap dia mengambil handie talkie dan menghubungi rekan-rekannya sedangkan sopir truk itu hanya dapat berkata, “Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Ada jurang di sebelah kanan jalan. Jika ada kendaraan yang tergelincir, mau tak mau juranglah yang mereka hadapi.”
+++
Aku masih sibuk memandangi pemandangan di luar jendela. Bibirku berkali-kali bergumam kagum saat melihat hutan ataupun sawah yang sambung menyambung dengan teratur dan sangat indah. Udarapun mulai terasa lebih dingin, membuatku mengambil jaket kak Reza yang ada di sebelahku. Kak Reza hendak menutup jendelaku, namun kularang. Biarlah aku menghirup udara segar ini setelah dijejali oleh udara kota yang penuh polusi.
“Kak…”
Aku memanggil kak Reza dan memeluknya dari belakang. Kak Reza melepaskan salah satu tangannya dari kemudi dan mengelus kepalaku yang berada di pundak kirinya. “Makasih ya, Kak. Pemandangannya bagus banget,” kataku. Kak Reza mengangguk dan mencium pipiku. Iseng, kucubit pipinya keras-keras. Kak Reza mengaduh sedangkan aku dan papa tertawa geli.
Kuarahkan kembali pandanganku pada pemandangan di luar. Ttiba-tiba aku terpaku pada noda panjang berwarna hitam di jalan yang tengah dilewati oleh kami.
“Kak Reza, hati-hati. Ada oli di sebelah kanan jalan,” kataku. Kak Reza memelankan laju mobil dan memandang ke kanan jalan. Hasilnya nihil. Tidak ada oli di jalan barang setetespun.
“Mana olinya?” tanya papa yang juga ikut-ikutan memandang sisi kanan jalan. Telunjukku mengarah. “Itu Pa, yang di tengah jalan itu! Olinya banyak sekali Pa!” kataku panik. Kak Reza segera menghentikan mobil dan mengajakku turun.
“Mana olinya? Nggak ada kan?” kata kak Reza meyakinkan. Aku terdiam. Aneh… bukankah tadi ada banyak tetesan oli di jalan ini? Batinku bingung. Kak Reza memintaku kembali masuk mobil dan melanjutkan perjalanan.
Dan tetesan oli yang ada di jalan itu kembali muncul!
+++
“Lapor, Pak. Kami telah mencoba mengurangi tetesan oli itu, namun hasilnya nihil,” kata seorang anak buah Letnan Haryo, polisi yang menangani kasus ini. Polisi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dan mendesah panjang. Segera diinstruksikannya anak buahnya untuk menjalankan strategi kedua.
“Segera tutup semua jalan yang menuju kemari. Cari jalur alternatif! Lakukan pengamanan!” perintahnya. Semua anak buahnya mengangguk dan segera kembali ke lokasi. Sopir truk dengan panik mendekati polisi dan bertanya, “Bagaimana Pak polisi?”
“Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan selain menutup akses melewati jalan ini,” kata Letnan Haryo. Sopir truk itu mengangguk dengan cemas seraya berdoa agar Tuhan tidak menyiapkan skenario lain. Agar Tuhan menyelamatkan semua atas kuasaNya.
Namun semua terlambat. Sebuah mobil APV silver berjalan tidak terkendali saat menuruni jalan yang curam…
+++
“Ada apa ini, Reza?!”
Papa yang panik berteriak keras, apalagi saat mobil menghantam sisi kiri jalan. Kak Reza menggeleng-gelengkan kepala dan berusaha menginjak rem. “Reza tidak tahu, Pa. Mobilnya tidak bisa dikendalikan!”
Aku yang juga berada di mobil APV silver itu hanya dapat menatap sisi kanan jalan dengan ngeri. Tetesan oli itu tampaknya semakin banyak saja. Aku memegang handle di pintu dengan erat.
“Reza! Ada oli di sebelah kanan jalan!”
Benar apa yang kulihat! Batinku. Oli! Itu oli yang tumpah! Aku tidak dapat berpikir lagi ketika mobil kembali menghantam sisi kiri jalan. Teriakan histeris keluar dari mulutku.
Tak lama kemudian sebuah tikungan tajam mulai tampak. Hanya ada sebuah pohon besar yang berdiri kokoh disana. Jantungku semakin berpacu kencang, sekencang mobil yang melaju tanpa sanggup ditahan. “Kak Reza… bagaimana ini?” tanyaku panik. Terdengar suara desahan kak Reza.
“Pohon itu akan menyelamatkan kalian,” kata kak Reza. Papa yang berpegangan kuat-kuat pada handle mobil langung menyahut, “Apa yang akan kamu lakukan?”
“Reza akan menghentikan laju mobil ini dengan menabrakkannya pada pohon itu. Dan kalian akan selamat,” kata kak Reza. Aku menggelengkan kepalaku keras-keras.
“Bukan kalian, tapi KITA!” kataku keras.
“Kakak akan berusaha menabrakkan mobil ini tepat di pintu kanan belakang. Tabrakannya akan cukup keras, tetapi pintu belakang tidak akan terbuka. Kamu akan selamat, Dek,” kata kak Reza.
“Tidak, Reza. Jangan tabrakkan mobil ini. Pasti ada jalan lain,” kata papa. Kak Reza menggeleng. “Sudah tidak mungkin lagi, Pa. Ini satu-satunya jalan,” katanya pesimis.
“Nggak, Kak!” sahutku. Mendadak suara kak Reza menjadi parau. “Lebih baik kakak yang berkorban untuk kalian,” katanya.
“Apa? Jadi Kakak…”
“Mita! Lebih baik mengorbankan satu nyawa daripada dua ataupun tiga!” sambar kak Reza. Suaranya makin bergetar saat mobil semakin mendekati tikungan tajam itu.
Dan kak Reza benar-benar melakukannya…
+++
“Yang sabar ya, Sayang.”
Mama mengelus punggungku sesaat setelah aku turun dari mobil, seakan berusaha untuk memberikanku kekuatan. Aku menatap nanar. Sebuah pemandangan yang sangat menyayat hati terhampar di depan mata. Bukan lagi pemandangan indah itu. Bukan lagi sawah atau hutan yang berjajar dengan manis. Tetapi sebuah makam. Makam yang tanahnya masih memerah basah. Makam yang baru berumur tiga hari, namun telah kukunjungi berkali-kali…
Reza Wisnu Wardhana
Lahir: 18 Februari 1988
Wafat: 30 September 2009
Makam kak Reza…
Masih hangat di benakku saat kak Reza membujukku yang sedang merajuk. Masih kuingat saat kak Reza mencium kening mama dan mengucapkan salam perpisahan. Masih jelas terasa pelukanku pada pundak kak Reza saat berada di mobil, dan pelukan itu menjadi yang terkahir untukku!
Aku tahu, aku tidak dapat menyalahkan takdir dan keputusan yang Tuhan tetapkan. Namun jika boleh meminta, Tuhan, izinkanlah kak Reza mendapat tempat yang layak disisimu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang. Hapuslah semua dosanya, sebagai balasan dari pengorbanannya. Muliakanlah dia. Karena aku tahu, Tuhan, Engkaulah sang Maha Kuasa.
+++
Love all brothers in the world!
Kraaakkk…
“Kakaaaaaak!!!”
Aku terbangun dari tidur malamku. Segera kuraba kening dan leherku. Keringatku mengucur deras, sederas ingatanku tentang kak Reza, kakakku. Sesaat aku terdiam, namun beberapa detik kemudian air mataku menetes.
“Kak Reza…”
Aku mengerang lirih. Entah mengapa hati ini rasanya sakit sekali setiap kali mengenang kejadian itu. Tuhan… mengapa kecelakaan itu harus terjadi. Kecelakaan yang membuatku harus berpisah dengan kak Reza. Kecelakaan yang membuatku kehilangan dia untuk selama-lamanya…
+++
Pagi ini aku bangun dengan semangat. Tidak seperti biasanya, aku menyentuh air dingin di bak mandi tanpa rasa enggan. Hari ini aku dan keluargaku akan berekreasi bersama ke Dieng, sebuah daerah yang terletak di Jawa Tengah yang terkenal sebagai penghasil keripik jamur kesukaanku. Meskipun membutuhkan waktu sekitar lima jam perjalanan, namun pemandangan yang tersaji di sepanjang perjalanan cukup menghilangkan rasa lelah. Begitu kata kak Reza.
“Dari mana aja sih? Kakak tunggu dari tadi,” kata kak Reza sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. Aku mendengus kecil, meletakkan tas yang kubawa, dan masuk kembali ke rumah. Terdengar suara tawa kak Reza.
“Hey hey hey… Gitu aja marah. Kakak bercanda tau,” kata kak Reza sambil memelukku dari belakang. Hal yang sering dia lakukan untuk membujukku saat aku merajuk. Aku menggeleng jengah dan berbalik.
“Nyebelin!” kataku singkat dan bersiap untuk berlari ke kamarku. Namun sebelum niatku terlaksana, kak Reza memegang tanganku dan menuntunku kembali ke mobil. “Jadi orang jangan cepat marah. Ntar cepat tua loh,” kata kak Reza. Aku terkikik geli.
“Mana papa dan mama, Kak?” tanyaku saat kami telah berada di mobil. Kak Reza menggedikkan bahunya dan menekan klakson mobil. Tak lama kemudian papa datang tergopoh-gopoh.
“Mendadak mama sakit perut. Perjalanannya kita tunda saja ya,” kata papa. Aku mendengus kesal dan cepat-cepat keluar dari mobil. Tidak kuhiraukan panggilan kak Reza yang mengikutiku dari belakang.
“Mit… Mita…” Kak Reza terus mengikutiku samai ke kamar. Kututup pintu kamarku dengan kasar dan membaringkan tubuhku di kasur. Moodku berubah 180 derajat pagi itu.
“Lagi ngapain Dek?” sapa kak Reza disusul dengan bunyi deritan pintu. Aku memalingkan wajahku dan mendengus sekali lagi. Kurasakan kak Reza duduk di tepi tempat tidurku dan tertawa kecil.
“Manja banget sih kamu,” kata kak Reza singkat, namun cukup membuatku tertarik untuk mencubitinya berkali-kali. Kak Reza tertawa, menjerit, kemudian tertawa lagi sambil berusaha menghalau tanganku.
“Mama udah baikan tuh. Kita berangkat sekarang,” kata kak Reza. Aku nyengir ke arah kak Reza dan menggamit tangannya. “Ayo kita berangkat!” kataku semangat. Kak Reza menyentil hidungku dan kami kembali ke mobil bersama-sama.
Sesampainya di halaman depan, mama menyambut kami. Wajah beliau pucat dan kedua tangannya terus saja memegangi perut. “Maaf, Sayang. Mama tidak bisa ikut hari ini,” kata mama. Aku kecewa berat. Hampir saja aku kembali ke kamarku seandainya kak Reza tidak menahanku.
“Biar mama istirahat saja dirumah. Lagipula kita masih bisa having fun kan, meskipun mama tidak ikut?” kata papa sambil mengelus punggungku. Aku menatap mama, meminta persetujuan.
“Papa benar. Biar mama istirahat saja dirumah,” kata mama. Demi melihat wajah mama yang tampak pucat, akhirnya aku mengangguk. Kak Reza melingkarkan tangannya di bahuku dan berkata, “Ayo kita berangkat!”
Aku tersenyum dan mencium kening mama, kemudian masuk mobil. Kak Rendra ganti mencium kening dan tangan mama dan berkata, “Reza pergi dulu Ma.”
+++
Sebuah truk berukuran besar berhenti di pinggir jalan. Sopir yang mengendarainya membuka pintu dengan kasar dan mengumpat-umpat pada dua teman seprofesinya. Dengan panik dia memeriksa bagian belakang mobil. Ada cairan berwarna hitam kental yang menetes dari sana. Oli.
“Menurut kau, berapa panjang tetesan oli ini sampai ke tempat kita berangkat tadi?” tanya si sopir dengan logat bicaranya yang khas. Seorang temannya meletakkan salah satu tangannya di dahi untuk mengurangi silaunya matahari dan menatap ke kejauhan.
“Menurut awak, perjalanan kita ini sudah lima ratus meter jauhnya. Jadi, mungkin saja oli ini sudah menetes sepanjang itu,” kata orang itu. Si sopir menepuk dahinya dan dengan geram dia membentak, “Bah! Lima ratus meter kau bilang? Alamak, ini berbahaya sekali. Cepat kau telepon polisi!”.
+++
“Masih jauh, Kak?” tanyaku bosan. Kak Reza dan papa yang duduk di depan tertawa geli. “Ini belum setengah perjalanan,” kata kak Reza. Aku mendesah panjang dan kembali menatap keluar.
“Kenapa? Kamu bosan ya?” tanya papa. Aku hanya mengangguk tanpa melepaskan pandanganku dari jendela. Sepertinya pemandangan diluar mulai indah, batinku sambil menurunkan kaca mobil. Kak Rendra ikut-ikutan. Dia mematikan AC dan membuka semua jendela mobil lebar-lebar. Angin sejuk mulai terasa.
“Coba kamu lihat ke sisi kanan jalan. Ada pemandangan bagus disana,” kata kak Reza. Aku menurut dan melemparkan pandanganku. Tepat di sisi kananku, berhektar-hektar sawah yang hijau terhampar dengan indahnya. Aku tersenyum lebar dan cepat-cepat melepas kaca mataku. Kata dokter, minus mataku bisa dikurangi dengan melihat pemandangan seperti ini.
“Bagus kan?” tanya kak Reza sambil tetap fokus mengemudi. Aku mengangguk dan mulai mengabadikannya lewat kamera ponsel.
+++
“Sudah kau telepon polisi hah?!” tanya si sopir truk dengan panik. Temannya mengangguk berkali-kali. “Polisi sedang menuju kemari,” jawabnya. Sopir itu kembali mengangguk dan mulai berjalan mondar-mandir, hal yang sering dilakukannya ketika sedang menghadapi masalah penting.
“Sekarang apa yang dapat kita lakukan? Bah! Kalau saja kau mengeceknya dengan benar, tentu saja tidak akan menetes sepanjang ini,” katanya. Si sopir terus menggerutu sampai beberapa polisi datang dari arah yang berlawanan.
“Selamat siang. Ada yang bisa…”
Polisi itu terdiam saat melihat tumpahan oli yang begitu banyak. Dengan sigap dia mengambil handie talkie dan menghubungi rekan-rekannya sedangkan sopir truk itu hanya dapat berkata, “Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Ada jurang di sebelah kanan jalan. Jika ada kendaraan yang tergelincir, mau tak mau juranglah yang mereka hadapi.”
+++
Aku masih sibuk memandangi pemandangan di luar jendela. Bibirku berkali-kali bergumam kagum saat melihat hutan ataupun sawah yang sambung menyambung dengan teratur dan sangat indah. Udarapun mulai terasa lebih dingin, membuatku mengambil jaket kak Reza yang ada di sebelahku. Kak Reza hendak menutup jendelaku, namun kularang. Biarlah aku menghirup udara segar ini setelah dijejali oleh udara kota yang penuh polusi.
“Kak…”
Aku memanggil kak Reza dan memeluknya dari belakang. Kak Reza melepaskan salah satu tangannya dari kemudi dan mengelus kepalaku yang berada di pundak kirinya. “Makasih ya, Kak. Pemandangannya bagus banget,” kataku. Kak Reza mengangguk dan mencium pipiku. Iseng, kucubit pipinya keras-keras. Kak Reza mengaduh sedangkan aku dan papa tertawa geli.
Kuarahkan kembali pandanganku pada pemandangan di luar. Ttiba-tiba aku terpaku pada noda panjang berwarna hitam di jalan yang tengah dilewati oleh kami.
“Kak Reza, hati-hati. Ada oli di sebelah kanan jalan,” kataku. Kak Reza memelankan laju mobil dan memandang ke kanan jalan. Hasilnya nihil. Tidak ada oli di jalan barang setetespun.
“Mana olinya?” tanya papa yang juga ikut-ikutan memandang sisi kanan jalan. Telunjukku mengarah. “Itu Pa, yang di tengah jalan itu! Olinya banyak sekali Pa!” kataku panik. Kak Reza segera menghentikan mobil dan mengajakku turun.
“Mana olinya? Nggak ada kan?” kata kak Reza meyakinkan. Aku terdiam. Aneh… bukankah tadi ada banyak tetesan oli di jalan ini? Batinku bingung. Kak Reza memintaku kembali masuk mobil dan melanjutkan perjalanan.
Dan tetesan oli yang ada di jalan itu kembali muncul!
+++
“Lapor, Pak. Kami telah mencoba mengurangi tetesan oli itu, namun hasilnya nihil,” kata seorang anak buah Letnan Haryo, polisi yang menangani kasus ini. Polisi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dan mendesah panjang. Segera diinstruksikannya anak buahnya untuk menjalankan strategi kedua.
“Segera tutup semua jalan yang menuju kemari. Cari jalur alternatif! Lakukan pengamanan!” perintahnya. Semua anak buahnya mengangguk dan segera kembali ke lokasi. Sopir truk dengan panik mendekati polisi dan bertanya, “Bagaimana Pak polisi?”
“Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan selain menutup akses melewati jalan ini,” kata Letnan Haryo. Sopir truk itu mengangguk dengan cemas seraya berdoa agar Tuhan tidak menyiapkan skenario lain. Agar Tuhan menyelamatkan semua atas kuasaNya.
Namun semua terlambat. Sebuah mobil APV silver berjalan tidak terkendali saat menuruni jalan yang curam…
+++
“Ada apa ini, Reza?!”
Papa yang panik berteriak keras, apalagi saat mobil menghantam sisi kiri jalan. Kak Reza menggeleng-gelengkan kepala dan berusaha menginjak rem. “Reza tidak tahu, Pa. Mobilnya tidak bisa dikendalikan!”
Aku yang juga berada di mobil APV silver itu hanya dapat menatap sisi kanan jalan dengan ngeri. Tetesan oli itu tampaknya semakin banyak saja. Aku memegang handle di pintu dengan erat.
“Reza! Ada oli di sebelah kanan jalan!”
Benar apa yang kulihat! Batinku. Oli! Itu oli yang tumpah! Aku tidak dapat berpikir lagi ketika mobil kembali menghantam sisi kiri jalan. Teriakan histeris keluar dari mulutku.
Tak lama kemudian sebuah tikungan tajam mulai tampak. Hanya ada sebuah pohon besar yang berdiri kokoh disana. Jantungku semakin berpacu kencang, sekencang mobil yang melaju tanpa sanggup ditahan. “Kak Reza… bagaimana ini?” tanyaku panik. Terdengar suara desahan kak Reza.
“Pohon itu akan menyelamatkan kalian,” kata kak Reza. Papa yang berpegangan kuat-kuat pada handle mobil langung menyahut, “Apa yang akan kamu lakukan?”
“Reza akan menghentikan laju mobil ini dengan menabrakkannya pada pohon itu. Dan kalian akan selamat,” kata kak Reza. Aku menggelengkan kepalaku keras-keras.
“Bukan kalian, tapi KITA!” kataku keras.
“Kakak akan berusaha menabrakkan mobil ini tepat di pintu kanan belakang. Tabrakannya akan cukup keras, tetapi pintu belakang tidak akan terbuka. Kamu akan selamat, Dek,” kata kak Reza.
“Tidak, Reza. Jangan tabrakkan mobil ini. Pasti ada jalan lain,” kata papa. Kak Reza menggeleng. “Sudah tidak mungkin lagi, Pa. Ini satu-satunya jalan,” katanya pesimis.
“Nggak, Kak!” sahutku. Mendadak suara kak Reza menjadi parau. “Lebih baik kakak yang berkorban untuk kalian,” katanya.
“Apa? Jadi Kakak…”
“Mita! Lebih baik mengorbankan satu nyawa daripada dua ataupun tiga!” sambar kak Reza. Suaranya makin bergetar saat mobil semakin mendekati tikungan tajam itu.
Dan kak Reza benar-benar melakukannya…
+++
“Yang sabar ya, Sayang.”
Mama mengelus punggungku sesaat setelah aku turun dari mobil, seakan berusaha untuk memberikanku kekuatan. Aku menatap nanar. Sebuah pemandangan yang sangat menyayat hati terhampar di depan mata. Bukan lagi pemandangan indah itu. Bukan lagi sawah atau hutan yang berjajar dengan manis. Tetapi sebuah makam. Makam yang tanahnya masih memerah basah. Makam yang baru berumur tiga hari, namun telah kukunjungi berkali-kali…
Reza Wisnu Wardhana
Lahir: 18 Februari 1988
Wafat: 30 September 2009
Makam kak Reza…
Masih hangat di benakku saat kak Reza membujukku yang sedang merajuk. Masih kuingat saat kak Reza mencium kening mama dan mengucapkan salam perpisahan. Masih jelas terasa pelukanku pada pundak kak Reza saat berada di mobil, dan pelukan itu menjadi yang terkahir untukku!
Aku tahu, aku tidak dapat menyalahkan takdir dan keputusan yang Tuhan tetapkan. Namun jika boleh meminta, Tuhan, izinkanlah kak Reza mendapat tempat yang layak disisimu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang. Hapuslah semua dosanya, sebagai balasan dari pengorbanannya. Muliakanlah dia. Karena aku tahu, Tuhan, Engkaulah sang Maha Kuasa.
+++
Love all brothers in the world!
Sabtu, 24 Juli 2010
Briliana
Memiliki tiga orang kakak laki-laki memang tampak menyenangkan. Apalagi kalau dua diantara mereka kembar identik. Namun tidak untuk Brilianna, seorang siswi sekolah menengah atas di Yogyakarta. Ketiga kakaknya yang jenius, Leo, Rio, dan Yongki menuntutnya untuk menjadi jenius pula. Apalagi empat tahun yang lalu Si Kembar Leo dan Rio kompak masuk fakultas kedokteran universitas Gajah Mada Yogyakarta melalui jalur prestasi. Yongki juga berhasil mencetak prestasi yang membanggakan. Dia berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada dan sempat dikirim untuk belajar di Yale University. Sekarang dia telah resmi menjadi dokter spesialis penyakit dalam.
Kedua orang tua Brilianna juga menuntutnya untuk mengikuti jejak sang kakak. Brilianna harus menjadi generasi penerus Leo, Rio, dan Yongki. Padahal, Lian-nama panggilan Brilianna-sama sekali tidak berminat masuk ke fakultas kedokteran, apalagi menjadi dokter. Dia ingin menjadi seorang sarjana ilmu komputer karena selama ini blognya dianggap lebih oleh para guru di sekolahnya, baik dari segi penampilan maupun kualitas isinya.
Karena keingintahuannya yang cukup besar akan dunia komputer, Lian mencoba mendekati Angga, kakak dari sahabatnya sendiri yang berkuliah di fakultas ilmu komputer. Usaha Lian membuahkan hasil. Angga mau mengajari Lian membuat sketsa dengan menggunakan beberapa program, kemudian Lian sendiri yang membuat webnya. Lama kelamaan Angga dan Lian menjadi akrab.
Beberapa waktu kemudian, seorang guru mata pelajaran memberikan sebuah tugas kepada Lian. Beliau mendaftarkan Lian menjadi salah satu peserta olimpiade kedokteran. Beliau juga telah mempersiapkan seorang alumni yang berkuliah di fakultas kedokteran untuk membimbing Lian. Pembinaan yang terus menerus untuk menghadapi olimpiade kedokteran membuat persiapan lomba desain yang akan diikuti oleh Gilang dan Lian menjadi sedikit terbengkalai. Akhirnya, Anggapun turun tangan.
Masalah mulai muncul ketika pada suatu hari Angga datang ke rumah Lian dan bertemu dengan Rio. Rio tidak suka sang adik dekat dengan Angga. Oleh karena itu, dengan dukungan penuh dari saudara kembarnya, Rio melarang Lian bertemu kembali dengan Angga. Protes Lian sama sekali tidak ditanggapi. Akhirnya Lian sempat mogok pembinaan olimpiade kedokteran selama beberapa minggu dan mendapat surat teguran langsung dari kepala sekolah!
Hasil ujian kenaikan kelas membuat papa dan mama Lian marah. Ada nilai enam yang bertengger manis pada pelajaran Biologi dan Matematika. Pelajaran yang menurut Leo dan Rio
adalah dasar dari pelajaran di fakultas kedokteran. Nilai itu juga yang membuat posisi Lian di kelas akselerasi terancam. Papa dan mama segera menjadualkan bimbingan les privat selama liburan kenaikan kelas dan Yongkilah yang diberi mandat untuk mencarikan guru privat untuk Lian. Keputusan mereka membuat Lian semakin tertekan. Dia lari dari rumah dan meninggalkan secarik kertas bertuliskan ”Don’t push me!” di meja belajarnya.
Lalu bagaimana nasib Lian selanjutnya? Akankah Lian tetap bertahan di kelas akselerasi? Bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana hubungan Lian dan Angga selanjutnya? Berhasilkah Lian lepas dari bayang-bayang ketiga kakaknya?
Kedua orang tua Brilianna juga menuntutnya untuk mengikuti jejak sang kakak. Brilianna harus menjadi generasi penerus Leo, Rio, dan Yongki. Padahal, Lian-nama panggilan Brilianna-sama sekali tidak berminat masuk ke fakultas kedokteran, apalagi menjadi dokter. Dia ingin menjadi seorang sarjana ilmu komputer karena selama ini blognya dianggap lebih oleh para guru di sekolahnya, baik dari segi penampilan maupun kualitas isinya.
Karena keingintahuannya yang cukup besar akan dunia komputer, Lian mencoba mendekati Angga, kakak dari sahabatnya sendiri yang berkuliah di fakultas ilmu komputer. Usaha Lian membuahkan hasil. Angga mau mengajari Lian membuat sketsa dengan menggunakan beberapa program, kemudian Lian sendiri yang membuat webnya. Lama kelamaan Angga dan Lian menjadi akrab.
Beberapa waktu kemudian, seorang guru mata pelajaran memberikan sebuah tugas kepada Lian. Beliau mendaftarkan Lian menjadi salah satu peserta olimpiade kedokteran. Beliau juga telah mempersiapkan seorang alumni yang berkuliah di fakultas kedokteran untuk membimbing Lian. Pembinaan yang terus menerus untuk menghadapi olimpiade kedokteran membuat persiapan lomba desain yang akan diikuti oleh Gilang dan Lian menjadi sedikit terbengkalai. Akhirnya, Anggapun turun tangan.
Masalah mulai muncul ketika pada suatu hari Angga datang ke rumah Lian dan bertemu dengan Rio. Rio tidak suka sang adik dekat dengan Angga. Oleh karena itu, dengan dukungan penuh dari saudara kembarnya, Rio melarang Lian bertemu kembali dengan Angga. Protes Lian sama sekali tidak ditanggapi. Akhirnya Lian sempat mogok pembinaan olimpiade kedokteran selama beberapa minggu dan mendapat surat teguran langsung dari kepala sekolah!
Hasil ujian kenaikan kelas membuat papa dan mama Lian marah. Ada nilai enam yang bertengger manis pada pelajaran Biologi dan Matematika. Pelajaran yang menurut Leo dan Rio
adalah dasar dari pelajaran di fakultas kedokteran. Nilai itu juga yang membuat posisi Lian di kelas akselerasi terancam. Papa dan mama segera menjadualkan bimbingan les privat selama liburan kenaikan kelas dan Yongkilah yang diberi mandat untuk mencarikan guru privat untuk Lian. Keputusan mereka membuat Lian semakin tertekan. Dia lari dari rumah dan meninggalkan secarik kertas bertuliskan ”Don’t push me!” di meja belajarnya.
Lalu bagaimana nasib Lian selanjutnya? Akankah Lian tetap bertahan di kelas akselerasi? Bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana hubungan Lian dan Angga selanjutnya? Berhasilkah Lian lepas dari bayang-bayang ketiga kakaknya?
Novel Barukuuuu
Najwa Alluna Novaschek (Luna), Kharinza Tirana Lockhart (Ririn), Aicylla Cybelrose (Ai), Kesya Marendradani (Kesya), Ardillia Vronzka (Dilla), dan Yvonne Pradiptia (Tia) adalah enam orang cewek yang bersekolah di salah satu sekolah internasional di Yogyakarta. Mereka bersahabat mulai dari awal masuk sekolah. Dengan latar belakang yang berbeda, Luna yang tomboy, Ririn yang feminin, Kesya dan Dilla yang baik hati, dan Tia yang perhatian segera menemukan kecocokan masing-masing. Selera yang sama (mulai dari makanan hingga cowok!) membuat mereka semakin tidak terpisahkan.
Semua bermula saat seorang cowok, Delvonando Wiratama Primahadiputra (Delvon), mulai hadir dalam kehidupan mereka dan menarik perhatian Luna dan Ririn. Perlahan-lahan geng itu mulai terpecah. Luna dibantu oleh Dilla dan Tia berusaha menarik perhatian Delvon, sedangkan Ai dan Kesya membantu Ririn untuk selalu dekat dengan Delvon.
Sebuah ujian datang menghampiri Luna saat Devon telah memilihnya. Ternyata Luna menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan! Hal itulah yang membuatnya mengambil keputusan untuk mundur dari persaingan itu. Dilla dan Tia yang membantunya kontan melawan, namun mereka tidak dapat berbuat apapun setelah Luna beralasan bahwa dia tidak mencintai Delvon lagi. Tia dan Dilla menganggap Luna telah mempermainkan mereka, begitu pula dengan Delvon. Perlahan-lahan mereka menjauhi Luna.
Ririn menganggap Luna telah kalah saat Delvon datang dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Ririn langsung menyanggupinya. Hubungan antara Ririn, Kesya, Ai, Dilla, Luna, dan Tia semakin membaik, namun tidak dengan hubungan Luna dan Delvon. Suatu waktu Luna pingsan saat praktikum dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Delvon yang masih menyayangi Luna selalu menemani Luna setiap saat sampai dia sembuh dan kembali bersekolah. Ririn yang mengetahui hal tersebut menganggap Luna telah menghianati dirinya. Ririn kembali menjauhi Luna.
Suatu hari Luna terpaksa dilarikan kembali ke rumah sakit. Delvon kembali berada di sisinya sampai pada suatu hari dia mengetahui bahwa penyakit Luna tidak dapat disembuhkan dan dapat merenggut nyawanya sewaktu-waktu. Delvon segera memberitahu Ririn, Dilla, Ai, Kesya, dan Tia. Namun usahanya sia-sia. Tidak satupun dari mereka mau menjenguk Luna yang kondisinya semakin melemah dari waktu ke waktu.
Lalu bagaimanakah kondisi Luna selanjutnya? Apakah teman-temannya mau memaafkannya? Mampukah dia bertahan?
Semua bermula saat seorang cowok, Delvonando Wiratama Primahadiputra (Delvon), mulai hadir dalam kehidupan mereka dan menarik perhatian Luna dan Ririn. Perlahan-lahan geng itu mulai terpecah. Luna dibantu oleh Dilla dan Tia berusaha menarik perhatian Delvon, sedangkan Ai dan Kesya membantu Ririn untuk selalu dekat dengan Delvon.
Sebuah ujian datang menghampiri Luna saat Devon telah memilihnya. Ternyata Luna menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan! Hal itulah yang membuatnya mengambil keputusan untuk mundur dari persaingan itu. Dilla dan Tia yang membantunya kontan melawan, namun mereka tidak dapat berbuat apapun setelah Luna beralasan bahwa dia tidak mencintai Delvon lagi. Tia dan Dilla menganggap Luna telah mempermainkan mereka, begitu pula dengan Delvon. Perlahan-lahan mereka menjauhi Luna.
Ririn menganggap Luna telah kalah saat Delvon datang dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Ririn langsung menyanggupinya. Hubungan antara Ririn, Kesya, Ai, Dilla, Luna, dan Tia semakin membaik, namun tidak dengan hubungan Luna dan Delvon. Suatu waktu Luna pingsan saat praktikum dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Delvon yang masih menyayangi Luna selalu menemani Luna setiap saat sampai dia sembuh dan kembali bersekolah. Ririn yang mengetahui hal tersebut menganggap Luna telah menghianati dirinya. Ririn kembali menjauhi Luna.
Suatu hari Luna terpaksa dilarikan kembali ke rumah sakit. Delvon kembali berada di sisinya sampai pada suatu hari dia mengetahui bahwa penyakit Luna tidak dapat disembuhkan dan dapat merenggut nyawanya sewaktu-waktu. Delvon segera memberitahu Ririn, Dilla, Ai, Kesya, dan Tia. Namun usahanya sia-sia. Tidak satupun dari mereka mau menjenguk Luna yang kondisinya semakin melemah dari waktu ke waktu.
Lalu bagaimanakah kondisi Luna selanjutnya? Apakah teman-temannya mau memaafkannya? Mampukah dia bertahan?
Never Ending Love Story
Siapa sih, yang ingin menjadi anak dari keluarga broken home? Siapa sih, yang ingin hidup tanpa kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua? Siapa sih, yang ingin dipandang perlu dikasihani hanya karena keluarga kita tidak utuh lagi? Kupikir tidak ada satupun yang menginginkannya, begitu pula denganku.
Papa dan mamaku bercerai setengah tahun yang lalu. Hak asuh anak jatuh pada papa. Aku dan kedua adikku tidak banyak protes saat beliau mengajak kami pindah ke rumah baru, meskipun kami juga harus mengurus kepindahan kami dari sekolah yang lama.
Tidak ada yang istimewa di sekolah baruku, kecuali seseorang yang membuat hatiku berbunga untuk pertama kalinya. Namanya Gilang. Usianya satu tahun lebih tua dariku. Saat ini dia sedang sibuk mempersiapkan ujian akhir sekolah yang kabarnya semakin sulit karena pemerintah kembali menaikkan standar kelulusan. Aku sering berpapasan dengannya saat kami berada di kantin. Dia selalu menyapaku lebih dulu.
Gilang bukanlah orang penting di sekolah. Dia bukan ketua OSIS yang setiap hari mengumpulkan anggotanya di ruang rapat. Dia bukan ketua teater atau klub seni di sekolahku. Dia juga tidak tergabung di klub olimpiade sains bergengsi di sekolahku. Dia hanyalah seorang kapten tim basket yang setiap hari selalu meluangkan waktu untuk berlatih di halaman belakang ditemani olehku.
Ah, menemaninya berlatih basket sudah membuatku senang. Aku juga penyuka basket. Mungkin karena itulah aku kami menemukan kecocokan dalam diri masing-masing. Gilang sudah pernah merasakan bertanding dengan pemain basket nasional saat mengikuti ajang basket yang diselenggarakan oleh salah satu produsen mie instan. Dia mengetahui banyak trik permainan. Itulah sebabnya mengapa klub basket sekolahku disegani oleh klub basket sekolah lain.
Gilang juga mahir berbahasa Inggris. Dia pernah mengikuti program pertukaran pelajar selama empat bulan ke Connecticut. Selama itulah ada seseorang yang hadir di hatiku. Namanya Angga. Dia adalah kakak Gilang. Kak Angga adalah seorang dokter yang pernah menangani cedera lututku saat aku bertanding basket. Hubungan kami semakin dekat saat aku ditugaskan untuk mengikuti olimpiade kedokteran yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi bergengsi di kotaku, dan kak Angga menjadi pembimbingku.
Kami banyak meluangkan waktu bersama. Saat itu entah mengapa aku sedikit melupakan Gilang. Aku tidak begitu bersemangat saat dia meluangkan waktu untuk meneleponku. Aku juga tidak begitu tertarik saat dia mengajakku video chatting. Aku lebih bersemangat saat kak Angga mengajakku melihat rekaman video “Dr. Oz Show” yang dia dapatkan dari sebuah situs.
Siang itu, seperti biasa aku mengikuti bimbingan dengan kak Angga. Sebuah SMS yang masuk ke HP kak Angga membuatnya tersenyum senang. Hari ini Gilang pulang dari Connecticut. Itu artinya, besok pagi aku dan kak Angga akan menjemputnya di bandara. Ayayay… dua orang yang aku sukai akan bertemu besok.
Keesokan harinya kak Angga telah menjemputku di rumah. Toyota Fortunernya membunyikan klakson, membuatku cepat-cepat menuntaskan sarapan pagiku dan berlari menemuinya. Kami bergurau di sepanjang jalan menuju bandara. Di ruang tunggu, kak Angga mendahuluiku saat melihat Gilang sedang duduk dengan dua tumpuk koper di sampingnya. Riuh sejenak. Kak Angga dan Gilang saling berangkulan dan menemuiku yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Gilang memelukku dengan erat saat aku tersenyum ke arahnya. Kak Angga membawa kami mengitari kota Yogyakarta dan berhenti sejenak di depan kampusnya saat dia melihat seseorang. Kak Angga mengenalkannya padaku. Namanya Lian. Dia adalah rekan seprofesi sekaligus teman istimewa kak Angga. Saat itu ada sesuatu yang kurasakan hilang dari tubuhku.
Kami melanjutkan perjalanan. Penghuni mobil bertambah satu, kak Lian. Dia duduk di samping Gilang dan mengobrol dengan riuh. Aku mengamati mereka satu-persatu. Kak Angga. Dia istimewa untukku, namun entah apakah aku pernah menjadi istimewa untuknya. Kak Lian. Istimewa untuk orang istimewaku. Gilang. Setidaknya aku pernah menjadi istimewa untuknya.
Kami berhenti di sebuah rumah di jalan Ganesha. Kak Angga, kak Lian, aku, dan Gilang masuk. Betapa terkejutnya saat aku melihat seorang wanita turun dari tangga menyambut kami. Mama!
“Ma, ini teman Gilang. Namanya Mita,” kata Gilang sambil merangkul mama. Hah? Mama? Gilang memanggil mama dengan sebutan “mama”? Aku menatap mama dengan pandangan tidak percaya.
“Kemarilah, Nak,” kata mama sambil memelukku. Air mataku menetes. Ternyata mama telah menikah lagi dengan seorang pengusaha dua bulan yang lalu. Pengusaha itu adalah ayah dari kak Angga dan Gilang. Itu berarti, mereka berdua adalah saudara tiriku.
Kurasakan kelegaan yang sangat saat aku memeluk kak Angga dan Gilang bergantian. Ternyata rasa cintaku selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mampu mendapatkan cinta dari keduanya. Ya, cinta yang tulus dan abadi dari kedua orang kakak. Dan cerita cinta ini akan terus berlanjut…
Papa dan mamaku bercerai setengah tahun yang lalu. Hak asuh anak jatuh pada papa. Aku dan kedua adikku tidak banyak protes saat beliau mengajak kami pindah ke rumah baru, meskipun kami juga harus mengurus kepindahan kami dari sekolah yang lama.
Tidak ada yang istimewa di sekolah baruku, kecuali seseorang yang membuat hatiku berbunga untuk pertama kalinya. Namanya Gilang. Usianya satu tahun lebih tua dariku. Saat ini dia sedang sibuk mempersiapkan ujian akhir sekolah yang kabarnya semakin sulit karena pemerintah kembali menaikkan standar kelulusan. Aku sering berpapasan dengannya saat kami berada di kantin. Dia selalu menyapaku lebih dulu.
Gilang bukanlah orang penting di sekolah. Dia bukan ketua OSIS yang setiap hari mengumpulkan anggotanya di ruang rapat. Dia bukan ketua teater atau klub seni di sekolahku. Dia juga tidak tergabung di klub olimpiade sains bergengsi di sekolahku. Dia hanyalah seorang kapten tim basket yang setiap hari selalu meluangkan waktu untuk berlatih di halaman belakang ditemani olehku.
Ah, menemaninya berlatih basket sudah membuatku senang. Aku juga penyuka basket. Mungkin karena itulah aku kami menemukan kecocokan dalam diri masing-masing. Gilang sudah pernah merasakan bertanding dengan pemain basket nasional saat mengikuti ajang basket yang diselenggarakan oleh salah satu produsen mie instan. Dia mengetahui banyak trik permainan. Itulah sebabnya mengapa klub basket sekolahku disegani oleh klub basket sekolah lain.
Gilang juga mahir berbahasa Inggris. Dia pernah mengikuti program pertukaran pelajar selama empat bulan ke Connecticut. Selama itulah ada seseorang yang hadir di hatiku. Namanya Angga. Dia adalah kakak Gilang. Kak Angga adalah seorang dokter yang pernah menangani cedera lututku saat aku bertanding basket. Hubungan kami semakin dekat saat aku ditugaskan untuk mengikuti olimpiade kedokteran yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi bergengsi di kotaku, dan kak Angga menjadi pembimbingku.
Kami banyak meluangkan waktu bersama. Saat itu entah mengapa aku sedikit melupakan Gilang. Aku tidak begitu bersemangat saat dia meluangkan waktu untuk meneleponku. Aku juga tidak begitu tertarik saat dia mengajakku video chatting. Aku lebih bersemangat saat kak Angga mengajakku melihat rekaman video “Dr. Oz Show” yang dia dapatkan dari sebuah situs.
Siang itu, seperti biasa aku mengikuti bimbingan dengan kak Angga. Sebuah SMS yang masuk ke HP kak Angga membuatnya tersenyum senang. Hari ini Gilang pulang dari Connecticut. Itu artinya, besok pagi aku dan kak Angga akan menjemputnya di bandara. Ayayay… dua orang yang aku sukai akan bertemu besok.
Keesokan harinya kak Angga telah menjemputku di rumah. Toyota Fortunernya membunyikan klakson, membuatku cepat-cepat menuntaskan sarapan pagiku dan berlari menemuinya. Kami bergurau di sepanjang jalan menuju bandara. Di ruang tunggu, kak Angga mendahuluiku saat melihat Gilang sedang duduk dengan dua tumpuk koper di sampingnya. Riuh sejenak. Kak Angga dan Gilang saling berangkulan dan menemuiku yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Gilang memelukku dengan erat saat aku tersenyum ke arahnya. Kak Angga membawa kami mengitari kota Yogyakarta dan berhenti sejenak di depan kampusnya saat dia melihat seseorang. Kak Angga mengenalkannya padaku. Namanya Lian. Dia adalah rekan seprofesi sekaligus teman istimewa kak Angga. Saat itu ada sesuatu yang kurasakan hilang dari tubuhku.
Kami melanjutkan perjalanan. Penghuni mobil bertambah satu, kak Lian. Dia duduk di samping Gilang dan mengobrol dengan riuh. Aku mengamati mereka satu-persatu. Kak Angga. Dia istimewa untukku, namun entah apakah aku pernah menjadi istimewa untuknya. Kak Lian. Istimewa untuk orang istimewaku. Gilang. Setidaknya aku pernah menjadi istimewa untuknya.
Kami berhenti di sebuah rumah di jalan Ganesha. Kak Angga, kak Lian, aku, dan Gilang masuk. Betapa terkejutnya saat aku melihat seorang wanita turun dari tangga menyambut kami. Mama!
“Ma, ini teman Gilang. Namanya Mita,” kata Gilang sambil merangkul mama. Hah? Mama? Gilang memanggil mama dengan sebutan “mama”? Aku menatap mama dengan pandangan tidak percaya.
“Kemarilah, Nak,” kata mama sambil memelukku. Air mataku menetes. Ternyata mama telah menikah lagi dengan seorang pengusaha dua bulan yang lalu. Pengusaha itu adalah ayah dari kak Angga dan Gilang. Itu berarti, mereka berdua adalah saudara tiriku.
Kurasakan kelegaan yang sangat saat aku memeluk kak Angga dan Gilang bergantian. Ternyata rasa cintaku selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mampu mendapatkan cinta dari keduanya. Ya, cinta yang tulus dan abadi dari kedua orang kakak. Dan cerita cinta ini akan terus berlanjut…
Kutemukan Mutiaraku Kembali
Aku menatap seorang gadis cilik yang pagi ini dibawa ke rumah sakit dengan pandangan miris. Entah apa lagi yang dia alami sampai-sampai tubuhnya penuh luka lebam. Baru beberapa minggu yang lalu dia dirawat di rumah sakit dengan gejala yang sama: tubuhnya penuh luka lebam. Namun, setiap kali aku menanyakan sebabnya, anak itu hanya menjawab, “Saya jatuh dari metromini.”
Sungguh terenyuh aku mendengarnya. Anak ini baru berumur sebelas tahun, namun bnyak sekali kehidupan pahit yang telah dia rasakan. Dia sudah tidak memiliki orang tua, namun masih memiliki seorang kakak yang berusia empat tahun lebih tua. Sayang, sang kakak pergi tanpa diketahui rimbanya.
Aku mulai mencuci kedua tanganku dengan sabun dan mengenakan sarung tangan karet. Untuk kasus seperti ini, biasanya para suster yang menangani. Namun kali ini biar aku saja yang melakukannya.
Sampai di ruang UGD, aku segera menuju tempat perawatan. Setelah melihat kondisi pasien, aku langsung meminta para suster untuk memindahkannya ke ruang tindakan operasi kecil. Ada beberapa luka di kakinya yang kuperkirakan harus dijahit. Tanpa membutuhkan banyak waktu, anak itu telah siap untuk ditangani.
“Siapa namamu?” tanyaku sebelum aku mulai melakukan tindakan. Anak itu meringis kecil, menggeser kakinya sedikit, lalu menjawab, “Lia.”
Aku mengangguk-angguk dan mulai memerksa luka di kakinya. Tampaknya memang cukup lebar, namun tidak terlalu dalam. Aku memutuskan untuk tidak menjahitnya.
“Lia jatuh dari metromini lagi?” tanyaku. Dia mengangguk, begitu juga denganku. Namun aku mendadak ragu saat melihat bekas luka di tangan kirinya, tepatnya bagian lengan atas. Tampak sepertiga bagian lengannya membiru. Aku sedikit khawatir ketika Lia mengaduh saat aku menyentuh bagian yang membiru itu.
“Lia beneran jatuh dari metromini?” tanyaku. Lia mengangguk berkali-kali. Tapi warna biru di lengan atasnya tampak seperti bekas pukulan benda tumpul, batinku. Entah karena terlalu sering menonton acara penganiayaan di televisi atau karena naluri seorag dokter, aku segera memeriksa kepalanya.
“Dok, kepala saya nggak sakit,” kata Lia saat aku memeriksa kepalanya. Aku tersenyum. “Saya hanya ingin tahu apakah ada luka juga di kepalamu,” jawabku. Lia mengangguk-angguk. Setelah tiga puluh menit berlalu, aku selesai memeriksanya. Semua luka yang ada di tubuhnya telah selesai kuobati. Anak ini tidak perlu dirawat, batinku saat memberikan selembar resep pada orang yang waktu itu mengantar Lia ke rumah sakit dan memintanya kembali kontrol esok hari.
+++
“Pasien Lia sudah ada di ruang tunggu, Dokter Kevin,” kata seorang suster saat aku masuk ke ruang praktik. Aku meletakkan tas kerjaku dan duduk di kursi. Seorang pekerja membawakan segelas teh hangat dan langsung kuteguk.
“Sudah siap untuk praktik?” tanya suster. Aku tersenyum dan mengangguk. Suster itu mulai memanggil pasien satu-persatu. Pasien pertamaku pagi ini adalah Lia. Lia adalah pasien yang penurut. Dia selalu datang setiap kali kuminta untuk kontrol ulang.
“Selamat pagi,” sapaku saat Lia masuk. Dia tampak menggandeng seseorang yang belakangan kuketahui adalah sopir metromini bernama Bakir yang sering Lia bantu untuk mencari uang.
“Selamat pagi juga, Dokter,” jawab Lia. Dia meminta sopir metromini yang mengantarnya untuk duduk, kemudian tidur di tempat yang telah disediakan. Seorang suster memberikan status pasien kepadaku. Aku membacanya dengan teliti, kemudian bertanya dengan sedikit nada curiga kepada Pak Bakir.
“Lia bilang, dia jatuh dari metromini kemarin. Benar, Pak?” tanyaku. Sopir taksi itu tampak akan mengatakan sesuatu namun Lia cepat-cepat menyahut, “Iya, Dok. Beneran deh.”
Keningku berkerut, namun aku segera memeriksa Lia. Tidak ada masalah dengan kondisi anak ini. Hanya saja warna biru di lengan kiri atasnya masih tampak, bahkan semakin jelas terlihat. Lia mengaduh kesakitan saat aku menyentuhnya.
“Kita harus melakukan foto rontgent untuk mengetahui kondisi tangan kiri Lia,” kataku pada Pak Bakir. Pak Bakir hanya terdiam. Tiba-tiba Lia yang baru saja selesai kuperiksa menyahut, ”Pak Bakir nggak punya uang.”
Aku tertegun. Meskipun baru tiga tahun menjalani profesi sebagai seorang dokter, aku telah paham bagaimana rasa kemanusiaan terkadang tidak berlaku di rumah sakit. Pengobatan pasien seringkali tertunda hanya karena masalah ekonomi. Aku tahu pemerintah telah memberikan program jaminan kesehatan, namun terkadang ada pula oknum yang mempersulit para golongan ekonomi lemah untuk mendapatkannya. Sebagai seorang dokter, terkadang akupun tidak dapat melakukan tindakan jika si pasien bermasalah dengan uang.
Seperti saat ini. Aku mengizinkan Lia keluar dari ruang praktikku tanpa tindakan apapun. Hanya prosedur pemeriksaan standart yang dia dapatkan.
+++
“Sudah pulang. Vin?” tanya mama saat aku kembali dari rumah sakit. Aku mengangguk dan duduk di sebelah mama. Kubiarkan Mbok Rah, pembantu yang telah bekerja di rumahku sejak aku berumur lima tahun, meletakkan sepatu dan tas di kamarku.
“Kamu kelihatan capek sekali hari ini?” tanya mama lagi. Aku mengangguk dan mengendurkan dasiku. Mama tersenyum dan mengelus rambutku. Hal yang sering dilakukan mama meskipun aku telah dewasa.
“Mama sudah masak makanan kesukaan kamu, Vin. Sebaiknya kamu segera makan, kemudian istirahat. Mama nggak mau dokter pribadi mama sakit,” kata mama. Aku tersenyum dan memeluk mama, kemudian segera menuju kamarku.
Makan malam yang sunyi. Papa seperti biasa belum pulang dari kantornya, sedangkan mama sibuk dengan aromatherapy yang beberapa hari yang lalu dibelinya. Seluruh ruangan berbau lavender sekarang.
Aku mengambil sesendok nasi dari ricecooker yang letaknya tidak jauh dari meja makan. Tampaknya malam ini perutku menolak untuk diisi makanan terlalu banyak, meskipun mama memasak sayur kangkung kesukaanku. Aku makan sambil sesekali memikirkan Lia. Sepertinya ada sesuatu yang membuatku ingin menyelidikinya.
“Kok kamu makan sedikit sekali Vin? Masakan mama kurang enak ya?” tanya mama. Aku tersenyum dan menggeleng. “Tidak, Ma. Kevin hanya sedang ada sedikit masalah di rumah sakit,” jawabku.
Mama mengelus kepalaku dan duduk di sampingku. Beliau mengambil sebutir apel dan mulai mengupasnya perlahan-lahan. “Masalah dengan pasien kamu?” tanya mama. Aku mengangguk. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Cepat-cepat kuraih gagang telepon dan menelepon asistenku di rumah sakit.
“Halo, selamat malam.”
“Selamat malam. Suster, tolong alihkan semua pasien saya kepada dokter Brian malam ini karena besok saya tidak dapat datang.”
+++
“Lucu. Kamu akan melakukan penyelidikan? Memangnya kamu pikir, kamu seorang detektif? Lebih baik kamu urus pasien-pasienmu saja,” kata Brian, teman seprofesiku, saat aku meneleponnya. Aku tersenyum.
“Aku titip pasien-pasienku sebentar,” kataku sambil menutup telepon. Segera kupakai topi hitamku dan keluar rumah tanpa membawa mobil. Rencananya hari ini aku akan menumpang metromini yang dikondekturi oleh Lia.
Sudah satu jam aku berdiri di pinggir jalan Ganesha, pusat metromini yang ada di kotaku. namun Lia tidak kunjung muncul. Berulang kali aku melirik arloji, berharap dia segera muncul.
Diiin... Diiin...
“Jalur lima Pak! Jalur lima!”
Terdengar suara yang sangat kukenal. Suara Lia. Sudut bibirku terangkat. Dengan sekali lambaian metromini itu menepi dan berhenti. Sekilas kulirik sopir yang duduk di depan. Pak Bakir.
Sempurna! Batinku saat metromini mulai melaju. Aku memilih duduk di belakang agar aku dapat mengawasi Lia. Dia bekerja sangat cekatan, seperti orang dewasa saja. Tiba-tiba bahuku dicolek seseorang. “Ongkos, Mas,” katanya.
Aku mengeluarkan selembar uang duapuluh ribuan. “Ambil saja kembaliannya,” kataku saat si penarik ongkos memberikan uang kembalian. Dia tersenyum. “Terima kasih Mas. Terimakasih.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian aku kembali serius mengamati Lia. Tidak ada masalah dengan anak itu. Hanya saja dia jarang sekali menggunakan tangan kirinya. Aku tahu tangan kirinya mengalami cedera. Tak lama kemudian metromini melaju di jalan Mangkubumi dan melewati rumah sakit tempatku bekerja. Lia tampak berbicara sebentar dengan Pak Bakir kemudian turun. Aku buru-buru mengikutinya.
Lia menyusuri gang sempit disamping rumah sakit. Aku berusaha mengkutinya tanpa menimbulkan suara. Saat itu suasana mendung dan hujan gerimis turun. Beberapa kali aku hampir terpeleset karena jalan sangat licin.
“Sudah kau dapatkan uang itu, anak ingusan?!” bentak seseorang saat Lia memasuki sebuah gubug. Langkahku terhenti. Segera kucari tempat persembunyian. Entah apa yang Lia lakukan di dalam sana. Yang kudengar hanyalah bentakan-bentakan yang sangat kasar yang tidak pantas diucapkan.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam. Tanpa pikir panjang aku keluar dari persembunyianku dan menerobos masuk. Kulihat Lia sedang terkapar dengan memegangi lengan kirinya. Beberapa orang bertubuh sangar berdiri di depannya dengan membawa sebilah kayu. Jadi... ini alasan mengapa banyak luka di tubuhnya? Luka-luka itu disebabkan oleh pukulan kayu, bukan karena jatuh dari metromini! Batinku.
Aku segera memeluk Lia dan membawanya keluar. Tidak kupedulikan teriakan geram dan ancaman dari orang-orang bertubuh besar itu. Satu hal yang kupikirkan: aku harus menyelamatkan anak ini.
+++
“Kadaver dengan kasus drowning dengan ciri-ciri: tinggi tubuh 160 cm, kulit sawo matang, rambut ikal sebahu berwarna hitam, identitasnya telah diketahui...”
Aku mendengarkan penjelasan seorang co-ass yang sedang mengambil siklus forensik dengan seksama. Sesekali aku tersenyum saat si co-ass sibuk mendeskripsikan kadaver dengan berbagai gaya: menggaruk-garuk kepalanya ketika kebingungan, menjelaskan dengan gerak tangan yang berlebihan, bahkan terkadang kehabisan suara karena gugup.
“Cukup. Saya mengerti,” kataku sambil berjalan mendekati si co-ass. Co-ass itu mengangguk dan memberikan sepasang sarung tangan karet padaku. “Tolong ambilkan map yang ada atas meja,” kataku sambil meneliti kembali kadaver yang tadi diteliti oleh Lia, adikku.
Adik?
Ya, Lia adalah adikku. Adik angkat lebih tepatnya. Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk menjadikannya sebagai adik angkat. Mama dan papa setuju. Sekarang, Lia telah menyelesaikan studinya di fakultas kedokteran dan tengah mengambil profesi di rumah sakit tempatku bekerja.
Aku sendiri telah resmi menjadi dokter spesialis forensik satu tahun yang lalu. Pendidikan forensik kudapatkan di Yale University, Amerika, dilanjutkan dengan mengambil profesi di salah satu universitas di Indonesia, dan akhirnya bekerja kembali di rumah sakit ini.
“Silakan, Dok,” kata Lia sambil menyerahkan sebuah map berwarna biru muda. Aku mengangguk dan membaca data-data otopsi dengan teliti. Sekilas kulirik Lia yang berdiri tidak jauh dariku. Air matanya menggenang.
“Kenapa Lia?” tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari map yang sedang kubaca. Tiba-tiba terdengar suara isakan. “Kadaver itu bernama Eka Saputra kan, Kak?” tanya Lia. Aku mengangguk.
“Akhirnya aku bisa bertemu dengan kakak kandungku, meskipun dengan kondisi seperti ini...”
+++
Untuk keluargaku, terimakasih telah mendukung cita-citaku.
Sungguh terenyuh aku mendengarnya. Anak ini baru berumur sebelas tahun, namun bnyak sekali kehidupan pahit yang telah dia rasakan. Dia sudah tidak memiliki orang tua, namun masih memiliki seorang kakak yang berusia empat tahun lebih tua. Sayang, sang kakak pergi tanpa diketahui rimbanya.
Aku mulai mencuci kedua tanganku dengan sabun dan mengenakan sarung tangan karet. Untuk kasus seperti ini, biasanya para suster yang menangani. Namun kali ini biar aku saja yang melakukannya.
Sampai di ruang UGD, aku segera menuju tempat perawatan. Setelah melihat kondisi pasien, aku langsung meminta para suster untuk memindahkannya ke ruang tindakan operasi kecil. Ada beberapa luka di kakinya yang kuperkirakan harus dijahit. Tanpa membutuhkan banyak waktu, anak itu telah siap untuk ditangani.
“Siapa namamu?” tanyaku sebelum aku mulai melakukan tindakan. Anak itu meringis kecil, menggeser kakinya sedikit, lalu menjawab, “Lia.”
Aku mengangguk-angguk dan mulai memerksa luka di kakinya. Tampaknya memang cukup lebar, namun tidak terlalu dalam. Aku memutuskan untuk tidak menjahitnya.
“Lia jatuh dari metromini lagi?” tanyaku. Dia mengangguk, begitu juga denganku. Namun aku mendadak ragu saat melihat bekas luka di tangan kirinya, tepatnya bagian lengan atas. Tampak sepertiga bagian lengannya membiru. Aku sedikit khawatir ketika Lia mengaduh saat aku menyentuh bagian yang membiru itu.
“Lia beneran jatuh dari metromini?” tanyaku. Lia mengangguk berkali-kali. Tapi warna biru di lengan atasnya tampak seperti bekas pukulan benda tumpul, batinku. Entah karena terlalu sering menonton acara penganiayaan di televisi atau karena naluri seorag dokter, aku segera memeriksa kepalanya.
“Dok, kepala saya nggak sakit,” kata Lia saat aku memeriksa kepalanya. Aku tersenyum. “Saya hanya ingin tahu apakah ada luka juga di kepalamu,” jawabku. Lia mengangguk-angguk. Setelah tiga puluh menit berlalu, aku selesai memeriksanya. Semua luka yang ada di tubuhnya telah selesai kuobati. Anak ini tidak perlu dirawat, batinku saat memberikan selembar resep pada orang yang waktu itu mengantar Lia ke rumah sakit dan memintanya kembali kontrol esok hari.
+++
“Pasien Lia sudah ada di ruang tunggu, Dokter Kevin,” kata seorang suster saat aku masuk ke ruang praktik. Aku meletakkan tas kerjaku dan duduk di kursi. Seorang pekerja membawakan segelas teh hangat dan langsung kuteguk.
“Sudah siap untuk praktik?” tanya suster. Aku tersenyum dan mengangguk. Suster itu mulai memanggil pasien satu-persatu. Pasien pertamaku pagi ini adalah Lia. Lia adalah pasien yang penurut. Dia selalu datang setiap kali kuminta untuk kontrol ulang.
“Selamat pagi,” sapaku saat Lia masuk. Dia tampak menggandeng seseorang yang belakangan kuketahui adalah sopir metromini bernama Bakir yang sering Lia bantu untuk mencari uang.
“Selamat pagi juga, Dokter,” jawab Lia. Dia meminta sopir metromini yang mengantarnya untuk duduk, kemudian tidur di tempat yang telah disediakan. Seorang suster memberikan status pasien kepadaku. Aku membacanya dengan teliti, kemudian bertanya dengan sedikit nada curiga kepada Pak Bakir.
“Lia bilang, dia jatuh dari metromini kemarin. Benar, Pak?” tanyaku. Sopir taksi itu tampak akan mengatakan sesuatu namun Lia cepat-cepat menyahut, “Iya, Dok. Beneran deh.”
Keningku berkerut, namun aku segera memeriksa Lia. Tidak ada masalah dengan kondisi anak ini. Hanya saja warna biru di lengan kiri atasnya masih tampak, bahkan semakin jelas terlihat. Lia mengaduh kesakitan saat aku menyentuhnya.
“Kita harus melakukan foto rontgent untuk mengetahui kondisi tangan kiri Lia,” kataku pada Pak Bakir. Pak Bakir hanya terdiam. Tiba-tiba Lia yang baru saja selesai kuperiksa menyahut, ”Pak Bakir nggak punya uang.”
Aku tertegun. Meskipun baru tiga tahun menjalani profesi sebagai seorang dokter, aku telah paham bagaimana rasa kemanusiaan terkadang tidak berlaku di rumah sakit. Pengobatan pasien seringkali tertunda hanya karena masalah ekonomi. Aku tahu pemerintah telah memberikan program jaminan kesehatan, namun terkadang ada pula oknum yang mempersulit para golongan ekonomi lemah untuk mendapatkannya. Sebagai seorang dokter, terkadang akupun tidak dapat melakukan tindakan jika si pasien bermasalah dengan uang.
Seperti saat ini. Aku mengizinkan Lia keluar dari ruang praktikku tanpa tindakan apapun. Hanya prosedur pemeriksaan standart yang dia dapatkan.
+++
“Sudah pulang. Vin?” tanya mama saat aku kembali dari rumah sakit. Aku mengangguk dan duduk di sebelah mama. Kubiarkan Mbok Rah, pembantu yang telah bekerja di rumahku sejak aku berumur lima tahun, meletakkan sepatu dan tas di kamarku.
“Kamu kelihatan capek sekali hari ini?” tanya mama lagi. Aku mengangguk dan mengendurkan dasiku. Mama tersenyum dan mengelus rambutku. Hal yang sering dilakukan mama meskipun aku telah dewasa.
“Mama sudah masak makanan kesukaan kamu, Vin. Sebaiknya kamu segera makan, kemudian istirahat. Mama nggak mau dokter pribadi mama sakit,” kata mama. Aku tersenyum dan memeluk mama, kemudian segera menuju kamarku.
Makan malam yang sunyi. Papa seperti biasa belum pulang dari kantornya, sedangkan mama sibuk dengan aromatherapy yang beberapa hari yang lalu dibelinya. Seluruh ruangan berbau lavender sekarang.
Aku mengambil sesendok nasi dari ricecooker yang letaknya tidak jauh dari meja makan. Tampaknya malam ini perutku menolak untuk diisi makanan terlalu banyak, meskipun mama memasak sayur kangkung kesukaanku. Aku makan sambil sesekali memikirkan Lia. Sepertinya ada sesuatu yang membuatku ingin menyelidikinya.
“Kok kamu makan sedikit sekali Vin? Masakan mama kurang enak ya?” tanya mama. Aku tersenyum dan menggeleng. “Tidak, Ma. Kevin hanya sedang ada sedikit masalah di rumah sakit,” jawabku.
Mama mengelus kepalaku dan duduk di sampingku. Beliau mengambil sebutir apel dan mulai mengupasnya perlahan-lahan. “Masalah dengan pasien kamu?” tanya mama. Aku mengangguk. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Cepat-cepat kuraih gagang telepon dan menelepon asistenku di rumah sakit.
“Halo, selamat malam.”
“Selamat malam. Suster, tolong alihkan semua pasien saya kepada dokter Brian malam ini karena besok saya tidak dapat datang.”
+++
“Lucu. Kamu akan melakukan penyelidikan? Memangnya kamu pikir, kamu seorang detektif? Lebih baik kamu urus pasien-pasienmu saja,” kata Brian, teman seprofesiku, saat aku meneleponnya. Aku tersenyum.
“Aku titip pasien-pasienku sebentar,” kataku sambil menutup telepon. Segera kupakai topi hitamku dan keluar rumah tanpa membawa mobil. Rencananya hari ini aku akan menumpang metromini yang dikondekturi oleh Lia.
Sudah satu jam aku berdiri di pinggir jalan Ganesha, pusat metromini yang ada di kotaku. namun Lia tidak kunjung muncul. Berulang kali aku melirik arloji, berharap dia segera muncul.
Diiin... Diiin...
“Jalur lima Pak! Jalur lima!”
Terdengar suara yang sangat kukenal. Suara Lia. Sudut bibirku terangkat. Dengan sekali lambaian metromini itu menepi dan berhenti. Sekilas kulirik sopir yang duduk di depan. Pak Bakir.
Sempurna! Batinku saat metromini mulai melaju. Aku memilih duduk di belakang agar aku dapat mengawasi Lia. Dia bekerja sangat cekatan, seperti orang dewasa saja. Tiba-tiba bahuku dicolek seseorang. “Ongkos, Mas,” katanya.
Aku mengeluarkan selembar uang duapuluh ribuan. “Ambil saja kembaliannya,” kataku saat si penarik ongkos memberikan uang kembalian. Dia tersenyum. “Terima kasih Mas. Terimakasih.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian aku kembali serius mengamati Lia. Tidak ada masalah dengan anak itu. Hanya saja dia jarang sekali menggunakan tangan kirinya. Aku tahu tangan kirinya mengalami cedera. Tak lama kemudian metromini melaju di jalan Mangkubumi dan melewati rumah sakit tempatku bekerja. Lia tampak berbicara sebentar dengan Pak Bakir kemudian turun. Aku buru-buru mengikutinya.
Lia menyusuri gang sempit disamping rumah sakit. Aku berusaha mengkutinya tanpa menimbulkan suara. Saat itu suasana mendung dan hujan gerimis turun. Beberapa kali aku hampir terpeleset karena jalan sangat licin.
“Sudah kau dapatkan uang itu, anak ingusan?!” bentak seseorang saat Lia memasuki sebuah gubug. Langkahku terhenti. Segera kucari tempat persembunyian. Entah apa yang Lia lakukan di dalam sana. Yang kudengar hanyalah bentakan-bentakan yang sangat kasar yang tidak pantas diucapkan.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam. Tanpa pikir panjang aku keluar dari persembunyianku dan menerobos masuk. Kulihat Lia sedang terkapar dengan memegangi lengan kirinya. Beberapa orang bertubuh sangar berdiri di depannya dengan membawa sebilah kayu. Jadi... ini alasan mengapa banyak luka di tubuhnya? Luka-luka itu disebabkan oleh pukulan kayu, bukan karena jatuh dari metromini! Batinku.
Aku segera memeluk Lia dan membawanya keluar. Tidak kupedulikan teriakan geram dan ancaman dari orang-orang bertubuh besar itu. Satu hal yang kupikirkan: aku harus menyelamatkan anak ini.
+++
“Kadaver dengan kasus drowning dengan ciri-ciri: tinggi tubuh 160 cm, kulit sawo matang, rambut ikal sebahu berwarna hitam, identitasnya telah diketahui...”
Aku mendengarkan penjelasan seorang co-ass yang sedang mengambil siklus forensik dengan seksama. Sesekali aku tersenyum saat si co-ass sibuk mendeskripsikan kadaver dengan berbagai gaya: menggaruk-garuk kepalanya ketika kebingungan, menjelaskan dengan gerak tangan yang berlebihan, bahkan terkadang kehabisan suara karena gugup.
“Cukup. Saya mengerti,” kataku sambil berjalan mendekati si co-ass. Co-ass itu mengangguk dan memberikan sepasang sarung tangan karet padaku. “Tolong ambilkan map yang ada atas meja,” kataku sambil meneliti kembali kadaver yang tadi diteliti oleh Lia, adikku.
Adik?
Ya, Lia adalah adikku. Adik angkat lebih tepatnya. Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk menjadikannya sebagai adik angkat. Mama dan papa setuju. Sekarang, Lia telah menyelesaikan studinya di fakultas kedokteran dan tengah mengambil profesi di rumah sakit tempatku bekerja.
Aku sendiri telah resmi menjadi dokter spesialis forensik satu tahun yang lalu. Pendidikan forensik kudapatkan di Yale University, Amerika, dilanjutkan dengan mengambil profesi di salah satu universitas di Indonesia, dan akhirnya bekerja kembali di rumah sakit ini.
“Silakan, Dok,” kata Lia sambil menyerahkan sebuah map berwarna biru muda. Aku mengangguk dan membaca data-data otopsi dengan teliti. Sekilas kulirik Lia yang berdiri tidak jauh dariku. Air matanya menggenang.
“Kenapa Lia?” tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari map yang sedang kubaca. Tiba-tiba terdengar suara isakan. “Kadaver itu bernama Eka Saputra kan, Kak?” tanya Lia. Aku mengangguk.
“Akhirnya aku bisa bertemu dengan kakak kandungku, meskipun dengan kondisi seperti ini...”
+++
Untuk keluargaku, terimakasih telah mendukung cita-citaku.
Dedicated to My Brother
Brother...
Do you remember when we were child
and we played together?
Brother...
Do you remember when you broke up my doll
and I cried loud?
Brother...
Do you remember when we had a picnic
that we would not forget?
+++
“Assalamualaikum, Kak Rendra.”
Aku mengucap salam saat membuka pintu ruang rawat. Aku berjalan mendekati kak Rendra yang sedang tertidur lelap dan mencium keningnya. Aku tahu dia tidak sedang terlelap, namun koma.
Koma?
Ya, kak Rendra mengalami over dosis karena mengkonsumsi narkoba. Entah mengapa kak Rendra memutuskan untuk menggunakan barang haram itu. Aku mengelus kepala kak Rendra dengan lembut dan berbicara di dekat telinganya.
“Aku sayang Kakak.”
Tangan kak Rendra bergerak. Aku tersenyum. Selalu begitu. Kak Rendra selalu memberikan respon setiap aku berbicara dengannya. Aku mengecup kening kak Rendra sekali lagi.
Brother, would you please wake up?
Air mataku menetes satu persatu. Kak Rendra pasti kesakitan, batinku sambil memegang tangannya. Dingin.
“Bangun, Kak. Aku sayang Kakak,” kataku. Kali ini kak Rendra memberi respon dengan menggerakkan kakinya.
“Selamat siang.”
Terdengar salam dari luar disusul dengan bunyi deritan pintu. Seorang suster masuk dengan membawa sebuah baki yang terbuat dari alumunium. “Selamat siang, Mbak. Tumben sudah datang?” sapa suster itu. Aku tersenyum tipis.
“Pulang sekolah jam dua belas, Sus,” jawabku datar. Suster itu mengangguk dan tersenyum. Dia mengeluarkan jarum suntik dan menyuntikkan cairan berwarna merah. Dapat kulihat tubuh kak Rendra sedikit menegang saat cairan itu mulai masuk.
“Kondisi Mas Rendra sudah sedikit membaik dibandingkan hari kemarin. Kami, tim medis, masih berusaha menaikkan kondisi tubuhnya sampai ke titik stabil,” kata suster.
“Lalu kira-kira kapan kakak saya akan sadar?” tanyaku. Suster itu menggeleng dan menatapku. “Kami belum tahu, Mbak. Kondisi mas Rendra masih bisa berubah sewaktu-waktu dan kami belum bisa memastikannya,” jawabnya.
Sudah kuduga jawabannya akan seperti itu. Semua suster yang kutanyai selalu menjawab, “Kami belum tahu, Mbak” atau “Mas Rendra belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar” seakan-akan kak Rendra tidak dapat bangun kembali!
Kugenggam tangan kak Rendra dan kutempelkan ke pipiku. Brother... would you please wake up?
+++
“Assalamualaikum.”
Aku langsung terjaga saat mendengar salam itu. Ternyata aku tertidur, batinku. Mbak Mirna, kakak sulungku, masuk dengan membawa beberapa buah tas plastik hitam. Wajahnya tampak letih.
“Waalaikumsalam. Baru pulang, Mbak?”
“Iya, sayang. Mbak bawa nasi bungkus nih. Kamu makan dulu ya,” kata mbak Mirna. Aku mengangguk dan menyambar sebungkus nasi di atas meja. Perutku yang belum diisi sejak pagi menuntutku untuk makan dengan lahap.
“Setelah ini kamu langsung pulang aja ya,” kata mbak Mirna. Kontan aku menggeleng. “Nggak mau, Mbak. Kasian kak Rendra,” jawabku. Mbak Mirna menatapku dan balas menggeleng.
“Ntar kamu kecapekan. Malam ini biar Mbak yang jaga,” kata mbak Mirna. Perkataan kakak sulungku jelas tidak membutuhkan pembantahan. Lagi pula aku harus belajar untuk menghadapi ujian semester besok.
“Tapi kalu ada apa-apa, Mbak telepon aku ya,” kataku sambil melipat bungkus nasi dan membuangnya di tempat sampah. Mbak Mirna mengangguk. Aku tersenyum dan menuju washtafel untuk mencuci sendok bekas yang telah kupakai.
“Aku pulang dulu, Mbak. Assalamualaikum.”
Aku menutup pintu pelan-pelan. Aku pulang dulu, Kak. Kakak cepat sadar, ya. Aku sayang kakak, batinku saat mengintip kak Rendra melalui jendela yang ada di pintu.
“Selamat siang, Mbak. Dokter ingin bertemu dengan Anda sekarang juga,” kata suster yang tanpa kusadari telah berdiri di hadapanku. Aku mengangguk dan segera mengikuti suster itu ke ruang praktek dokter.
“Silakan masuk, Mbak. Dokter Irham sudah menunggu,” kata suster sambil membukakan pintu. Aku mengangguk dan masuk. Senyum lebar dan sapaan ramah dokter Irham langsung menyambutku.
“Selamat siang, Mbak. Silakan duduk.”
“Terimakasih, Dok.”
Aku menarik kursi yang ada di depanku dan duduk diatasnya. Dokter Irham mengangguk dan menyodorkan sebuah map biru. Aku menatap map itu. “Silakan dibuka,” kata dokter Irham.
“Ini apa, Dok?”
Dokter Irham tersenyum dan menunjuk tulisan yang ada di bagian atap map itu. Laporan pemeriksaan kak Rendra. Mulutku membulat dan membuka halaman depan map itu.
“Itu grafik kesehatan kakak Anda,” kata dokter Irham. Mulutku kembali membulat. Dokter itu mengubah posisi duduknya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Tubuhnya condong kearahku.
“Saya ingin memberikan suatu kabar tentang kakak Anda,” kata dokter Irham. Aku menutup map itu dan segera memasang telinga baik-baik.
“Pemeriksaan itu menunjukkan telah terjadi disfungsi medulla oblongata yang disebabkan oleh zat aditif. Hal tersebut sangat mungkin menyebar ke batang otak karena pengaruh zat tersebut.”
Tubuhku serasa membeku.
“Tapi masih ada kemungkinan bagi kakak Anda untuk sadar dan sembuh lagi,” lanjut dokter Irham.
Aku menelan ludah. Aku tahu, dalam dunia kedokteran, yang disebut dengan mati adalah kematian batang otak. Aku juga tahu, letak medulla oblongata sangat dekat dengan bagian otak itu. Itu berarti...
Air mataku langsung berloncatan layaknya memori yang pernah kulewati bersama dengan kak Rendra. Aku mengingat semuanya. Aku sama sekali tidak sanggup seandainya aku harus kehilangan kak Rendra!
+++
Brother... brother...
I still remember when mommy and daddy deforced...
When everything went wrong...
And when you went away...
“Papa benar-benar tidak tahu malu! Ingat keluarga, Pa! Kita sudah memiliki tiga orang putera!”
Mama benar-benar tidak dapat menahan emosi ketika mendapati papa membawa seorang wanita ke rumah. Papa tertangkap basah, namun masih saja mengelak.
“Mama ini apa-apaan sih? Siapa yang tidak tahu malu?”
Aku dan mbak Mirna hanya bisa menangis. Sungguh, kami tidak menyangka hal itu akan terjadi. Papa yang berwibawa, penuh kasih sayang, dan sangat kami hormati ternyata sampai hati untuk berselingkuh dengan wanita lain. Aku menatap wanita selingkuhan papa dengan pandangan benci. Tiba-tiba...
PLAAAKK!!
“Aku tidak pernah mengajarimu untuk berlaku kurang ajar terhadap suami!” bentak papa. Mama jatuh tersungkur. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Aku dan mbak Mirna langsung menghambur ke arah mama.
“Cukup, Pa!”
Terdengar teriakan kak Rendra disusul dengan suara gebrakan di meja. Papa menoleh dan mendapati kak Rendra menatapnya garang. “Tidak usah ikut campur, Ndra!” kata papa.
“Rendra punya hak, Pa!”
Kak Rendra maju mendekati papa. Jarak keduanya kini tidak kurang dari sepuluh senti. “Papa hidung belang!” kata kak Rendra dengan suara pelan namun tegas. Papa langsung memukul kak Rendra.
“Kurang ajar kamu!”
“Papa yang kurang ajar. Papa tega menelantarkan keluarga hanya karena wanita ini!” kata kak Rendra. Kak Rendra berlari ke kamar dan kembali dengan membawa tas ransel. “Rendra nggak tahan tinggal di rumah ini lagi!”
“Kakak jangan pergi!” kataku sambil memeluk kak Rendra dari belakang. Kak Rendra mengibaskan tanganku dan menatapku tajam. “Lebih baik kakak pergi dari pada harus tinggal dengan hidung belang!”
Sejak saat itu kak Rendra tidak pernah kembali ke rumah. Suasana di rumahpun menjadi tidak terkendali. Akhirnya, dengan terpaksa mama dan papa bercerai. Hal ini membuatku jatuh. Aku tidak pernah mengira semuanya akan berakhir seperti ini. Sampai pada suatu pagi, dua orang polisi mendatangi rumahku.
“Selamat pagi. Kami dari kepolisian,” kata seorang polisi sambil menunjukkan kartu identitas. Aku yang membukakan pintu langsung menyilakan mereka masuk.
“Tidak usah, Mbak. Kami hanya ingin bertemu dengan nyonya Nurti. Apa beliau ada?” tanya polisi itu. Aku langsung memanggil mama. Tak lama kemudian mama datang dengan tergopoh-gopoh.
“Maaf, ada keperluan apa Bapak dengan saya?”
“Putera Anda, Rendra, kami tahan karena menggunakan narkoba,” kata polisi. Mama langsung beristigfar dan mengelus dadanya. “Dan sekarang saudara Rendra dirawat di rumah sakit karena menderita over dosis.”
“APA?!”
+++
“Sayang, bangun. Kak Rendra kritis.”
Aku membuka mataku perlahan-lahan dan mendapati tubuhku telah terbaring di ranjang UGD. Aku mengucek mataku dan menatap mbak Mirna. “Rendra kritis,” ulangnya.
Mbak Mirna segera menarik tanganku. Antara sadar dan tidak aku ikut berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Aku mengucek mataku sekali lagi sebelum masuk ke ruang rawat kak Rendra.
Ini pasti mimpi! Aku berharap ini hanya mimpi!
Aku melihat tubuh kak Rendra kejang-kejang. Seorang suster tampak berusaha memasukkan sebuah selang melalui mulut kakakku. Mbak Mirna menghampiriku dan menangis di pundakku.
“Kata dokter sudah tidak ada harapan lagi. Mereka semua menyerah,” kata Mbak Mirna. Aku menggeleng-geleng. TIDAK! Kak Rendra tidak akan pergi secepat ini! Kataku dalam hati. Mbak Mirna terus menangis di pundakku. Tiba-tiba seorang suster datang mendekati kami.
“Siapkan diri Anda, Mbak. Kondisi Mas Rendra sangat kritis. Kami tidak yakin dapat menyelamatkan nyawanya,” kata suster. Aku tersentak dan langsung menghampiri kak Rendra dan menggenggam tangannya.
Tubuh kak Rendra tetap kejang. Suster kembali menyuntikkan cairan di lengan kak Rendra. Air mataku mulai menggenang. Tiba-tiba monitor jantung berbunyi panjang seiring dengan berhentinya kejang-kejang kak Rendra. Dokter Irham langsung melakukan resusitasi, sedangkan aku hanya dapat menangis.
Dua menit... Lima menit... Sepuluh menit...
Inilah yang kutakutkan! Dokter Irham menghampiriku dan mbak Mirna dengan kepala tertunduk. Dia mendesah panjang. “Maaf, Mbak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun kondisi...”
Tidak perlu menunggu kata-kata itu selesai diucapkan, air mataku langsung tertumpah.
+++
Brother...
When I layed there beside you
Could you feel me there?
When I kissed you for the last time
Could you feel it?
Brother...
Would you please open your eyes?
Would you please wake up
And never hold your breath?
I need you here.
No...
I don’t want to remind it
When there was your last breath...
Your last heartbeat and you close your eyes forever..
Good bye, brother...
Mendung menghiasi langit siang itu. Semua tampak gelap. Tak lama kemudian rinai hujan mulai turun. Sepasang suami isteri yang sedang menunggu putusan cerai dan dua orang anaknya turun dari sebuah mobil. Sang suami memeluk Sang Isteri dengan erat, seakan ingin memberikan kekuatan padanya untuk tetap tegar. Sedangkan kedua orang anak mereka saling berpegangan tangan.
Tanah merah itu masih belum mengering...
Masih hangat di benak sepasang suami isteri itu saat mereka melahirkan putera keduanya. Mereka masih mengingat saat merawat anak itu bersama-sama hingga tumbuh dewasa. Sang isteri menangis di pelukan suami, begitu juga dengan kedua anak mereka. Mereka masih tidak percaya saat melihat batu nisan yang tertanam di sebuah pusara.
Muhammad Rendra Adirangga
Lahir: 20 Maret 1985
Wafat: 19 Mei 2009
Dia adalah anak, kakak, sekaligus adik dari keluarga itu! Dialah kak Rendra yang sangat kami banggakan! Selamat jalan, Kakakku sayang. Kami semua sayang padamu.
+++
Love you, my rascal!
Do you remember when we were child
and we played together?
Brother...
Do you remember when you broke up my doll
and I cried loud?
Brother...
Do you remember when we had a picnic
that we would not forget?
+++
“Assalamualaikum, Kak Rendra.”
Aku mengucap salam saat membuka pintu ruang rawat. Aku berjalan mendekati kak Rendra yang sedang tertidur lelap dan mencium keningnya. Aku tahu dia tidak sedang terlelap, namun koma.
Koma?
Ya, kak Rendra mengalami over dosis karena mengkonsumsi narkoba. Entah mengapa kak Rendra memutuskan untuk menggunakan barang haram itu. Aku mengelus kepala kak Rendra dengan lembut dan berbicara di dekat telinganya.
“Aku sayang Kakak.”
Tangan kak Rendra bergerak. Aku tersenyum. Selalu begitu. Kak Rendra selalu memberikan respon setiap aku berbicara dengannya. Aku mengecup kening kak Rendra sekali lagi.
Brother, would you please wake up?
Air mataku menetes satu persatu. Kak Rendra pasti kesakitan, batinku sambil memegang tangannya. Dingin.
“Bangun, Kak. Aku sayang Kakak,” kataku. Kali ini kak Rendra memberi respon dengan menggerakkan kakinya.
“Selamat siang.”
Terdengar salam dari luar disusul dengan bunyi deritan pintu. Seorang suster masuk dengan membawa sebuah baki yang terbuat dari alumunium. “Selamat siang, Mbak. Tumben sudah datang?” sapa suster itu. Aku tersenyum tipis.
“Pulang sekolah jam dua belas, Sus,” jawabku datar. Suster itu mengangguk dan tersenyum. Dia mengeluarkan jarum suntik dan menyuntikkan cairan berwarna merah. Dapat kulihat tubuh kak Rendra sedikit menegang saat cairan itu mulai masuk.
“Kondisi Mas Rendra sudah sedikit membaik dibandingkan hari kemarin. Kami, tim medis, masih berusaha menaikkan kondisi tubuhnya sampai ke titik stabil,” kata suster.
“Lalu kira-kira kapan kakak saya akan sadar?” tanyaku. Suster itu menggeleng dan menatapku. “Kami belum tahu, Mbak. Kondisi mas Rendra masih bisa berubah sewaktu-waktu dan kami belum bisa memastikannya,” jawabnya.
Sudah kuduga jawabannya akan seperti itu. Semua suster yang kutanyai selalu menjawab, “Kami belum tahu, Mbak” atau “Mas Rendra belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar” seakan-akan kak Rendra tidak dapat bangun kembali!
Kugenggam tangan kak Rendra dan kutempelkan ke pipiku. Brother... would you please wake up?
+++
“Assalamualaikum.”
Aku langsung terjaga saat mendengar salam itu. Ternyata aku tertidur, batinku. Mbak Mirna, kakak sulungku, masuk dengan membawa beberapa buah tas plastik hitam. Wajahnya tampak letih.
“Waalaikumsalam. Baru pulang, Mbak?”
“Iya, sayang. Mbak bawa nasi bungkus nih. Kamu makan dulu ya,” kata mbak Mirna. Aku mengangguk dan menyambar sebungkus nasi di atas meja. Perutku yang belum diisi sejak pagi menuntutku untuk makan dengan lahap.
“Setelah ini kamu langsung pulang aja ya,” kata mbak Mirna. Kontan aku menggeleng. “Nggak mau, Mbak. Kasian kak Rendra,” jawabku. Mbak Mirna menatapku dan balas menggeleng.
“Ntar kamu kecapekan. Malam ini biar Mbak yang jaga,” kata mbak Mirna. Perkataan kakak sulungku jelas tidak membutuhkan pembantahan. Lagi pula aku harus belajar untuk menghadapi ujian semester besok.
“Tapi kalu ada apa-apa, Mbak telepon aku ya,” kataku sambil melipat bungkus nasi dan membuangnya di tempat sampah. Mbak Mirna mengangguk. Aku tersenyum dan menuju washtafel untuk mencuci sendok bekas yang telah kupakai.
“Aku pulang dulu, Mbak. Assalamualaikum.”
Aku menutup pintu pelan-pelan. Aku pulang dulu, Kak. Kakak cepat sadar, ya. Aku sayang kakak, batinku saat mengintip kak Rendra melalui jendela yang ada di pintu.
“Selamat siang, Mbak. Dokter ingin bertemu dengan Anda sekarang juga,” kata suster yang tanpa kusadari telah berdiri di hadapanku. Aku mengangguk dan segera mengikuti suster itu ke ruang praktek dokter.
“Silakan masuk, Mbak. Dokter Irham sudah menunggu,” kata suster sambil membukakan pintu. Aku mengangguk dan masuk. Senyum lebar dan sapaan ramah dokter Irham langsung menyambutku.
“Selamat siang, Mbak. Silakan duduk.”
“Terimakasih, Dok.”
Aku menarik kursi yang ada di depanku dan duduk diatasnya. Dokter Irham mengangguk dan menyodorkan sebuah map biru. Aku menatap map itu. “Silakan dibuka,” kata dokter Irham.
“Ini apa, Dok?”
Dokter Irham tersenyum dan menunjuk tulisan yang ada di bagian atap map itu. Laporan pemeriksaan kak Rendra. Mulutku membulat dan membuka halaman depan map itu.
“Itu grafik kesehatan kakak Anda,” kata dokter Irham. Mulutku kembali membulat. Dokter itu mengubah posisi duduknya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Tubuhnya condong kearahku.
“Saya ingin memberikan suatu kabar tentang kakak Anda,” kata dokter Irham. Aku menutup map itu dan segera memasang telinga baik-baik.
“Pemeriksaan itu menunjukkan telah terjadi disfungsi medulla oblongata yang disebabkan oleh zat aditif. Hal tersebut sangat mungkin menyebar ke batang otak karena pengaruh zat tersebut.”
Tubuhku serasa membeku.
“Tapi masih ada kemungkinan bagi kakak Anda untuk sadar dan sembuh lagi,” lanjut dokter Irham.
Aku menelan ludah. Aku tahu, dalam dunia kedokteran, yang disebut dengan mati adalah kematian batang otak. Aku juga tahu, letak medulla oblongata sangat dekat dengan bagian otak itu. Itu berarti...
Air mataku langsung berloncatan layaknya memori yang pernah kulewati bersama dengan kak Rendra. Aku mengingat semuanya. Aku sama sekali tidak sanggup seandainya aku harus kehilangan kak Rendra!
+++
Brother... brother...
I still remember when mommy and daddy deforced...
When everything went wrong...
And when you went away...
“Papa benar-benar tidak tahu malu! Ingat keluarga, Pa! Kita sudah memiliki tiga orang putera!”
Mama benar-benar tidak dapat menahan emosi ketika mendapati papa membawa seorang wanita ke rumah. Papa tertangkap basah, namun masih saja mengelak.
“Mama ini apa-apaan sih? Siapa yang tidak tahu malu?”
Aku dan mbak Mirna hanya bisa menangis. Sungguh, kami tidak menyangka hal itu akan terjadi. Papa yang berwibawa, penuh kasih sayang, dan sangat kami hormati ternyata sampai hati untuk berselingkuh dengan wanita lain. Aku menatap wanita selingkuhan papa dengan pandangan benci. Tiba-tiba...
PLAAAKK!!
“Aku tidak pernah mengajarimu untuk berlaku kurang ajar terhadap suami!” bentak papa. Mama jatuh tersungkur. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Aku dan mbak Mirna langsung menghambur ke arah mama.
“Cukup, Pa!”
Terdengar teriakan kak Rendra disusul dengan suara gebrakan di meja. Papa menoleh dan mendapati kak Rendra menatapnya garang. “Tidak usah ikut campur, Ndra!” kata papa.
“Rendra punya hak, Pa!”
Kak Rendra maju mendekati papa. Jarak keduanya kini tidak kurang dari sepuluh senti. “Papa hidung belang!” kata kak Rendra dengan suara pelan namun tegas. Papa langsung memukul kak Rendra.
“Kurang ajar kamu!”
“Papa yang kurang ajar. Papa tega menelantarkan keluarga hanya karena wanita ini!” kata kak Rendra. Kak Rendra berlari ke kamar dan kembali dengan membawa tas ransel. “Rendra nggak tahan tinggal di rumah ini lagi!”
“Kakak jangan pergi!” kataku sambil memeluk kak Rendra dari belakang. Kak Rendra mengibaskan tanganku dan menatapku tajam. “Lebih baik kakak pergi dari pada harus tinggal dengan hidung belang!”
Sejak saat itu kak Rendra tidak pernah kembali ke rumah. Suasana di rumahpun menjadi tidak terkendali. Akhirnya, dengan terpaksa mama dan papa bercerai. Hal ini membuatku jatuh. Aku tidak pernah mengira semuanya akan berakhir seperti ini. Sampai pada suatu pagi, dua orang polisi mendatangi rumahku.
“Selamat pagi. Kami dari kepolisian,” kata seorang polisi sambil menunjukkan kartu identitas. Aku yang membukakan pintu langsung menyilakan mereka masuk.
“Tidak usah, Mbak. Kami hanya ingin bertemu dengan nyonya Nurti. Apa beliau ada?” tanya polisi itu. Aku langsung memanggil mama. Tak lama kemudian mama datang dengan tergopoh-gopoh.
“Maaf, ada keperluan apa Bapak dengan saya?”
“Putera Anda, Rendra, kami tahan karena menggunakan narkoba,” kata polisi. Mama langsung beristigfar dan mengelus dadanya. “Dan sekarang saudara Rendra dirawat di rumah sakit karena menderita over dosis.”
“APA?!”
+++
“Sayang, bangun. Kak Rendra kritis.”
Aku membuka mataku perlahan-lahan dan mendapati tubuhku telah terbaring di ranjang UGD. Aku mengucek mataku dan menatap mbak Mirna. “Rendra kritis,” ulangnya.
Mbak Mirna segera menarik tanganku. Antara sadar dan tidak aku ikut berlari menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Aku mengucek mataku sekali lagi sebelum masuk ke ruang rawat kak Rendra.
Ini pasti mimpi! Aku berharap ini hanya mimpi!
Aku melihat tubuh kak Rendra kejang-kejang. Seorang suster tampak berusaha memasukkan sebuah selang melalui mulut kakakku. Mbak Mirna menghampiriku dan menangis di pundakku.
“Kata dokter sudah tidak ada harapan lagi. Mereka semua menyerah,” kata Mbak Mirna. Aku menggeleng-geleng. TIDAK! Kak Rendra tidak akan pergi secepat ini! Kataku dalam hati. Mbak Mirna terus menangis di pundakku. Tiba-tiba seorang suster datang mendekati kami.
“Siapkan diri Anda, Mbak. Kondisi Mas Rendra sangat kritis. Kami tidak yakin dapat menyelamatkan nyawanya,” kata suster. Aku tersentak dan langsung menghampiri kak Rendra dan menggenggam tangannya.
Tubuh kak Rendra tetap kejang. Suster kembali menyuntikkan cairan di lengan kak Rendra. Air mataku mulai menggenang. Tiba-tiba monitor jantung berbunyi panjang seiring dengan berhentinya kejang-kejang kak Rendra. Dokter Irham langsung melakukan resusitasi, sedangkan aku hanya dapat menangis.
Dua menit... Lima menit... Sepuluh menit...
Inilah yang kutakutkan! Dokter Irham menghampiriku dan mbak Mirna dengan kepala tertunduk. Dia mendesah panjang. “Maaf, Mbak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun kondisi...”
Tidak perlu menunggu kata-kata itu selesai diucapkan, air mataku langsung tertumpah.
+++
Brother...
When I layed there beside you
Could you feel me there?
When I kissed you for the last time
Could you feel it?
Brother...
Would you please open your eyes?
Would you please wake up
And never hold your breath?
I need you here.
No...
I don’t want to remind it
When there was your last breath...
Your last heartbeat and you close your eyes forever..
Good bye, brother...
Mendung menghiasi langit siang itu. Semua tampak gelap. Tak lama kemudian rinai hujan mulai turun. Sepasang suami isteri yang sedang menunggu putusan cerai dan dua orang anaknya turun dari sebuah mobil. Sang suami memeluk Sang Isteri dengan erat, seakan ingin memberikan kekuatan padanya untuk tetap tegar. Sedangkan kedua orang anak mereka saling berpegangan tangan.
Tanah merah itu masih belum mengering...
Masih hangat di benak sepasang suami isteri itu saat mereka melahirkan putera keduanya. Mereka masih mengingat saat merawat anak itu bersama-sama hingga tumbuh dewasa. Sang isteri menangis di pelukan suami, begitu juga dengan kedua anak mereka. Mereka masih tidak percaya saat melihat batu nisan yang tertanam di sebuah pusara.
Muhammad Rendra Adirangga
Lahir: 20 Maret 1985
Wafat: 19 Mei 2009
Dia adalah anak, kakak, sekaligus adik dari keluarga itu! Dialah kak Rendra yang sangat kami banggakan! Selamat jalan, Kakakku sayang. Kami semua sayang padamu.
+++
Love you, my rascal!
Indigo
Aku menatap kedua pasien kecilku di ruang rawat mereka dengan tatapan miris. Si sulung Rina yang berusia sebelas tahun, dan sang adik, Tyas, yang berusia delapan tahun. Mereka dilarikan ke rumah sakit karena pihak keluarga tidak mampu lagi mengendalikan tingkah mereka yang sering uring-uringan. Pagi itu Rina dan Tyas sedang asik bermain boneka. Saat aku mengucapkan salam, tidak seorangpun dari mereka yang mempedulikan sapaanku.
“Rina sudah makan pagi ini?” tanyaku. Rina menggeleng dan kembali sibuk dengan bonekanya. Aku memberi isyarat kepada suster untuk menyediakan makanan untuk Rina.
“Tyas sudah makan?” tanyaku. Tyas diam. “Kalau begitu Tyas disuntik dulu ya,” kataku sambil mengelus kepala anak itu. Tyas menggeleng keras-keras dan mulai berteriak histeris, “Nggak mau! Tyas nggak mau disuntik!”
Tyas mengayunkan kedua tangannya dan memukuliku sejadi-jadinya. Aku segera meminta suster untuk memegangi Tyas dan menyiapkan cairan penenang minor. Perlahan-lahan kusuntikkan obat itu dan membiarkan tubuh Tyas terbaring di ranjang. Tiba-tiba terdengar isakan halus dari sudut ruangan. Saat aku menoleh, ternyata Rina tengah duduk memeluk kedua kakinya dan menangis.
“Aku takut. Kamu pasti akan membunuhnya, kan? Dan selanjutnya kamu akan membunuhku juga, sama seperti penculik itu membunuh mama. Iya kan?” Tanya Rina sambil terisak-isak. Aku segera menyuntikkan obat di lengan Rina.
“Aku tahu siapa pembunuh mama. Aku tahu mama dibunuh oleh… oleh…”
Aku mengelus-elus kepala Rina dan membiarkan matanya menutup perlahan-lahan. Aku melanjutkan visitku kepada pasien yang lain.
+++
“Aku tahu siapa yang membunuh mama. Aku tahu.”
Kata-kata itu terus terngiang sampai aku kembali ke rumah malam itu. Entah mengapa kata-kata itu terdengar cukup meyakinkan di telingaku. Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan sedang sambil terus memikirkan kata-kata itu.
Sesampainya dirumah, aku dikejutkan dengan dua orang polisi yang telah duduk bersama mamaku di ruang tamu. Tanpa basa-basi, kedua polisi itu mengemukakan tujuannya. “Kami sedang menyelidiki kasus yang ada hubungannya dengan pasien Dokter yang bernama Rina,” kata polisi itu. Aku mengangguk-angguk. “Beberapa orang tetangga pasien melaporkan sebuah kasus, bahwa ibu si pasien meninggal dengan tidak wajar.”
Aku mendesah dan mendengarkan keterangan polisi lebih lanjut. Ingatanku kembali pada saat Rina dibawa ke rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dia tampak begitu kurus, pucat, dan ketakutan. Beberapa orang keluarga yang mengantarknnya kuminta menunggu diluar sehingga aku dapat melakukan anamnese, tanya jawab antara dokter dan pasien, dengan tenang.
“Mama saya dibunuh, Dok. Bukan meninggal karena kecelakaan,” kata Rina saat aku berusaha menenangkannya. Aku terdiam dan membiarkan anak itu bercerita lebih lanjut. “Dokter harus percaya pada saya, Dok. Anda boleh menganggap saya gila, tapi saya bersumpah atas nama Tuhan, mama saya meninggal karen dibunuh. Bukan kecelakaan,” kata Rina sebelum jarum suntik menembus lengannya.
“Bagaimana, Dok. Apa Anda bersedia membantu kami?”
Aku tergagap saat mendengar pertanyaan polisi itu. Aku segera mengangguk dan menjawab, “Baik, Pak. Saya akan membantu sebisa saya.” Kedua polisi itu mengucapkan terimakasih dan dengan sedikit tergesa-gesa meninggalkan rumah kemudian kembali ke tempat kerja masing-masing.
Aku melepas sepatu dan menggerai rambutku kemudian masuk ke kamar. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Beberapa menit kemudian aku memutuskan untuk tidur karena telah berkali-kali menguap.
“Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu Hendra!”
“Apa maumu, wanita liar! Dia anakku. Aku berhak melakukan apapun tehadap anak itu!”
“Tidak, Hendra. Kalau kau akan melakukannya, langkahi dulu mayatku!”
“Baiklah kalau itu maumu!”
“Ahhh!!!!”
Aku membuka mataku dan mendapati mama telah duduk disamping tempat tidurku. Ternyata aku bermimpi. Kuraba leher dan tengkukku. Keringatku membanjir meskipun AC di kamar menunjukkan angka 18 derajat Celsius. Suhu yang cukup dingin untuk membuat manusia normal berkeringat. Keesokan paginya, aku telah berada di rumah sakit pada pukul tujuh lewat lima menit. Seorang dokter spesialis jiwa dari Jakarta akan datang berkunjung ke rumah sakit. Saat akan visit pasien, aku dikejutkan oleh Rina yang melambaikan tangannya dan memintaku mendekat.
“Ada apa Sayang?” tanyaku sambil berjongkok di depannya. Rina menyibakkan rambutnya kemudian dengan penuh keyakinan dia bertanya, “Dokter sudah memimpikannya kan?”
Dahiku berkerut. Dengan sedikit kebingungan aku bertanya, “Apa maksudmu?” Rina tersenyum kecil. “Itulah yang sebenarnya terjadi kepada mama, Dok,” kata Rina sambil berlalu. Aku hendak bertanya lebih jauh namun seorang suster mendatangiku dan memintaku untuk segera datang ke aula pertemuan karena tamu sudah datang. Dengan berlari kecil aku menuju ke aula itu. Saat memasukinya, kulihat seorang dokter sedang memasuki ruangan melalui pintu utama.
“Selamat pagi, Rekan-rekan sekalian,” sapa dokter itu. Semua menjawab salam itu kemudian duduk di tempat duduk masing-masing. “Sebelumnya perkenalkan, saya Rizal, dokter spesialis jiwa yang saat ini sedang menyusun desertasi saya untuk mendapatkan gelar doktor. Desertasi saya adalah mengenai sifat bawaan yaitu indigo,” katanya. Saat dokter Rizal mengemukakan hasil penelitian yang telah dilakukannya selama tiga tahun, tiba-tiba aku teringat pada Rina.
+++
“Jadi bagaimana menurut dokter tentang pasien itu?” tanyaku saat aku berkonsultasi dengan dokter Rizal dua hari setelah kedatangannya. Dokter Rizal tampak tertarik dengan apa yang sedang kubicarakan. Dia mengangguk-angguk dan memintaku menemaninya visit keesokan harinya. Dengan senang hati aku menyetujuinya.
Malam itu aku pulang sedikit terlambat sehingga terpaksa membangunkan mama yang telah terlelap. Seperti biasa aku langsung merebahkan tubuhku di tempat tidur dan mengevaluasi beberapa kegiatan pada hari itu. Tak lama kemudian terlelap.
“Bah! Diam kau, bocah! Aku bapakmu yang aseli.”
“Bohong! Mama… mama..”
“Diam atau kugorok lehermu dengan pisau ini! Sekarang diam!”
“Lepas! Lepaskan!”
Aku terbangun dari tidurku dengan nafas terengah-engah. Segera kucari segelas air dan meminumnya sampai tandas.
+++
“Anda baru satu tahun menjadi dokter jiwa. Saya rasa Anda masih membutuhkan pengalaman lagi,” kata dokter Rizal saat kami sampai di ruang rawat Rina. Dokter Rizal membuka pintu dan berseru ramah, “Selamat pagi anak-anak!”
Seketika itu pula Rina dan Tyas menjawab salam dokter Rizal dengan lantang. Satu hal yang sangat jarang terjadi padaku. Mereka langsung menghambur ke arah dokter Rizal dan satu persatu berebutan memeluknya.
“Anak-anak, saya butuh bantuan kalian,” kata dokter Rizal. Semua anak langsung duduk di kursi yang telah disediakan. Hal kedua yang belum pernah terjadi padaku. Saat ditanya soal pribadipun tidak ada salah satu dari mereka yang berteriak histeris bahkan mengamuk.
“Sekarang saya akan mengajak Tyas berjalan-jalan. Rina, ceritakan semuanya kepada dokter Mita,” kata dokter Rizal sambil menggandeng Tyas. Aku tertegun. Cerita? Cerita apa? Apa yang dimaksud oleh dokter Rizal? Batinku bingung. Tiba-tiba saja Rina telah menepuk punggungku. “Mau mendengar ceritaku, Bu Dokter?” tanyanya. Kontan aku mengangguk. Rina menggengnggam tanganku dan dengan sekali sentak aku dibuatnya tidak sadar...
Keluargaku adalah keluarga yang bahagia. Papa adalah suami yang penuh tanggung jawab. Beliau adalah seorang pengusaha kayu jati yang memiliki lahan yang cukup luas. Mama adalah seorang ibu rumah tangga yang pandai mengurus keluarga. Aku sendiri adalah anak pertama. Aku memiliki seorang adik perempuan bernama Tyas. Kami hidup bahagia sampai suatu hari ada seorang laki-laki yang datang ke rumahku. “Ini Papa, Nak,” kata lelaki itu. Aku menggeleng keras-keras dan menolak ajakan lelaki itu untuk pergi dengannya.
Pada suatu hari, laki-laki itu mendatangiku saat rumah sedang sepi. Papa dan mama sedang menghadiri acara penting di Solo. Tinggallah aku dan Tyas yang tinggal dirumah. Lelaki itu menggendongku dan Tyas dan membawaku bersamanya. Beruntunglah mama mengetahui hal itu. Beliau segera memacu mobilnya dan mengejar mobil yang membawa kami. Akhirnya kami sampai di sebuah rumah kosong. Lelaki itu menyekapku dan Tyas di sebuah ruangan yang gelap dan pengap. Aku dan Tyas tidak kuasa melawan saat tubuh kami diikat. Tak berapa lama kemudian, terdengar ketukan di jendela yang ada tepat di atas kami. Aku dan Tyas berteriak sekuat tenaga, namun hasilnya nihil. Akhirnya kami menendang barang-barang yang ada di sekitar kami dan membuat mama mengetahui posisi dimana kami disekap.
Kami hampir selamat ketika laki-laki itu masuk dan mendapati mama sedang melepaskan ikatan tali kami. Dia membawa sebilah golok di tangannya. Mama langsung merentangkan kedua tangannya dan berdiri dengan tegak di hadapan kami.
Lelaki itu terus merangsek mama. Mama tersudut, mama terpojok. Saat lelaki itu akan menjangkau tubuh kami, tiba-tiba mama bangun dan memukul kepalanya. Darah langsung menetes dari kepala lelaki itu. Sebelum dia sadar, mama menghampiri kami dan berusaha membuka ikatan yang melilit tubuh kami.
Namun tiba-tiba lelaki itu bangkit saat mama berhasil melepaskan ikatan kami. Dimintanya kami untuk segera pergi dari tempat tersebut. Kami hanya dapat menurut. Setelah meminta kami keluar, mama menahan lelaki itu agar tidak mengejar kami. Namun apa yang kami lihat? Lelaki itu dengan ganasnya menusuk perut mama! Aku menjerit dan berlari menolong mama, namun mama melarang. Beliau masih sempat memegangi kaki lelaki itu dan berteriak, “Ini permintaan mama yang terakhir, Nak. Lari! Lari dan cari pertolongan!”
Aku dan Tyas berlari tidak tentu arah. Untunglah kami menemukan sebuah rumah yang terletak agak jauh dari tempat kami disekap…
“Sudah Dok?”
Aku tergagap mendengar pertanyaan itu. Saat kesadaranku kembali aku mendapati Rina sedang tersenyum penuh arti. Aku memandangnya kemudian segera membawanya keluar untuk memberitahu dokter Rizal.
“Dok, Dokter…”
Terengah-engah aku memanggil dokter Rizal yang tengah bermain dengan Tyas. Aku menghampirinya dan berkata dengan panik, “Kita harus menemui polisi dan menceritakan semua,” kataku. Dokter Rizal tersenyum. Tanpa pikir panjang, aku menggandeng tangannya untuk menemui polisi. Tiba-tiba aku tersentak.
“Dokter sudah tahu tentang semua ini?” tanyaku. Dokter Rizal mengusap dagunya. Aku memandangnya tidak percaya. “Kenapa Dokter tidak mengatakannya sebelumnya? Kenapa Dok?”
“Ya, saya memang telah mengetahui semuanya,” jawab dokter Rizal. Dia merangkul Rina dan membiarkan anak itu berdiri di depannya.
“Lalu bagaimana Anda dapat mengetahuinya? Em… maksud saya, bagaimana Anda dan Rina bisa mengetahui semuanya?” tanyaku penasaran. Dokter Rizal dan Rina yang mendengarnya tersenyum bersamaan.
“Karena kami indigo.”
+++
Sebuah Cerpen karya:
Noorlaksmita Yonas Ramadhanty
Yogyakarta, 13 Oktober 2008
“Rina sudah makan pagi ini?” tanyaku. Rina menggeleng dan kembali sibuk dengan bonekanya. Aku memberi isyarat kepada suster untuk menyediakan makanan untuk Rina.
“Tyas sudah makan?” tanyaku. Tyas diam. “Kalau begitu Tyas disuntik dulu ya,” kataku sambil mengelus kepala anak itu. Tyas menggeleng keras-keras dan mulai berteriak histeris, “Nggak mau! Tyas nggak mau disuntik!”
Tyas mengayunkan kedua tangannya dan memukuliku sejadi-jadinya. Aku segera meminta suster untuk memegangi Tyas dan menyiapkan cairan penenang minor. Perlahan-lahan kusuntikkan obat itu dan membiarkan tubuh Tyas terbaring di ranjang. Tiba-tiba terdengar isakan halus dari sudut ruangan. Saat aku menoleh, ternyata Rina tengah duduk memeluk kedua kakinya dan menangis.
“Aku takut. Kamu pasti akan membunuhnya, kan? Dan selanjutnya kamu akan membunuhku juga, sama seperti penculik itu membunuh mama. Iya kan?” Tanya Rina sambil terisak-isak. Aku segera menyuntikkan obat di lengan Rina.
“Aku tahu siapa pembunuh mama. Aku tahu mama dibunuh oleh… oleh…”
Aku mengelus-elus kepala Rina dan membiarkan matanya menutup perlahan-lahan. Aku melanjutkan visitku kepada pasien yang lain.
+++
“Aku tahu siapa yang membunuh mama. Aku tahu.”
Kata-kata itu terus terngiang sampai aku kembali ke rumah malam itu. Entah mengapa kata-kata itu terdengar cukup meyakinkan di telingaku. Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan sedang sambil terus memikirkan kata-kata itu.
Sesampainya dirumah, aku dikejutkan dengan dua orang polisi yang telah duduk bersama mamaku di ruang tamu. Tanpa basa-basi, kedua polisi itu mengemukakan tujuannya. “Kami sedang menyelidiki kasus yang ada hubungannya dengan pasien Dokter yang bernama Rina,” kata polisi itu. Aku mengangguk-angguk. “Beberapa orang tetangga pasien melaporkan sebuah kasus, bahwa ibu si pasien meninggal dengan tidak wajar.”
Aku mendesah dan mendengarkan keterangan polisi lebih lanjut. Ingatanku kembali pada saat Rina dibawa ke rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dia tampak begitu kurus, pucat, dan ketakutan. Beberapa orang keluarga yang mengantarknnya kuminta menunggu diluar sehingga aku dapat melakukan anamnese, tanya jawab antara dokter dan pasien, dengan tenang.
“Mama saya dibunuh, Dok. Bukan meninggal karena kecelakaan,” kata Rina saat aku berusaha menenangkannya. Aku terdiam dan membiarkan anak itu bercerita lebih lanjut. “Dokter harus percaya pada saya, Dok. Anda boleh menganggap saya gila, tapi saya bersumpah atas nama Tuhan, mama saya meninggal karen dibunuh. Bukan kecelakaan,” kata Rina sebelum jarum suntik menembus lengannya.
“Bagaimana, Dok. Apa Anda bersedia membantu kami?”
Aku tergagap saat mendengar pertanyaan polisi itu. Aku segera mengangguk dan menjawab, “Baik, Pak. Saya akan membantu sebisa saya.” Kedua polisi itu mengucapkan terimakasih dan dengan sedikit tergesa-gesa meninggalkan rumah kemudian kembali ke tempat kerja masing-masing.
Aku melepas sepatu dan menggerai rambutku kemudian masuk ke kamar. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Beberapa menit kemudian aku memutuskan untuk tidur karena telah berkali-kali menguap.
“Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu Hendra!”
“Apa maumu, wanita liar! Dia anakku. Aku berhak melakukan apapun tehadap anak itu!”
“Tidak, Hendra. Kalau kau akan melakukannya, langkahi dulu mayatku!”
“Baiklah kalau itu maumu!”
“Ahhh!!!!”
Aku membuka mataku dan mendapati mama telah duduk disamping tempat tidurku. Ternyata aku bermimpi. Kuraba leher dan tengkukku. Keringatku membanjir meskipun AC di kamar menunjukkan angka 18 derajat Celsius. Suhu yang cukup dingin untuk membuat manusia normal berkeringat. Keesokan paginya, aku telah berada di rumah sakit pada pukul tujuh lewat lima menit. Seorang dokter spesialis jiwa dari Jakarta akan datang berkunjung ke rumah sakit. Saat akan visit pasien, aku dikejutkan oleh Rina yang melambaikan tangannya dan memintaku mendekat.
“Ada apa Sayang?” tanyaku sambil berjongkok di depannya. Rina menyibakkan rambutnya kemudian dengan penuh keyakinan dia bertanya, “Dokter sudah memimpikannya kan?”
Dahiku berkerut. Dengan sedikit kebingungan aku bertanya, “Apa maksudmu?” Rina tersenyum kecil. “Itulah yang sebenarnya terjadi kepada mama, Dok,” kata Rina sambil berlalu. Aku hendak bertanya lebih jauh namun seorang suster mendatangiku dan memintaku untuk segera datang ke aula pertemuan karena tamu sudah datang. Dengan berlari kecil aku menuju ke aula itu. Saat memasukinya, kulihat seorang dokter sedang memasuki ruangan melalui pintu utama.
“Selamat pagi, Rekan-rekan sekalian,” sapa dokter itu. Semua menjawab salam itu kemudian duduk di tempat duduk masing-masing. “Sebelumnya perkenalkan, saya Rizal, dokter spesialis jiwa yang saat ini sedang menyusun desertasi saya untuk mendapatkan gelar doktor. Desertasi saya adalah mengenai sifat bawaan yaitu indigo,” katanya. Saat dokter Rizal mengemukakan hasil penelitian yang telah dilakukannya selama tiga tahun, tiba-tiba aku teringat pada Rina.
+++
“Jadi bagaimana menurut dokter tentang pasien itu?” tanyaku saat aku berkonsultasi dengan dokter Rizal dua hari setelah kedatangannya. Dokter Rizal tampak tertarik dengan apa yang sedang kubicarakan. Dia mengangguk-angguk dan memintaku menemaninya visit keesokan harinya. Dengan senang hati aku menyetujuinya.
Malam itu aku pulang sedikit terlambat sehingga terpaksa membangunkan mama yang telah terlelap. Seperti biasa aku langsung merebahkan tubuhku di tempat tidur dan mengevaluasi beberapa kegiatan pada hari itu. Tak lama kemudian terlelap.
“Bah! Diam kau, bocah! Aku bapakmu yang aseli.”
“Bohong! Mama… mama..”
“Diam atau kugorok lehermu dengan pisau ini! Sekarang diam!”
“Lepas! Lepaskan!”
Aku terbangun dari tidurku dengan nafas terengah-engah. Segera kucari segelas air dan meminumnya sampai tandas.
+++
“Anda baru satu tahun menjadi dokter jiwa. Saya rasa Anda masih membutuhkan pengalaman lagi,” kata dokter Rizal saat kami sampai di ruang rawat Rina. Dokter Rizal membuka pintu dan berseru ramah, “Selamat pagi anak-anak!”
Seketika itu pula Rina dan Tyas menjawab salam dokter Rizal dengan lantang. Satu hal yang sangat jarang terjadi padaku. Mereka langsung menghambur ke arah dokter Rizal dan satu persatu berebutan memeluknya.
“Anak-anak, saya butuh bantuan kalian,” kata dokter Rizal. Semua anak langsung duduk di kursi yang telah disediakan. Hal kedua yang belum pernah terjadi padaku. Saat ditanya soal pribadipun tidak ada salah satu dari mereka yang berteriak histeris bahkan mengamuk.
“Sekarang saya akan mengajak Tyas berjalan-jalan. Rina, ceritakan semuanya kepada dokter Mita,” kata dokter Rizal sambil menggandeng Tyas. Aku tertegun. Cerita? Cerita apa? Apa yang dimaksud oleh dokter Rizal? Batinku bingung. Tiba-tiba saja Rina telah menepuk punggungku. “Mau mendengar ceritaku, Bu Dokter?” tanyanya. Kontan aku mengangguk. Rina menggengnggam tanganku dan dengan sekali sentak aku dibuatnya tidak sadar...
Keluargaku adalah keluarga yang bahagia. Papa adalah suami yang penuh tanggung jawab. Beliau adalah seorang pengusaha kayu jati yang memiliki lahan yang cukup luas. Mama adalah seorang ibu rumah tangga yang pandai mengurus keluarga. Aku sendiri adalah anak pertama. Aku memiliki seorang adik perempuan bernama Tyas. Kami hidup bahagia sampai suatu hari ada seorang laki-laki yang datang ke rumahku. “Ini Papa, Nak,” kata lelaki itu. Aku menggeleng keras-keras dan menolak ajakan lelaki itu untuk pergi dengannya.
Pada suatu hari, laki-laki itu mendatangiku saat rumah sedang sepi. Papa dan mama sedang menghadiri acara penting di Solo. Tinggallah aku dan Tyas yang tinggal dirumah. Lelaki itu menggendongku dan Tyas dan membawaku bersamanya. Beruntunglah mama mengetahui hal itu. Beliau segera memacu mobilnya dan mengejar mobil yang membawa kami. Akhirnya kami sampai di sebuah rumah kosong. Lelaki itu menyekapku dan Tyas di sebuah ruangan yang gelap dan pengap. Aku dan Tyas tidak kuasa melawan saat tubuh kami diikat. Tak berapa lama kemudian, terdengar ketukan di jendela yang ada tepat di atas kami. Aku dan Tyas berteriak sekuat tenaga, namun hasilnya nihil. Akhirnya kami menendang barang-barang yang ada di sekitar kami dan membuat mama mengetahui posisi dimana kami disekap.
Kami hampir selamat ketika laki-laki itu masuk dan mendapati mama sedang melepaskan ikatan tali kami. Dia membawa sebilah golok di tangannya. Mama langsung merentangkan kedua tangannya dan berdiri dengan tegak di hadapan kami.
Lelaki itu terus merangsek mama. Mama tersudut, mama terpojok. Saat lelaki itu akan menjangkau tubuh kami, tiba-tiba mama bangun dan memukul kepalanya. Darah langsung menetes dari kepala lelaki itu. Sebelum dia sadar, mama menghampiri kami dan berusaha membuka ikatan yang melilit tubuh kami.
Namun tiba-tiba lelaki itu bangkit saat mama berhasil melepaskan ikatan kami. Dimintanya kami untuk segera pergi dari tempat tersebut. Kami hanya dapat menurut. Setelah meminta kami keluar, mama menahan lelaki itu agar tidak mengejar kami. Namun apa yang kami lihat? Lelaki itu dengan ganasnya menusuk perut mama! Aku menjerit dan berlari menolong mama, namun mama melarang. Beliau masih sempat memegangi kaki lelaki itu dan berteriak, “Ini permintaan mama yang terakhir, Nak. Lari! Lari dan cari pertolongan!”
Aku dan Tyas berlari tidak tentu arah. Untunglah kami menemukan sebuah rumah yang terletak agak jauh dari tempat kami disekap…
“Sudah Dok?”
Aku tergagap mendengar pertanyaan itu. Saat kesadaranku kembali aku mendapati Rina sedang tersenyum penuh arti. Aku memandangnya kemudian segera membawanya keluar untuk memberitahu dokter Rizal.
“Dok, Dokter…”
Terengah-engah aku memanggil dokter Rizal yang tengah bermain dengan Tyas. Aku menghampirinya dan berkata dengan panik, “Kita harus menemui polisi dan menceritakan semua,” kataku. Dokter Rizal tersenyum. Tanpa pikir panjang, aku menggandeng tangannya untuk menemui polisi. Tiba-tiba aku tersentak.
“Dokter sudah tahu tentang semua ini?” tanyaku. Dokter Rizal mengusap dagunya. Aku memandangnya tidak percaya. “Kenapa Dokter tidak mengatakannya sebelumnya? Kenapa Dok?”
“Ya, saya memang telah mengetahui semuanya,” jawab dokter Rizal. Dia merangkul Rina dan membiarkan anak itu berdiri di depannya.
“Lalu bagaimana Anda dapat mengetahuinya? Em… maksud saya, bagaimana Anda dan Rina bisa mengetahui semuanya?” tanyaku penasaran. Dokter Rizal dan Rina yang mendengarnya tersenyum bersamaan.
“Karena kami indigo.”
+++
Sebuah Cerpen karya:
Noorlaksmita Yonas Ramadhanty
Yogyakarta, 13 Oktober 2008
Prince Heboh
“Kyaaa!! Ternyata Raden Mas Rucita Rahma cakep banget orangnya!”
Metha berteriak heboh saat dia dan ketiga orang temannya makan di kantin. “Gue pikir orangnya kampungan. Ternyata enggak! Eh, eh, lo tau nggak?” lanjut Metha bersemangat. Ketiga orang temannya langsung memasang telinga.
“Pajero Sport warna merah yang parkir di depan sekolah itu punya dia!” teriak Metha. Heboh seketika. Semua siswi di SMA Taruna tahu bahwa pada hari itu mereka kedatangan seorang murid baru bergelar Raden Mas. Awalnya, rencana kedatangannya disambut sinis oleh seluruh cewek penghuni sekolah. Hah? Jaman gini masih ada Raden Mas? Pasti orangnya kampungan! Namun pandangan mereka berubah saat Yongki, panggilan Raden Mas Rucita Rahma, datang bersama dua pengawal pribadinya pagi tadi.
“Sebodo amat sama kalian, tapi buat gue, Pajero melambangkan kekayaan yang tiada tara!” lanjut Metha disambung dengan “Huuu” dari teman-temannya. Mereka masih tertawa-tawa saat seorang cowok berpenampilan rapi duduk di bangku persis di meja sebelah mereka.
“Bener juga kata lo, Meth. Lumayan tuh buat temen jalan,” kata Rahma, teman Metha. Metha tertawa senang. “Kenapa nggak lo incer aja? Siapa tau lo dapet warisan pabrik batik dari bokapnya!”
“Hahahaha!”
#
Keesokan harinya, Yongki kembali duduk tepat di samping meja Metha cs lebih karena terpaksa karena bangku yang lain penuh terisi.
“Gue yakin banget kalo dia cowok romantic,” kata Metha sambil memasukkan sebutir bakso ke mulutnya. Tiga orang temannya mengernyitkan dahi. “Gue kemaren ngintip isi mobilnya. Guess what?” Tanya Metha sambil mengerlingkan matanya. “Ada sebatang mawar putih di jok tengahnya. Jarang banget kan, ada mobil cowok yang begitu?”
“Ah, biasa aja kali, Meth. Eh, jangan-jangan mawar itu buat pacarnya,” kata Alya. Wajah Metha berubah. “Jangan dong… Raden Mas itu punya gue,” katanya sambil meratap.
Mawar putih? Raden Mas? Aku tahu siapa yang sedang mereka bicarakan!
#
Keesokan harinya, Yongki sengaja duduk di samping meja Metha cs. Seperti biasa, mereka tidak mempedulikan Yongki yang duduk dengan berbagai macam makanan di meja.
“Guys! Gue dapet nomer hapenya!” kata Metha sambil mengeluarkan HPnya. Heboh sejenak. Semua anggota geng ingin menyalinnya, namun dilarang oleh Metha. “Nggak ada yang boleh nyentuh apa lagi nyalin nomer HP dia dari HP gue!” bentaknya.
“Elo Meth, pelit amat. Bagi-bagi dong sama kita,” kata Alya disambut dengan anggukan oleh anggota geng lainnya. Metha menggeleng. “Kalian boleh nyalin nomer HPnya setelah gue ngedate sama dia.”
“Hah? Ngedate? Kapan?” Tanya Alya lagi. Metha mengerlingkan matanya. “Hm… secepatnya deh. Gue nggak sabar pengen kenal lebih jauh sama dia,” jawab Metha sambil meletakkan kedua tangannya di pipi. “Gue juga nggak sabar buat tau seberapa kaya orangnya.”
Deggg…
“Yah… kalian tau kan, selama ini gue nggak pernah pacaran sama orang miskin. Selera gue kan beda sama cewek-cewek yang lain. Gue jamin, Raden Mas itu bakalan gue taklukkan! Kalian denger itu!” kata Metha sambil memandang wajah teman-temannya satu persatu.
Oke, fine. Kita liat aja nanti…
#
“Hai… Raden Mas Rucita Rahma?”
“Iya, saya sendiri. Siapa ya?”
“Gue Metha, anak kelas IPA 6. Gue cewek paling terkenal di sekolah. Pastinya lo tau kan?”
“Oh. Iya. Ada apa ya?”
“Lo mau nggak, ngedate sama gue besok hari sabtu?”
“Oke.”
“Hah? Oke? I… Iya. Kita ketemu di resto aja. Makasih ya. See you.”
#
“Gimana acara ngedate lo kemaren?”
“Iya. Cerita dong.”
“Kita udah nggak sabar nih.”
Metha cs duduk di meja kantin. Yongki yang duduk di samping meja mereka segera membekap mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar. Metha tampak gusar. “Nggak usah nanya-nanya!” bentaknya.
“Emangnya kenapa? Jangan-jangan lo batal ngedate ya, sama Raden Mas itu?”
“Iya nih. Wah, kemampuan lo diragukan deh.”
“Masa cewek setenar lo nggak bisa naklukin cowok itu sih?”
“Gue bilang nggak usah nanya-nanya! Denger nggak sih!” bentak Metha sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Yongki tersenyum geli. Acara ngedate itu tidak batal. Sukses besar malah. Yongki tahu Metha belum pernah bertemu langsung dengannya. Dia juga tahu bahwa selama ini Metha mengetahui wajahnya hanya melalui foto. Maka, dengan sedikit make over, Yongki berubah menjadi cowok super culun berkacamata yang heboh kalau ditanya soal batik saat ngedate bareng Metha. Terlintas kembali kejadian malam itu yang membuat Metha malu setengah mati. Saat itu mereka sedang makan di sebuah restoran elit.
“Wah, bapakku itu pemilik pabrik batik terbesar di Jogja lho, Mbak. Suer tenan deh. Batiknya bagus-bagus lho, Mbak. Motifnya banyak lagi. Ada laba-laba, kembang mawar, kembang sepatu, kembang seroja, bunga bangkai juga ada Mbak! Lengkap! Kalau buat Mbak, tak kasih murah wis. Gimana? Tak telponin sekarang po, ke bapakku? Biar langsung bisa dikirim ke Jakarta, gitu. Oya, Mbak. Saya ndak bawa dompet. Mbak saja ya, yang bayar? Nanti batiknya didiskon deh.”
Yongki tersenyum dan meraba pipi kirinya yang masih terasa perih.
Metha berteriak heboh saat dia dan ketiga orang temannya makan di kantin. “Gue pikir orangnya kampungan. Ternyata enggak! Eh, eh, lo tau nggak?” lanjut Metha bersemangat. Ketiga orang temannya langsung memasang telinga.
“Pajero Sport warna merah yang parkir di depan sekolah itu punya dia!” teriak Metha. Heboh seketika. Semua siswi di SMA Taruna tahu bahwa pada hari itu mereka kedatangan seorang murid baru bergelar Raden Mas. Awalnya, rencana kedatangannya disambut sinis oleh seluruh cewek penghuni sekolah. Hah? Jaman gini masih ada Raden Mas? Pasti orangnya kampungan! Namun pandangan mereka berubah saat Yongki, panggilan Raden Mas Rucita Rahma, datang bersama dua pengawal pribadinya pagi tadi.
“Sebodo amat sama kalian, tapi buat gue, Pajero melambangkan kekayaan yang tiada tara!” lanjut Metha disambung dengan “Huuu” dari teman-temannya. Mereka masih tertawa-tawa saat seorang cowok berpenampilan rapi duduk di bangku persis di meja sebelah mereka.
“Bener juga kata lo, Meth. Lumayan tuh buat temen jalan,” kata Rahma, teman Metha. Metha tertawa senang. “Kenapa nggak lo incer aja? Siapa tau lo dapet warisan pabrik batik dari bokapnya!”
“Hahahaha!”
#
Keesokan harinya, Yongki kembali duduk tepat di samping meja Metha cs lebih karena terpaksa karena bangku yang lain penuh terisi.
“Gue yakin banget kalo dia cowok romantic,” kata Metha sambil memasukkan sebutir bakso ke mulutnya. Tiga orang temannya mengernyitkan dahi. “Gue kemaren ngintip isi mobilnya. Guess what?” Tanya Metha sambil mengerlingkan matanya. “Ada sebatang mawar putih di jok tengahnya. Jarang banget kan, ada mobil cowok yang begitu?”
“Ah, biasa aja kali, Meth. Eh, jangan-jangan mawar itu buat pacarnya,” kata Alya. Wajah Metha berubah. “Jangan dong… Raden Mas itu punya gue,” katanya sambil meratap.
Mawar putih? Raden Mas? Aku tahu siapa yang sedang mereka bicarakan!
#
Keesokan harinya, Yongki sengaja duduk di samping meja Metha cs. Seperti biasa, mereka tidak mempedulikan Yongki yang duduk dengan berbagai macam makanan di meja.
“Guys! Gue dapet nomer hapenya!” kata Metha sambil mengeluarkan HPnya. Heboh sejenak. Semua anggota geng ingin menyalinnya, namun dilarang oleh Metha. “Nggak ada yang boleh nyentuh apa lagi nyalin nomer HP dia dari HP gue!” bentaknya.
“Elo Meth, pelit amat. Bagi-bagi dong sama kita,” kata Alya disambut dengan anggukan oleh anggota geng lainnya. Metha menggeleng. “Kalian boleh nyalin nomer HPnya setelah gue ngedate sama dia.”
“Hah? Ngedate? Kapan?” Tanya Alya lagi. Metha mengerlingkan matanya. “Hm… secepatnya deh. Gue nggak sabar pengen kenal lebih jauh sama dia,” jawab Metha sambil meletakkan kedua tangannya di pipi. “Gue juga nggak sabar buat tau seberapa kaya orangnya.”
Deggg…
“Yah… kalian tau kan, selama ini gue nggak pernah pacaran sama orang miskin. Selera gue kan beda sama cewek-cewek yang lain. Gue jamin, Raden Mas itu bakalan gue taklukkan! Kalian denger itu!” kata Metha sambil memandang wajah teman-temannya satu persatu.
Oke, fine. Kita liat aja nanti…
#
“Hai… Raden Mas Rucita Rahma?”
“Iya, saya sendiri. Siapa ya?”
“Gue Metha, anak kelas IPA 6. Gue cewek paling terkenal di sekolah. Pastinya lo tau kan?”
“Oh. Iya. Ada apa ya?”
“Lo mau nggak, ngedate sama gue besok hari sabtu?”
“Oke.”
“Hah? Oke? I… Iya. Kita ketemu di resto aja. Makasih ya. See you.”
#
“Gimana acara ngedate lo kemaren?”
“Iya. Cerita dong.”
“Kita udah nggak sabar nih.”
Metha cs duduk di meja kantin. Yongki yang duduk di samping meja mereka segera membekap mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar. Metha tampak gusar. “Nggak usah nanya-nanya!” bentaknya.
“Emangnya kenapa? Jangan-jangan lo batal ngedate ya, sama Raden Mas itu?”
“Iya nih. Wah, kemampuan lo diragukan deh.”
“Masa cewek setenar lo nggak bisa naklukin cowok itu sih?”
“Gue bilang nggak usah nanya-nanya! Denger nggak sih!” bentak Metha sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Yongki tersenyum geli. Acara ngedate itu tidak batal. Sukses besar malah. Yongki tahu Metha belum pernah bertemu langsung dengannya. Dia juga tahu bahwa selama ini Metha mengetahui wajahnya hanya melalui foto. Maka, dengan sedikit make over, Yongki berubah menjadi cowok super culun berkacamata yang heboh kalau ditanya soal batik saat ngedate bareng Metha. Terlintas kembali kejadian malam itu yang membuat Metha malu setengah mati. Saat itu mereka sedang makan di sebuah restoran elit.
“Wah, bapakku itu pemilik pabrik batik terbesar di Jogja lho, Mbak. Suer tenan deh. Batiknya bagus-bagus lho, Mbak. Motifnya banyak lagi. Ada laba-laba, kembang mawar, kembang sepatu, kembang seroja, bunga bangkai juga ada Mbak! Lengkap! Kalau buat Mbak, tak kasih murah wis. Gimana? Tak telponin sekarang po, ke bapakku? Biar langsung bisa dikirim ke Jakarta, gitu. Oya, Mbak. Saya ndak bawa dompet. Mbak saja ya, yang bayar? Nanti batiknya didiskon deh.”
Yongki tersenyum dan meraba pipi kirinya yang masih terasa perih.
Perfect
Aku merebahkan tubuhku di ranjang. Dengan malas kubuka kembali kertas selebaran yang diberikan oleh guruku tadi siang. Olimpiade kedokteran. Uuh... Apa mereka tidak salah pilih? Padahal masih ada Lia yang jago kimia atau Leon yang selalu menyabet ranking pertama kelas paralel. Belum lagi siswa-siswi lain yang mengikuti berbagai macam olimpiade berjibun banyaknya. Heran, apa mereka benar-benar tidak salah pilih?
”Mita... ayo makan dulu!” kata mama sambil mengetuk pintu kamarku. Aku bangkit, membuka pintu, dan mengikuti mama ke meja makan. ”Hari ini Mama masak sayur kesukaanmu,” kata mama. Beliau tahu benar aku akan makan banyak kalau ada sayur favoritku. Namun kali ini tidak.
”Kamu nggak kenapa-napa, kan?” tanya mama. Aku menggeleng dan menyendok nasi. Pikiranku tetap terfokus pada olimpiade kedokteran itu. Aku sama sekali tidak berminat mengikuti lomba itu meskipun aku ingin menjadi dokter kelak. Tapi guruku dengan enaknya bilang, ”Tidak bisa, Nak. Kamu sudah saya daftarkan.” saat aku menolaknya.
Enak di elo, enggak enak di gue dong!
”Hei hei. Kamu mikirin apa sih? Kok kayak nggak selera makan begitu?” tanya mama. Aku menggeleng dan menjauhkan piringku. ”Aku ada masalah di sekolah, Ma,” kataku tiba-tiba. Mama berhenti mengunyah kemudian menatapku. ”Coba liat deh, Ma,” kataku sambil menyerahkan kertas pengumuman lomba itu. Mama tersenyum lebar.
+++
Keesokan paginya...
”Mita... Ada telepon,” kata mama dari bawah. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi segera turun dan menemui mama. ”Dari siapa Ma?” tanyaku. Mama menggedikkan bahu.
”Halo...”
”Halo. Ini Mita?”
”Iya. Ini siapa ya?”
”Kenalin, gue Brian. Gue disuruh sama guru lo untuk membimbing lo buat persiapan olimpiade kedokteran. Apa nanti kita bisa ketemu di sekolah?”
”Oh iya, iya. Jam tujuh gue udah nyampe kok.”
”Thanks. Gue tunggu di sekolah ya!”
Di sekolah...
”Mita... Mita Pharameswari kelas IPA 3. Are you there?” tanya Thomas, ketua kelas yang mengidap penyakit ayan akut karena entah mengapa tubuhnya selalu gemetar. Di belakangnya tampak seorang cowok atletis berpakaian rapi dan bersepatu kets.
”Ada yang nyariin lo,” kata Thomas. Aku mengernyitkan dahi saat bertemu dengan cowok itu. Tiba-tiba tangannya terjulur. ”Mita ya? Gue Brian yang tadi pagi telepon lo,” kata cowok itu. Aku menepuk dahiku dan membalas tangannya. ”Oh iya. Gue Mita. Salam kenal,” kataku. Brian tersenyum.
”Kita harus ketemu guru lo dulu. Soalnya beliau yang udah merekomendasikan gue buat membimbing lo,” kata Brian. Aku hanya mengangguk.
”Eh iya. Emangnya lo kuliah semester berapa sih?” tanyaku saat kami berjalan di koridor sekolah. Brian tersenyum kecil. ”Tebak coba,” kata Brian. Aku segera menatap wajahnya.
”Semester empat?” tanyaku. Brian menggeleng. ”Gue udah jadi co-ass kali,” jawab Brian. Aku ternganga dan menatap Brian tidak percaya. ”Lulus SMA umur enam belas taun. Lulus kuliah empat taun kemudian,” kata Brian. Kali ini mulutku terbuka lebar. Enam belas tahun lulus SMA? Aku yang berumur tujuh belas tahun saja masih duduk di kelas tiga. Hebat!
”Terus program co-ass lo gimana? Nggak terganggu sama pembinaan?” tanyaku. Brian memasukkan kedua tangannya di saku celana jeansnya. ”Sebenernya sih iya. Tapi gue rela kok. Asalkan lo berusaha sungguh-sungguh dan serius,” jawab Brian. Aku mengangguk. ”Janji?” tanya Brian sambil menjulurkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum.
”Janji.”
Aku tertawa lebar, begitu juga dengan Brian. ”Nah, itu guru gue. Masuk yuk,” ajakku. Tanpa kusadari tanganku telah menggandeng tangan Brian dan menariknya masuk.
Laboratorium Fakultas Kedokteran
”Welcome to my campus,” kata Brian sambil membuka pintu laboratorium. Beberapa mahasiswa yang sedang asik mengamati sesuatu tampak melirik kami sekilas, lalu kembali menekuni kegiatan masing-masing.
“Lo boleh pake jas lab gue,” kata Brian sambil menyerahkan sebuah jas berwarna putih. Aku segera menerimanya. ”Sori, bau alkohol sedikit,” kata Brian sambil mengambil sebuah jas berwarna sama yang digantung dibalik pintu.
”Gue lebih menekankan praktek daripada teori. Gue akan jelasin teori sambil lo praktek. Lo nggak ada masalah kan sama sistem ngajar gue?” tanya Brian lagi. Aku menggeleng. Brian tersenyum.
”OK, kita mulai dengan anatomi tubuh manusia. Konsenterasi, jangan mudah terpengaruh lingkungan. Gue percaya lo bisa,” kata Brian. Dia menarik tanganku dan menunjukkan sebuah tiruan tubuh manusia lengkap dengan pembuluh darah dan kelenjar-kelenjarnya. Penjelasan Brian yang gamblang membuatku mudah memahami materi yang diajarkan. Syukurlah, karena sebenarnya aku bukanlah anak yang mudah menghafal materi baru.
”Ngerti?” tanya Brian setelah dia selesai menjelaskan. Aku mengangguk dan mengacungkan dua ibujari tanganku. Brian tersenyum. ”Sekarang gue pengen ngajarin lo tentang jantung dan pembuluh darah. Kita belajar ngukur tekanan darah dulu,” kata Brian.
”Gue bisa,” kataku sambil mengambil tensimeter yang telah dipersiapkan oleh Brian. Brian tampak kaget, namun tetap membiarkanku menggulung lengan bajunya dan mengukur tekanan darahnya. Tiga menit kemudian...
”Tekanan sistole 120, diastole 90. Normal. Bener kan?” tanyaku pada Brian. Brian segera mengukur tekanan darahnya sendiri dan tersenyum. ”Correct. Kayaknya gue nggak harus ngajarin ini lagi ke lo. Kita pindah ke ruangan selanjutnya,” kata Brian. Begitu seterusnya sampai kami tidak menyadari jam telah menunjukkan pukul empat sore. Brian menyudahi pembinaan itu dan mengajakku makan di kantin.
”Sorry ya, gue bikin lo telat makan,” kata Brian sambil membawa nampan makanan. Dua piring steak dan dua gelas orange juice segera terhidang.
”Nggak kenapa-napa lagi. Asik kok,” kataku sambil menyedot minumanku. Brian tersenyum. ”Lo hebat, Ta. Lo bisa ngerti semua yang gue jelasin. Jarang gue nemuin anak SMA yang cerdas seperti lo.”
Aku tersenyum malu. Aku dan Brian makan tanpa banyak bicara. Setengah jam kemudian kami telah meluncur pulang.
+++
Keesokan harinya...
”Gimana persiapan kamu, Nak?” tanya papa saat aku, mama, dan beliau makan bersama di meja makan. “Persiapkan dengan baik dan serius. Ini juga kesempatanmu untuk mendapatkan pengalaman baru,” kata papa. Aku hanya mengangguk-angguk.
Tiin... tiin...
Terdengar bunyi klakson mobil. Aku segera mencium tangan papa dan mama kemudian segera menemui Brian yang datang dengan Toyota Fortunernya.
”Pagi. Udah siap untuk liat kadaver?” tanya Brian saat aku membuka pintu mobil. Aku terseyum dan mengangguk. Giliran Brian yang menatapku aneh. Dari mana anak ini tahu istilah kadaver? Batinnya.
“Gue tau dari buku ini,” kataku sambil mengambil sebuah kamus kedokteran milik salah satu teman mama yang sengaja kupinjam untuk persiapan lomba.
“Bagus kalo gitu. Berarti lo udah tau istilah-istilah lain selain mayat?” tanya Brian. Aku mengangguk. Brian mengacak-acak rambutku. “Wah, thanks banget ya atas usaha lo. Gue nggak perlu kerja terlalu keras untuk membimbing lo,” katanya. Aku tertawa. Hari ini Brian akan mengajakku melihat organ tubuh manusia yang asli dengan mengorek-korek kadaver. Menurut kamus yang kubaca, kadaver berarti mayat.
”Nggak takut sama darah kan?” tanya Brian sambil memutar stir dan menginjak pedal gas. Aku menggeleng. ”Bagus. Itu berarti kita nggak akan nemuin kendala nanti. Gue bawa beberapa status pasien. Coba lo pelajari dulu. Kalo ada pertanyaan, langsung aja tanyain ke gue,” kata Brian. Aku mengangguk dan mengambil sebuah map yang ada di kursi belakang dan mulai membaca-baca.
Sepuluh menit kemudian aku telah rapi berpakaian jas lab dan menunggu Brian yang sedang mencari beberapa barang yang kami butuhkan untuk bimbingan kali ini. Tak lama kemudian Brian kembali dan memberikan sehelai baju khusus operasi.
”Kita liat sesi bedah aja hari ini, mumpung ada yang mahasiswa yang praktek. Tenang, nggak pakai manusia asli kok,” kata Brian sambil membantuku yang terbalik memakai baju operasi. Tak lama kemudian beberapa orang mahasiswa-Brian bilang mereka itu residen bedah-datang dengan setengah berlari. Brian tampak berbicara sebentar dengan mereka kemudian mengajakku masuk. Semua residen bedah segera menempatkan diri di samping meja operasi sedangkan aku dan Brian berada di ruangan terpisah, namun tetap dapat melihat proses operasi itu.
”Sekarang kita liat dulu proses sebelum pembedahan. Pertama-tama pasien dibius dulu. Bisa total, bisa lokal. Lo bisa liat cara nyuntik dan posisi dimana kita bisa nyuntikin obat bius,” kata Brian. Aku mengangguk-angguk.
”Setelah itu dilakukan proses penyayatan. Pembuluh darah yang kecil dibiarin putus, yang besar diikat dulu agar tidak terjadi pendarahan. Usahakan sayatan itu dekat dengan bagian tubuh yang akan kita operasi.”
Tiba-tiba Brian melingkarkan tangannya di pinggangku seolah ingin memelukku. ”Lo liat deh, cara mereka bikin sayatannya,” kata Brian setengah berbisik. Tiba-tiba aku tidak dapat berkonsenterasi lagi dan hanya dapat merasakan desahan lembut nafas Brian yang sibuk menjelaskan ini itu. Semuanya tampak begitu mempesona. Apakah aku…
+++
Akhirnya hari yang sangat ditunggu-tunggu tiba. Hari perlombaan olimpiade kedokteran. Aku memakai jas putih pemberian Brian dan memasang kancingnya satu persatu. Aku, mama, dan papa segera meluncur ke tempat perlombaan.
”Hai, Yan!” sapaku saat melihat Brian duduk di salah satu kursi penonton. Brian berbalik dan tersenyum. Dia mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku. ”Lo pasti bisa,” katanya. Aku tersenyum. Selanjutnya para peserta dikumpulkan di salah satu ruangan dan diberi pengarahan oleh panitia. Aku mulai unjuk kebolehan dengan unggul dari babak pertama hingga semifinal. Namun, salah satu pertanyaan juri cukup membuatku kelimpungan di babak final. Lawanku sungguh lihai dalam sesi debat ini. Sial! Kalau tahu begini aku belajar berdebat juga!
Kali ini tidak ada waktu untuk berpikir karena waktuku hanya tersisa beberapa detik dan jika pertanyaan tersebut tidak dijawab, maka nilaiku akan dikurangi. Akhirnya aku menjawab pertanyaan itu dengan ragu-ragu dan jelas dapat menjatuhkan poinku. Aku tertunduk saat turun panggung.
”Maafin gue, Yan,” kataku saat turun dari panggung dan mendapati Brian menungguku disana. Air mataku mulai menetes. Brian segera merengkuhku dalam pelukannya. Dia tahu jawabanku pada soal yang terakhir dapat menghilangkan kesempatanku untuk menang.
”Lo udah melakukan yang terbaik. Lo hebat, Ta. Gue salut sama lo. Lo nggak usah menyesali semua yang udah terjadi. OK?” tanya Brian. Aku mengangguk dan mengusap air mataku. Brian mengajakku duduk.
”Jujur… Sejak pertama kita ketemu gue langsung suka sama lo,” kata Brian. Aku diam dan menatap mata elangnya. Brian tampak gugup. “Gue suka semangat lo. Gue suka lo apa adanya. Pokoknya lo perfect buat gue. Lo mau nggak jadi…”
Tiba-tiba terdengar suara dari pengeras suara. Pengumuman kejuaraan. Brian langsung terdiam sedangkan aku memegang tangan Brian dengan erat. Dia balas menggenggam tanganku dengan lembut. Dewan juri mulai membacakan hasil perlombaan. Namaku tidak disebut pada urutan kedua dan ketiga.
”Kayaknya gue nggak ada harapan buat menang deh, Yan,” kataku sambil melepaskan tangan Brian. Brian mengelus punggungku. ”Lo udah berjuang, Ta. Jangan menyesal gitu,” kata Brian. Aku menunduk. Tidak kupedulikan dewan juri yang hendak membacakan pengumuman pemenang pertama. Tiba-tiba…
”Juara pertama kita dengan skor 2835 diraih oleh... Mita Pharameswari!”
Aku langsung menatap Brian tidak percaya. Brian tertawa lebar dan merentangkan kedua tangannya. Aku langsung memeluknya.
”Gue menang, Yan!”
+++
”Mita... ayo makan dulu!” kata mama sambil mengetuk pintu kamarku. Aku bangkit, membuka pintu, dan mengikuti mama ke meja makan. ”Hari ini Mama masak sayur kesukaanmu,” kata mama. Beliau tahu benar aku akan makan banyak kalau ada sayur favoritku. Namun kali ini tidak.
”Kamu nggak kenapa-napa, kan?” tanya mama. Aku menggeleng dan menyendok nasi. Pikiranku tetap terfokus pada olimpiade kedokteran itu. Aku sama sekali tidak berminat mengikuti lomba itu meskipun aku ingin menjadi dokter kelak. Tapi guruku dengan enaknya bilang, ”Tidak bisa, Nak. Kamu sudah saya daftarkan.” saat aku menolaknya.
Enak di elo, enggak enak di gue dong!
”Hei hei. Kamu mikirin apa sih? Kok kayak nggak selera makan begitu?” tanya mama. Aku menggeleng dan menjauhkan piringku. ”Aku ada masalah di sekolah, Ma,” kataku tiba-tiba. Mama berhenti mengunyah kemudian menatapku. ”Coba liat deh, Ma,” kataku sambil menyerahkan kertas pengumuman lomba itu. Mama tersenyum lebar.
+++
Keesokan paginya...
”Mita... Ada telepon,” kata mama dari bawah. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi segera turun dan menemui mama. ”Dari siapa Ma?” tanyaku. Mama menggedikkan bahu.
”Halo...”
”Halo. Ini Mita?”
”Iya. Ini siapa ya?”
”Kenalin, gue Brian. Gue disuruh sama guru lo untuk membimbing lo buat persiapan olimpiade kedokteran. Apa nanti kita bisa ketemu di sekolah?”
”Oh iya, iya. Jam tujuh gue udah nyampe kok.”
”Thanks. Gue tunggu di sekolah ya!”
Di sekolah...
”Mita... Mita Pharameswari kelas IPA 3. Are you there?” tanya Thomas, ketua kelas yang mengidap penyakit ayan akut karena entah mengapa tubuhnya selalu gemetar. Di belakangnya tampak seorang cowok atletis berpakaian rapi dan bersepatu kets.
”Ada yang nyariin lo,” kata Thomas. Aku mengernyitkan dahi saat bertemu dengan cowok itu. Tiba-tiba tangannya terjulur. ”Mita ya? Gue Brian yang tadi pagi telepon lo,” kata cowok itu. Aku menepuk dahiku dan membalas tangannya. ”Oh iya. Gue Mita. Salam kenal,” kataku. Brian tersenyum.
”Kita harus ketemu guru lo dulu. Soalnya beliau yang udah merekomendasikan gue buat membimbing lo,” kata Brian. Aku hanya mengangguk.
”Eh iya. Emangnya lo kuliah semester berapa sih?” tanyaku saat kami berjalan di koridor sekolah. Brian tersenyum kecil. ”Tebak coba,” kata Brian. Aku segera menatap wajahnya.
”Semester empat?” tanyaku. Brian menggeleng. ”Gue udah jadi co-ass kali,” jawab Brian. Aku ternganga dan menatap Brian tidak percaya. ”Lulus SMA umur enam belas taun. Lulus kuliah empat taun kemudian,” kata Brian. Kali ini mulutku terbuka lebar. Enam belas tahun lulus SMA? Aku yang berumur tujuh belas tahun saja masih duduk di kelas tiga. Hebat!
”Terus program co-ass lo gimana? Nggak terganggu sama pembinaan?” tanyaku. Brian memasukkan kedua tangannya di saku celana jeansnya. ”Sebenernya sih iya. Tapi gue rela kok. Asalkan lo berusaha sungguh-sungguh dan serius,” jawab Brian. Aku mengangguk. ”Janji?” tanya Brian sambil menjulurkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum.
”Janji.”
Aku tertawa lebar, begitu juga dengan Brian. ”Nah, itu guru gue. Masuk yuk,” ajakku. Tanpa kusadari tanganku telah menggandeng tangan Brian dan menariknya masuk.
Laboratorium Fakultas Kedokteran
”Welcome to my campus,” kata Brian sambil membuka pintu laboratorium. Beberapa mahasiswa yang sedang asik mengamati sesuatu tampak melirik kami sekilas, lalu kembali menekuni kegiatan masing-masing.
“Lo boleh pake jas lab gue,” kata Brian sambil menyerahkan sebuah jas berwarna putih. Aku segera menerimanya. ”Sori, bau alkohol sedikit,” kata Brian sambil mengambil sebuah jas berwarna sama yang digantung dibalik pintu.
”Gue lebih menekankan praktek daripada teori. Gue akan jelasin teori sambil lo praktek. Lo nggak ada masalah kan sama sistem ngajar gue?” tanya Brian lagi. Aku menggeleng. Brian tersenyum.
”OK, kita mulai dengan anatomi tubuh manusia. Konsenterasi, jangan mudah terpengaruh lingkungan. Gue percaya lo bisa,” kata Brian. Dia menarik tanganku dan menunjukkan sebuah tiruan tubuh manusia lengkap dengan pembuluh darah dan kelenjar-kelenjarnya. Penjelasan Brian yang gamblang membuatku mudah memahami materi yang diajarkan. Syukurlah, karena sebenarnya aku bukanlah anak yang mudah menghafal materi baru.
”Ngerti?” tanya Brian setelah dia selesai menjelaskan. Aku mengangguk dan mengacungkan dua ibujari tanganku. Brian tersenyum. ”Sekarang gue pengen ngajarin lo tentang jantung dan pembuluh darah. Kita belajar ngukur tekanan darah dulu,” kata Brian.
”Gue bisa,” kataku sambil mengambil tensimeter yang telah dipersiapkan oleh Brian. Brian tampak kaget, namun tetap membiarkanku menggulung lengan bajunya dan mengukur tekanan darahnya. Tiga menit kemudian...
”Tekanan sistole 120, diastole 90. Normal. Bener kan?” tanyaku pada Brian. Brian segera mengukur tekanan darahnya sendiri dan tersenyum. ”Correct. Kayaknya gue nggak harus ngajarin ini lagi ke lo. Kita pindah ke ruangan selanjutnya,” kata Brian. Begitu seterusnya sampai kami tidak menyadari jam telah menunjukkan pukul empat sore. Brian menyudahi pembinaan itu dan mengajakku makan di kantin.
”Sorry ya, gue bikin lo telat makan,” kata Brian sambil membawa nampan makanan. Dua piring steak dan dua gelas orange juice segera terhidang.
”Nggak kenapa-napa lagi. Asik kok,” kataku sambil menyedot minumanku. Brian tersenyum. ”Lo hebat, Ta. Lo bisa ngerti semua yang gue jelasin. Jarang gue nemuin anak SMA yang cerdas seperti lo.”
Aku tersenyum malu. Aku dan Brian makan tanpa banyak bicara. Setengah jam kemudian kami telah meluncur pulang.
+++
Keesokan harinya...
”Gimana persiapan kamu, Nak?” tanya papa saat aku, mama, dan beliau makan bersama di meja makan. “Persiapkan dengan baik dan serius. Ini juga kesempatanmu untuk mendapatkan pengalaman baru,” kata papa. Aku hanya mengangguk-angguk.
Tiin... tiin...
Terdengar bunyi klakson mobil. Aku segera mencium tangan papa dan mama kemudian segera menemui Brian yang datang dengan Toyota Fortunernya.
”Pagi. Udah siap untuk liat kadaver?” tanya Brian saat aku membuka pintu mobil. Aku terseyum dan mengangguk. Giliran Brian yang menatapku aneh. Dari mana anak ini tahu istilah kadaver? Batinnya.
“Gue tau dari buku ini,” kataku sambil mengambil sebuah kamus kedokteran milik salah satu teman mama yang sengaja kupinjam untuk persiapan lomba.
“Bagus kalo gitu. Berarti lo udah tau istilah-istilah lain selain mayat?” tanya Brian. Aku mengangguk. Brian mengacak-acak rambutku. “Wah, thanks banget ya atas usaha lo. Gue nggak perlu kerja terlalu keras untuk membimbing lo,” katanya. Aku tertawa. Hari ini Brian akan mengajakku melihat organ tubuh manusia yang asli dengan mengorek-korek kadaver. Menurut kamus yang kubaca, kadaver berarti mayat.
”Nggak takut sama darah kan?” tanya Brian sambil memutar stir dan menginjak pedal gas. Aku menggeleng. ”Bagus. Itu berarti kita nggak akan nemuin kendala nanti. Gue bawa beberapa status pasien. Coba lo pelajari dulu. Kalo ada pertanyaan, langsung aja tanyain ke gue,” kata Brian. Aku mengangguk dan mengambil sebuah map yang ada di kursi belakang dan mulai membaca-baca.
Sepuluh menit kemudian aku telah rapi berpakaian jas lab dan menunggu Brian yang sedang mencari beberapa barang yang kami butuhkan untuk bimbingan kali ini. Tak lama kemudian Brian kembali dan memberikan sehelai baju khusus operasi.
”Kita liat sesi bedah aja hari ini, mumpung ada yang mahasiswa yang praktek. Tenang, nggak pakai manusia asli kok,” kata Brian sambil membantuku yang terbalik memakai baju operasi. Tak lama kemudian beberapa orang mahasiswa-Brian bilang mereka itu residen bedah-datang dengan setengah berlari. Brian tampak berbicara sebentar dengan mereka kemudian mengajakku masuk. Semua residen bedah segera menempatkan diri di samping meja operasi sedangkan aku dan Brian berada di ruangan terpisah, namun tetap dapat melihat proses operasi itu.
”Sekarang kita liat dulu proses sebelum pembedahan. Pertama-tama pasien dibius dulu. Bisa total, bisa lokal. Lo bisa liat cara nyuntik dan posisi dimana kita bisa nyuntikin obat bius,” kata Brian. Aku mengangguk-angguk.
”Setelah itu dilakukan proses penyayatan. Pembuluh darah yang kecil dibiarin putus, yang besar diikat dulu agar tidak terjadi pendarahan. Usahakan sayatan itu dekat dengan bagian tubuh yang akan kita operasi.”
Tiba-tiba Brian melingkarkan tangannya di pinggangku seolah ingin memelukku. ”Lo liat deh, cara mereka bikin sayatannya,” kata Brian setengah berbisik. Tiba-tiba aku tidak dapat berkonsenterasi lagi dan hanya dapat merasakan desahan lembut nafas Brian yang sibuk menjelaskan ini itu. Semuanya tampak begitu mempesona. Apakah aku…
+++
Akhirnya hari yang sangat ditunggu-tunggu tiba. Hari perlombaan olimpiade kedokteran. Aku memakai jas putih pemberian Brian dan memasang kancingnya satu persatu. Aku, mama, dan papa segera meluncur ke tempat perlombaan.
”Hai, Yan!” sapaku saat melihat Brian duduk di salah satu kursi penonton. Brian berbalik dan tersenyum. Dia mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku. ”Lo pasti bisa,” katanya. Aku tersenyum. Selanjutnya para peserta dikumpulkan di salah satu ruangan dan diberi pengarahan oleh panitia. Aku mulai unjuk kebolehan dengan unggul dari babak pertama hingga semifinal. Namun, salah satu pertanyaan juri cukup membuatku kelimpungan di babak final. Lawanku sungguh lihai dalam sesi debat ini. Sial! Kalau tahu begini aku belajar berdebat juga!
Kali ini tidak ada waktu untuk berpikir karena waktuku hanya tersisa beberapa detik dan jika pertanyaan tersebut tidak dijawab, maka nilaiku akan dikurangi. Akhirnya aku menjawab pertanyaan itu dengan ragu-ragu dan jelas dapat menjatuhkan poinku. Aku tertunduk saat turun panggung.
”Maafin gue, Yan,” kataku saat turun dari panggung dan mendapati Brian menungguku disana. Air mataku mulai menetes. Brian segera merengkuhku dalam pelukannya. Dia tahu jawabanku pada soal yang terakhir dapat menghilangkan kesempatanku untuk menang.
”Lo udah melakukan yang terbaik. Lo hebat, Ta. Gue salut sama lo. Lo nggak usah menyesali semua yang udah terjadi. OK?” tanya Brian. Aku mengangguk dan mengusap air mataku. Brian mengajakku duduk.
”Jujur… Sejak pertama kita ketemu gue langsung suka sama lo,” kata Brian. Aku diam dan menatap mata elangnya. Brian tampak gugup. “Gue suka semangat lo. Gue suka lo apa adanya. Pokoknya lo perfect buat gue. Lo mau nggak jadi…”
Tiba-tiba terdengar suara dari pengeras suara. Pengumuman kejuaraan. Brian langsung terdiam sedangkan aku memegang tangan Brian dengan erat. Dia balas menggenggam tanganku dengan lembut. Dewan juri mulai membacakan hasil perlombaan. Namaku tidak disebut pada urutan kedua dan ketiga.
”Kayaknya gue nggak ada harapan buat menang deh, Yan,” kataku sambil melepaskan tangan Brian. Brian mengelus punggungku. ”Lo udah berjuang, Ta. Jangan menyesal gitu,” kata Brian. Aku menunduk. Tidak kupedulikan dewan juri yang hendak membacakan pengumuman pemenang pertama. Tiba-tiba…
”Juara pertama kita dengan skor 2835 diraih oleh... Mita Pharameswari!”
Aku langsung menatap Brian tidak percaya. Brian tertawa lebar dan merentangkan kedua tangannya. Aku langsung memeluknya.
”Gue menang, Yan!”
+++
Langganan:
Komentar (Atom)