Kamis, 12 Agustus 2010

The Asylum
by Tha Yr on Friday, August 13, 2010 at 7:54am

"Saksi pertama, Dokter Arifin, dipersilakan untuk memberikan keterangan."

Seorang dokter bertubuh gempal maju dan meletakkan tangannya di atas Al-Quran. "Anda bersumpah untuk tidak berkataselain kebenaran dan tidak menyembunyikan kebenaran dari persidangan?" tanyaseorang lelaki yang memegang Al-Quran. Dokter Arifin mengangguk. Dia duduk disebuah meja di samping sang hakim. Seorang pengacara dari pihak terdakwabergegas memberinya beberapa pertanyaan.


"Apakah Anda, Dokter Arifin, berada di ruang operasi saat kejadiantersebut berlangsung?" tanya pengacara itu. Dokter Arifin mengangguk. "Saat itusaya menjadi asisten operasi dokter Nurfina," jawab dokter Arifin.



"Apa yang dilakukan oleh seorang asisten operasi, dokter Arifin?" tanya pengacaralagi. Dokter Arifin berdehem sejenak. "Saya hanyalah seorang residen tahunketiga. Dokter Nurfina hanya memberikan saya wewenang untuk mengambilkanalat-alat yang diperlukan," jawabnya.



"Apakah Anda tahu mengenai perintah dokter Nurfina kepada dokterspesialis anestesi untuk menambahkan obat bius karena pasien mulai sadar?" tanyapengacara lagi. Dokter Arifin mengangguk mantap, sama sekali tidak ada keraguandi wajahnya. Diam-diam seorang wanita berjilbab yang duduk di sampingpengacaranya di sudut ruangan menghela nafas panjang. Seorang pengacara lainnyaberusaha menenangkannya.



"Dokter Nurfina memberikan instruksi untuk menambah dosis obat biussebanyak lima kali lipat," jawab dokter Arifin. Wanita berjilbab itu kontanmenggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak melakukan itu! Dia hanyamenginstruksikan dokter anestesi untuk menambah dosis obat menjadi dua kalilipat, bukan lima!



Persidangan itu berlanjut dengan semakin banyak keterangan-keteranganpalsu dari saksi. Wanita berjilbab itu, terdakwa dokter Nurfina, Sp.JP, hanyamendesah. Seorang pria yang duduk di sampingnya tampak memberikan semangat. "Tenanglah,Bun. Aku percaya Bunda tidak melakukan itu," katanya di telinga ibunya.



+++



"Katakan!"



"Bukan aku! Aku bersumpah!"



"Katakan yang sebenarnya atau kugorok lehermu!"



"Bb... baiklah! Dia adalah saksi kedua yang menghadiri kasus ibumu beberapa minggu yang lalu. Aku hanya dibayaruntuk memberikan kesaksian palsu di persidangan! Tapi tolong, tolong rahasiakannamaku. Jika tidak mereka akan membunuhku."

"Mereka tidak akan membunuhmu karena aku akan membunuhmu lebih dulu!"



"Aaaarghh!!"



Robert menyeringai puas saat sang korban meregang nyawa di hadapannya.Dia mengambil pisau itu dan menjilati darah yang ada di permukaannya. "Oh,begitu rupanya. Aku tahu siapa yang telah memfitnah ibuku dan satu persatumereka akan mati di tanganku!" kata Robert disambung dengan derai tawa beberapaorang anak buah yang mengelilinginya.



"Pekerjaan kita masih banyak! Aku tidak akan berhenti sebelum merekasemua mati di tanganku!" kata Robert sambil memberikan tanda pada tiga orangpria bertubuh kekar untuk mengubur mayat orang yang baru saja dibunuhnya, seorangsaksi dari pihak penggugat yang mengatakan bahwa terdakwa, ibu Robert, dengansadar menambah dosis obat penenang sehingga membuat jantung pasien bermasalahsaat operasi di persidangan. Robert tersenyum sinis. "Dasar dokter tidakberadat! Seenaknya saja kau menuduh ibuku melakukan mal praktik. Sekarangrasakan akibatnya!"



+++



"Cukup untuk saksi pertama. Saksi kedua, dokter Tegar, dipersilakan untukmemberikan keterangan."



Seorang lelaki berkepala botak segera menempati tempat yang telahdipersiapkan. Setelah memberikan sumpah, dokter Tegar bersiap untuk menjawabpertanyaan dari pengacara terdakwa.



"Nama Anda dokter Tegar?" tanya pengacara. Lelaki itu mengangguk. "Apaposisi Anda saat operasi berlangsung?" tanya pengacara itu lagi.



"Saya bertugas mengawasi monitor jantung dan otak," jawab dokter Tegar. Pengacaradari pihak terdakwa itu mengangguk-angguk. "Anda berada dalam satu ruangan saatdokter Nurfina melakukan operasi?" tanyanya lagi. Dokter Tegar menggeleng.



"Tapi saya tahu jika dokter Nurfina menginstruksikan dokter anestesiuntuk menambah obat bius pada pasien lima kali lipat dari dosis standart," katadokter Tegar. Lagi-lagi wanita berjilbab itu mendesah panjang. "Bagaimanabisa?" tanya pengacara.



"Ruangan kami terhubung dengan sebuah mikrofon dan speaker. Kami bisasaling memantau kegiatan satu sama lain meskipun kondisi mikrofon tidak terlalubagus karena kami bisa melihat jalannya operasi melalui kaca penyekat ruangan,"jawab dokter Tegar. Dokter Nurfina kembali mendesah. Residen terbaiknya, dokterTegar Riyadi, telah memberikan keterangan palsu. "Saat itu kau jelas-jelasmendengar instruksiku, Nak. Aku menyuruh dokter anestesi untuk menambah dosisobat sebanyak dua kali lipat, bukan lima," kata dokter Nurfina.



"Saat itu Anda benar-benar mendengar bahwa dokter Nurfina menyuruh dokteranestesi untuk menambah dosis obat?" tanya pengacara dari pihak terdakwa.Dokter Tegar mengangguk. "Berapa banyak?" tanya pengacara dari pihak terdakwa.



"Lima kali lipat dari dosis normal," jawab dokter Tegar. Lagi-lagi dokterNurfina mendesah. Pria muda itu masih setia menggenggam tangan dokter Nurfinadengan erat seraya berkata, "Aku percaya padamu, Bunda."



+++



"Namanya Tegar, seorang calon dokter spesialis penyakit dalam yangmenjadi saksi kedua saat persidangan. Dia sasaran kita selanjutnya."



Robert membagikan lima lembar foto seorang lelaki berkepala botak padaanak buahnya. Tak lama kemudian mereka mengendarai sebuah mobil offroad danmengikuti sebuah mobil Mercy yang dikendarai oleh dokter Tegar. Namun sepertinyamobil sasaran mengetahui jika dirinya diikuti oleh mobil lain. Kejar mengejartidak terelakkan lagi.



"Ikuti terus! Jangan sampai lepas!" teriak Robert pada anak buahyangbertugas menyetir mobil. Mobil Mercy itu berjalan dengan kecepatan penuh.Mobil offroad tua milik Robert tidak bisa menandingi kecepatannya. "Kita ambiljalan pintas saja," kata Robert saat mobil Mercy itu semakin menjauh.



"Siap Bos," kata salah satu anak buahnya. Mereka berbelok ke sebuah gangsempit –lebih tepatnya jalan perkampungan- dan berhenti di sebuah persimpangan.Benar saja, mereka bisa melihat mobil Mercy milik dokter Tegar melesat kencang.



"Potong jalannya!" teriak Robert. Tak lama kemudian mobil jeep offroad miliknyaberhasil memotong jalan mobil Mercy itu. Robert dan enam orang kawannya segeramenghampiri dokter Tegar yang saat itu marah-marah.



"Ada apa ini?" tanya dokter Tegar saat Robert tersenyum sinis padanya.Robert mendengus. "Ada apa katamu? Aku datang untuk menuntut balas," jawabRobert. Dokter Tegar tampak berpikir sejenak. "Apakah keluargamu pernah menjadipasienku dan aku gagal menyelamatkannya? Oh, maaf sekali. Memang ajalnya sudahdekat," kata dokter Tegar enteng.



"Tidak ada satupun anggota keluargaku yang menjadi pasienmu. Tidak akanpernah!" jawab Robert garang. Dokter Tegar terkekeh.



"Lalu apa yang kau maudariku? Uang?" tanya dokter Tegar sambil mengeluarkan beberapa lembar uangseratus ribuan dari dompetnya. Robert semakin gusar dan memerintahkan dua anakbuahnya untuk menahan dokter Tegar.



"Hey! Hey! Apa-apaan ini?" bentak dokter Tegar. Dia berontak, apalagisetelah melihat Robert mengeluarkan sebuah jarum suntik yang telah diiisidengan cairan mematikan, sianida pekat. "Kau berhutang padaku, Dok, ataskesaksian palsumu di sidang tadi," kata Robert. Dokter Tegar menelan ludah.



"Kesaksianku benar adanya," kata dokter Tegar. Robert tersenyum sinis."Kau mau sianida ini masuk ke tubuhmu?" tanya Robert sambil menggulung lenganbaju tawanannya. Dokter Tegar berontak dan berteriak-teriak minta tolong. Robertsegera menutup mulut dokter itu.



"Oke. Baiklah, aku akan memberitahumu," kata dokter Tegar. Robert melepaskantangannya dari mulut dokter Tegar. "Dia adalah saksi ketiga yang dihadirkan dipersidangan! Tolong, jangan bunuh aku," kata dokter Tegar memohon pada Robert.Robert tersenyum sinis. Seorang calon dokter spesialis memohon-mohon padanyasetelah siang tadi dengan angkuhnya dia memberikan keterangan palsu dipersidangan.



"Ups, maaf. Aku tidak bisa membiarkan dokter yang tidak bertanggung jawabsepertimu berkeliaran di kota ini," kata Robert sambil menyuntikkan sianidapekat ke tubuh dokter Tegar. Tidak sampai sepuluh menit, dokter botak itumeregang nyawa.



+++



"Benar anda dokter Mirna?" tanya pengacara dari pihak terdakwa saatpersidangan menghadirkan saksi keempat. Seorang wanita blasteran bertubuhtinggi dan berkulit putih tersenyum. "Ya, benar," jawabnya.



"Anda berjanji akan berkata benar dan tidak mengatakan hal yang lainkecuali kebenaran?" tanya pengacara dari pihak terdakwa. Dokter Mirna kembalimengangguk. "Apa tugas Anda saat operasi berlangsung?" tanya pengacara daripihak terdakwa lagi.



"Saya bertugas mengawasi supply darah pasien sekaligus asisten operasidokter Nurfina," jawab dokter Mirna. Pengacara dari pihak terdakwa mengangguk. "Sungguhmengejutkan, wanita secantik Anda hanya menjadi asisten operasi, bukan actor utamayang melakukan operasi." Pengacara itu sedikit berbasa-basi. Wanita cantik yangduduk di hadapannya kali ini mau tidak mau sedikit mengurangi konsenterasinya.



"Kau akan kuoperasi jika kau mau," canda dokter Mirna. Pengacara daripihak terdakwa tertawa renyah. Sang hakim berdehem sejenak, membuat suasanakembali serius. "Thankyou, Your Honor," kata pengacara dari pihak terdakwa.Sang hakim mengangguk.



"So. Anda mengetahui saat dokter Nurfina memberikan instruksi pada dokteranestesi agar menambahkan dosis obat pada pasien?" tanya pengacara itu. DokterMirna mengangguk. "Sama seperti saksi-saksi sebelumnya, saya tahu dokterNurfina meminta dokter anestesi menyuntikkan obat tambahan sebanyak lima kalidari dosis normal," jawab dokter Mirna. Pengacara itu mengangguk-angguk.



+++



Dokter Mirna tengah mengendarai mobil sedannya saat sebuah panggilanmasuk ke ponselnya. Sebuah nomor tertera di layar. Tanpa pikir panjang diasegera mengangkatnya. Ah, mungkin telepon dari rumah sakit dan merekamembutuhkanku, batinnya.



"Hello sweetheart."



Dokter Mirna tampak berpikir. Jelas bukan rumah sakit yang menelepon jikamenggunakan kata-kata sweet heart seperti ini. Ah, mungkin pacarku, batinnya.



"Andrew, is that you?"



"No, I'm Robert."



"Robert who? OK, katakan apa perlumu. Quick."



"Oh, why are you so hurry, Hon?"



"Hey, diam! Katakan saja apa maumu!"



"Baiklah kalau itu maumu. Aku telah memasang peledak di mobilmu. Akuhanya ingin tahu siapa yang menyuruhmu memberikan kesaksian palsu dipersidangan tadi."



"Bullshit. Bohong!"



"Silakan lihat di bawah mobilmu, Dok. Ada pelat baja yang selalu berdetiklebih cepat setiap kali kau menambah kecepatan dan akan langsung meledak jika aku menekan tombol yang ada di tanganku ini."



Dokter Mirna bergegas menghentikan mobilnya namun urung karena Robertkeburu mengancamnya, "Jika kau berhenti maka kau akan mati seketika."



"Katakan apa maumu! Aku akan memberimu uang sebanyak yang kau mau. Tapitolong jangan bunuh aku."



"Katakan siapa yang menyuruhmu memberikan keterangan palsu saatpersidangan tadi!"



"Tidak ada yang menyuruhku!

"

"Katakan atau aku akan meledakkan mobilmu sekarang juga!"



"OK, baiklah. Dia adalah dokter anestesi yang ada di ruang operasibersama dengan dokter Tegar. Dia salah mendengar instruksi yang diberikan olehdokter Nurfina. Dia memberiku uang cukup banyak untuk memberi keterangan palsusaat persidangan! Dia adalah..."



BUUMMMM!!!



Robert menekan tombol yang ada di tangannya dengan penuh kebencian. Diadapat melihat kepulan asap tebal membumbung tinggi saat melihat ke arah utara.Mobil dokter Mirna sempurna terbakar.



"Brengsek! Ternyata kau pelakunya!" kata Robert sambil memutar mobilnya.Beberapa anak buah yang ikut di dalam mobilnya hanya menggedikkan bahu.



+++



"Sidang akan menghadirkan saksi terakhir. Dokter Bryan, silakanmemberikan keterangan."



Bryan memeluk ibunya sejenak dan melangkah menuju tempat yang telahdisediakan. Dia merapikan jasnya sejenak sebelum meletakkan tangannya diatasAl-Quran dan bersumpah hanya akan mengatakan kebenaran.



"Dokter Bryan?" sapa pengacara. Dokter Bryan mengangguk. "Sedikit bebanuntukku memberikan beberapa pertanyaan padamu. Namun kuharap kau akanmengatakan hal yang sebenarnya meskipun sang terdakwa adalah ibumu sendiri,"kata pengacara lagi. Dokter Bryan hanya mengangguk.



"Kau ada di ruang operasi saat itu?" tanya pengacara. Dokter Bryanmengangguk. "Aku adalah dokter anestesi yang menangani pembiusan pasien saatoperasi berlangsung," jawab dokter Bryan. Pengacara itu mengangguk-angguk."Anda adalah satu-satunya saksi kunci di persidangan ini," katanya.



"Anda yakin ibu anda meminta Anda untuk menyuntikkan obat bius tambahan?"tanya pengacara lagi. Dokter Bryan mengangguk. "Berapa banyak?" tanya pengacaralagi.



BRAAAKK...



"Bunda hanya memintamu menyuntikkan obat bius tambahan sebanyak dua kalilipat dosis standart, bukan lima!!" Robert membuka pintu ruang sidang dengankasar. Di tangannya terdapat sepucuk pistol yang siap memuntahkan pelurunyakapan saja. "Kau brengsek!" teriak Robert marah. Beberapa orang polisi segeramengepung tempat itu, namun mereka tidak berani mendekat karena Robert membawa pistol.



"Aku mengetahui semuanya, Kak," kata Robert sinis. Dokter Bryan hendakmaju mendekati sang adik namun tertahan saat sang adik mengacungkan pistol kearahnya. "Aku tahu kau membayar para saksi untuk memberikan keterangan palsu!Sebenarnya itu salahmu! Kau salah mendengar instruksi bunda karena saat itu kauberada di ruang monitor bersama dokter Tegar!" teriak Robert.



"Hey, ada apa denganmu Rob?" tanya dokter Bryan. Robert tersenyum sinis."Dialah pelakunya, pak hakim. Dia salah mendengar instruksi bunda. Bundamemberinya instruksi untuk menambah dosis obat sebanyak dua kali lipat, bukanlima!" teriaknya.



"Kau tidak diijinkan untuk berbicara di persidangan kecuali akumenyuruhmu berbicara!" bentak hakim. Robert terlihat semakin gusar. Diamerangsek maju mendekati hakim. "Salah satu saksi pasti telah menjelaskanpadamu, bahwa mikrofon di ruang monitor tidak dalam kondisi baik!" kata Robertdengan nada tinggi.



"Ya, memang ada saksi yang mengatakannya padaku. But can you please sitdown?" kata hakim berusaha menenangkan Robert. Robert menggeleng. "Jadikan akusaksi Pak Hakim!" bentak Robert. Hakim itu menggeleng. "You are insane! Get himout of here!" katanya. Robert berlari ke arah Bryan.



"Kau tega melakukannya! Dasar brengsek!" bentak Robert pada Bryan.Tangannya siap memukul wajah sang kakak, namun segera diurungkannya saat sangbunda berteriak, "Kalau kau melakukannya, aku tidak akan menganggapmu sebagaianak lagi!"



"Kau akan menyesal karena kau telah melahirkan anak seperti dia Bunda!"bentak Robert. Sang ibu menggeram. "Aku lebih kecewa memiliki anak sepertimu!"katanya. Robert terperangah. "Bunda..."



"Lihatlah kakakmu! Dia tidak pernah sekalipun mengecewakanku! Sekaranglihatlah kau! Kau hanyalah seorang anak jalanan yang tidak memiliki arah hidup!Kau tidak memiliki masa depan! Dengan kata lain kau menyedihkan!"



"Mengapa Bunda tidak pernah berhenti membanding-bandingkanku dengan kak Bryan?Aku ingin menjadi musisi, Bunda. Kau tahu itu. Tapi kau terus saja memaksakumasuk fakultas kedokteran!"



"Aku menyesal telah melahirkanmu!" kata dokter Nurfina.



Tiba-tiba sekelompok polisi masuk dan meneriakkan agar semua pengunjungtiarap. Sebuah pistol tepat berada di sisi kiri Robert bersiap memuntahkanpeluru jika dia melakukan tindakan yang dianggap berbahaya. Robert tidakpeduli. Dia menerjang maju ke arah sang bunda. Tepat pada saat itu dokter Bryanmemeluknya dan membalikkan badannya.



DOR!



Peluru terlontar. Darah langsung membasahi lantai. Dokter Bryanmelepaskan pelukannya.



"Bryan! Apa yang kau lakukan!" jerit Robert saat sang kakak roboh kelantai. Sang bunda segera menghambur ke arah mereka. "Bunda... maafkan aku," katadokter Bryan sambil memegang erat tangan bundanya.



"Semua ini salahku, Bunda. Aku salah mendengarkan instruksimu. Saat itu kata "dua" terdengar seperti "lima",Bunda. Awalnya aku berpikir kau salah mengambil tindakan. Namun kepanikan diruang operasi karena pasien mulai sadar membuatku cepat-cepat menyuntikkan obatitu. Maafkan aku, Bunda. Maafkan aku karena aku telah menyuap semua saksi yanghadir di persidangan ini. Aku tidak ingin menjadi pesakitan, Bunda, dan karenakeegoisanku aku memprovokasi rekan-rekan sekalian untuk menuntutmu. Semuasalahku, Bunda. Maafkan aku," kata dokter Bryan.



"Will you do me a last favor, Mom?" tanya dokter Bryan yang nafasnyamulai tersengal. Dokter Nurfina mengangguk.

"Tolong sayangi Robert seperti kau menyayangiku."



Dokter Nurfina mendekap Bryan dengan erat ketika dia meregang nyawa.



+++



"Apa kabarmu, Nak?"



Seorang wanita datang mengunjungi Robert di rumah sakit jiwa hari itu.Robert tersenyum senang, khas seorang anak yang merindukan ibunya. "Bundadatang," katanya sambil berlari-lari kecil dan memeluk sang bunda. Tanpa sadarair mata sang bunda menetes. "Maafkan aku, Nak. Aku tidak bisa membalas pelukanmu,"katanya sambil melirik borgol yang mengikat kedua tangannya.



"I love you so much," kata Robert sambil mencium kedua pipi ibunya.Dokter Nurfina tersenyum. "I love you too," jawabnya. Robert tersenyum senang. DokterNurfina tersenyum getir. Maafkan bunda, Nak. Bunda tidak bisa mencurahkanperhatian padamu karena bunda masih belum bisa menerima statusmu, puterapertama dari mantan suamiku yang berselingkuh dengan wanita lain. MaafkanBunda, Nak, karena bunda sudah mengorbankanmu, batinnya.



"Bunda sedang apa? Bunda sedang main polisi-polisian ya?" tanyanya polos.Sang bunda hanya mengangguk. Robert menggenggam tangan dokter Nurfina danmengajaknya bermain bersama. Sang bunda tidak dapat menolak.



Diam-diam tiga orang calon dokter spesialis penyakit jiwa berbisik-bisiksaat mengamati mereka.



"Sayang sekali, ya. Dulu, Robert adalah seorang mahasiswa kedokteran yangberprestasi di kampus. Dia adalah teman sekelasku. Jiwanya pasti sangatterguncang karena kejadian itu."



"Ya. Sungguh menyedihkan. Apalagi sekarang ibunya harus dipenjara karenakesalahan yang bukan sepenuhnya miliknya."



"Dan sekarang Robert menderita skizofrenia paranoid dan dirawat di asylumini... ckckck... Mengenaskan."

Kamis, 05 Agustus 2010

Surat Untuk Papa

Connecticut, 20 Maret 2010

Dear papa…

I miss you so much, Pa.

Everything is doing great. Sungguh menyenangkan jika kau pernah menjadi siswa pertukaran pelajar. Kau bisa bertemu dengan banyak teman dari seluruh penjuru dunia dan bertukar pikiran dengan mereka. What a cool opportunity! Mereka membuka pikiranku tentang masa depan. And you know what, sepertinya aku berpikiran untuk menjadi seorang oncology surgeon sepertimu. Apalagi Yale University, tempatmu menempuh pendidikan spesialis beberapa tahun yang lalu, bisa kukunjungi setiap hari dengan menggunakan kereta selama sepuluh menit. Keren sekali rasanya jika aku bisa belajar di salah satu medical school terbaik di dunia itu.

Pa…

Beberapa hari yang lalu aku mengunjungi sebuah taman di tepi sungai dan melihat seorang anak berjalan bersama kedua orang tuanya. Aku ingin kembali ke saat-saat itu, Pa. Ketika kau selalu berada di sampingku. Ketika kau selalu ada saat aku membutuhkanmu. Ketika kau selalu siap mendengarkan keluh kesahku. Ketika kau ada untuk membuatku lebih tegar saat mama meninggalkan kita untuk selamanya. Saat itu aku melihat kehilangan yang begitu besar di matamu, Pa. Bahkan aku bisa melihatnya hingga sekarang.

Pa…

Ingatkah kau saat kita mengunjungi makam mama sebelum aku berangkat ke Connecticut? Kau masih saja meneteskan air mata saat mengelus batu nisan mama. Saat itu aku menggenggam tanganmu dengan erat, mencoba membagi kesedihan yang kau tanggung sendiri selama bertahun-tahun lamanya. “Seorang gadis berusia 18 tahun ada di sampingku, Ma. Dia begitu cantik dan cerdas,” katamu. Aku hanya tersenyum. “Aku sudah melakukan yang terbaik untuk mendidiknya,” katamu.
Kau memandangku dan tersenyum. Matamu memerah, begitu juga dengan mataku. Aku langsung memelukmu saat bahumu berguncang hebat. “I’m here, Pa,” kataku menenangkanmu. Kau balas memelukku begitu erat. “Maafkan Papa, Nak,” katamu. Aku menggeleng dan melepaskan pelukanku. Kuraup wajahmu dan kuciumi pipimu satu-persatu. “You have to be strong, Pa. Okay?” kataku sambil mengusap air matamu yang terus saja meleleh. Senyuman lebar itu kembali menghias bibirmu setelah kau mengecup keningku berulang kali. Entah apakah aku sanggup untuk meninggalkanmu saat itu, Pa.

Pa…

Mengenang hari-hari terakhir bersama mama masih kulakukan hingga saat ini. Sungguh, banyak memori yang sangat sulit untuk dilupakan, sampai pada suatu hari aku menemukan mama pingsan di kamar mandi. Saat itulah kita mengetahui bahwa mama terkena kanker leher rahim yang membuatnya harus menjalani pengobatan intensif di rumah sakit. Saat itu mungkin kau sudah mengetahui bahwa kanker yang diderita mama sudah tidak mungkin disembuhkan lagi, namun kau selalu menjawab mama baik-baik saja saat kutanya. Sampai pada suatu hari kondisi mama kritis dan kau, dokter yang menangani beliau, mengirimnya ke ruang ICU. Dapat kuingat wajah panikmu saat menyuruh suster memasang berbagai macam selang di tubuh mama. Lagi-lagi kau tersenyum tenang saat kutanya. “Mama baik-baik saja,” katamu. Namun pikiran kecilku mengatakan bahwa mama tidak baik-baik saja waktu itu.

Pa…

Sungguh, ingin rasanya aku memelukmu saat tiba-tiba kau datang dengan mata basah dan memberitahuku bahwa mama harus segera dioperasi. Namun kau mengelak saat aku menjulurkan tanganku. Bahkan bertatap matapun kau enggan. Seandainya kau mengizinkanku memelukmu sejenak saat itu, mungkin aku bisa sedikit mengurangi ketegangan yang kaurasakan.
Aku mengantarkan mama sampai di pintu rumah sakit, Pa, dan saat itu aku melihat kau berdiri di sana dengan mata basah. Seorang dokter berpakaian seragam operasi berwarna hijau tampak menggamit lenganmu. “Kau yakin akan melakukannya sendiri?” tanyanya. Kau menghela nafas panjang dan mengangguk, namun sedetik kemudian kau limbung dan terduduk di lantai. Aku langsung menghampirimu saat itu. “Papa?” panggilku saat melihat matamu terpejam. Air matamu tidak berhenti mengalir. Saat itu timbullah kekhawatiranku. Bukan pada mama, tapi padamu.

“Papa?” tanyaku sekali lagi. Kau masih memejamkan matamu. Kugenggam tangan kananmu dan kucium lembut. “Papa harus kuat. Papa harus kuat untukku,” kataku. Entah dari mana aku mendapat kekuatan untuk mengangkat tubuhmu dan membantumu berdiri tegak kembali. Kau tersenyum dan mencium kedua pipiku.

“Terimakasih, Sayang,” katamu sebelum kau masuk ke ruang operasi. Aku mengangguk dan mengedipkan sebelah mataku. Biasanya kau akan membalasnya dengan gelitikan di pinggangku, namun kali ini tidak. Saat itu aku menyadari ada yang tidak beres dengan semuanya. Denganmu dan mama. Aku sangat bersyukur, Pa, karena aku tidak meninggalkanmu saat itu.

Pa…

Aku tahu diam-diam kau mengusap air matamu saat menangani mama yang kondisinya semakin kritis. Aku juga tahu saat kau diam-diam kembali ke ruang praktekmu dan menangis setelah kau tidak berhasil mengembalikan denyut jantung mama lagi. Saat itu aku menyalahkanmu, Pa. Aku menganggapmu sebagai pembunuh mama. Aku tidak ingin menemuimu selama beberapa hari. Aku terus saja menganggapmu sebagai pembunuh mama sampai akhirnya kau jatuh sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Saat itu aku baru menyadari bahwa rasa kehilanganmu terhadap mama jauh lebih besar dari pada rasa kehilanganku.

“Maafkan aku, Pa,” kataku sambil memelukmu yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Kau memelukku dengan erat. Dapat kurasakan isakan halusmu saat itu, Pa, sebagai tanda bahwa kau memaafkanku dengan tulus. Pandanganku mengabur berkat air mata.

Pa…

Setelah kepergian mama, kau tetap mendampingiku seperti biasa. Hanya saja tugasmu bertambah satu: menggantikan posisi mama. Kau sudah melakukan yang terbaik, Pa, but sometimes a girl just needs her mom. Dapat kuingat ketika kau terpaksa menunjukkan video anatomimu saat aku mulai mendapatkan menstruasi pertamaku. Dapat kurasakan kebingunganmu saat kau menjelaskan siklus menstruasi padaku. Penjelasanmu yang berbelit-belit (saat itu usiaku masih 12 tahun dan kau sudah menggunakan istilah morula, blastula dan gastrula!) memaksaku untuk mencoba-coba menggunakan kamus kedokteranmu. Saat itu aku menemukan sebuah kata yang dihiasi dengan coretan spidol berwarna merah di bawahnya. Kanker rahim. Aku terus membaca kamusmu, Pa, dan tanpa sengaja aku menemukan selembar foto mama terselip di salah satu halaman. Di belakang foto itu tertulis, “Mutia Kasih, 20 Maret 2004. I love you with all parts of my heart.”

Tahukah kau, Pa? Saat itu aku sangat berambisi untuk menjadi dokter sepertimu. Entah kapan kesempatan itu akan datang padaku. Semoga saja aku belum pergi meninggalkanmu.

Pa…

Saat aku mulai beranjak remaja, kau mulai over protective padaku. Kau tidak mengizinkan satupun teman lelakiku untuk membawaku keluar rumah meskipun kami tidak memiliki hubungan apapun. Lalu kau mulai mengawasi kegiatanku saat nilai rapor semesterku jeblok. Kau memasukkanku ke sebuah lembaga bimbingan belajar dan meminta salah satu putera dari temanmu untuk menjadi guru privatku. Kau tahu betul kelemahanku, Pa. Aku tidak suka dikekang.

Saat itu aku terus memberontak, bahkan hampir lari dari rumah karena kau memarahiku habis-habisan saat aku membolos les privat pada malam itu. Kau begitu marah, Pa, namun sama sekali tidak tampak gurat kebencian di wajahmu. Kau memarahiku dengan penuh rasa kasih sayang. Kau tidak ingin puteri semata wayangmu tumbuh di luar batas-batas yang telah kau rencanakan bersama dengan mama. Aku menangis saat itu. Aku berteriak di depan mukamu, “Aku benci papa!”

Aku berlari ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Namun siapa sangka pada malam harinya suhu tubuhku naik dan kaulah orang pertama yang mengetahuinya? Kau mengambil kain kompres dan mengompres dahiku. Kau juga memberiku beberapa butir obat. Saat itu aku baru sadar kalau kau begitu menyayangiku, Pa, sampai akhirnya kau terpaksa membawaku ke rumah sakit ketika melihat tanganku penuh bercak merah. Kau terus menenangkanku selama perjalanan menuju rumah sakit.

Kau tidak pernah melepaskan genggaman tanganku sampai aku berada di UGD. Aku bisa meraskan kebingunganmu saat itu. “Kau akan baik-baik saja, Nak,” katamu sambil mengelus rambutku. Panas tinggi yang kuderita membuatku tidak meresponmu. Aku tahu saat itu kau begitu mengkhawatirkanku, Pa, hingga akhirnya kau memutuskan untuk menanganiku sendiri karena dokter jaga UGD tidak kunjung menanganiku. Saat itu aku sempat malu padamu. Kau begitu menyayangiku, Pa, namun aku belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Dalam hati aku bertanya, “Pa, did I grow up according to your plan?”

Pa…

Masih teringat jelas ketika aku terbangun di tengah malam dan melihatmu sedang memegangi perutmu. “Ada apa, Pa?” tanyaku saat melihatmu meringis menahan sakit. Kau menggeleng dan mengelus kepalaku. “Nothing to worry about, Dear. I’m fine,” jawabmu. Aku segera memejamkan mataku setelah memastikan kau baik-baik saja dengan beberapa pertanyaan. Keesokan harinya aku kembali melihatmu kesakitan, Pa, dan oh! Wajahmu memerah karena menahan rasa itu. Tanpa pikir panjang aku langsung memanggil beberapa suster untuk membantumu. “I’ll be back soon,” katamu saat suster-suster itu membawamu dengan kursi roda. “Yeah, you should,” jawabku. Kau tersenyum dan mencium keningku.
Kau memang kembali beberapa lama kemudian, Pa, namun sebuah selang infuse telah menancap di tangan kirimu. Kau melempar senyum padaku. “What’s wrong, Pa?” tanyaku. Papa menggeleng. Dibantu oleh seorang suster, kau berbaring di ranjang yang ada di samping ranjangku. Kita tidur dengan berpegangan tangan, Pa, dan pagi harinya aku mendapatimu duduk di sampingku. “Bagaimana tidurmu, Nak?” tanyamu saat aku mengucek mataku. Aku tersenyum dan mengangguk. “Kau sakit apa, Pa?” tanyaku. Lagi-lagi kau mengelak. “Aku baik-baik saja,” jawabmu. Namun aku tahu kau tidak baik-baik saja saat sekali lagi kau memegangi perutmu. “Tapi kau kesakitan,” kataku khawatir. Kau tersenyum dan menggeleng. “Jangan mengkhawatirkanku, Sayang. Kau harus cepat sembuh,” katamu.

Pa…

Seharusnya aku tahu tubuhmu mulai melemah karena penyakit yang kau derita itu. Setelah pulang dari rumah sakit, aku mendapatimu tidak sehat seperti biasanya. Aku tahu diam-diam kau meminum beberapa butir pil setelah makan pagi bersamaku. Aku juga tahu kau mulai mengurangi hobi bermain sepak bolamu. Kau mulai mengatur aktivitasmu. Tidak ada lagi papa yang pergi bersama klub raftingnya setiap hari minggu. Tidak ada lagi papa yang mengajakku bertanding basket di halaman belakang atau hanya sekedar berlari-lari kecil mengitari kompleks perumahan. Betapa kagetnya aku saat malam itu seorang petugas rumah sakit meneleponku dan memberitahuku bahwa kau dilarikan ke rumah sakit karena pingsan di tempat praktek beberapa hari setelah kita makan ice cream bersama di sebuah mall. Saat itulah kehidupan kita berubah. Kau semakin lemah, Pa, dan kau tidak mau aku mengetahui penyakitmu. Siapa sangka pada suatu pagi seorang dokter yang menanganimu memintaku untuk mendonorkan salah satu ginjalku padamu karena kau mengalami gagal ginjal!

Aku segera menyanggupinya saat itu, Pa, tapi kau marah. Kau tidak ingin aku mendonorkan ginjalku padamu. Berkali-kali aku berusaha meyakinkanmu kalau aku akan baik-baik saja meskipun harus hidup dengan satu ginjal. Saat semua kemungkinan penyembuhan yang kau jalani sudah tidak mungkin dilakukan lagi, kau baru menyetujuinya. Terlambat, Pa. Tubuhmu telah penuh dengan racun karena ginjalmu tidak berfungsi sama sekali. Aku begitu ketakutan saat operasi akan dilakukan. Berbagai pikiran berkecamuk dalam otakku sampai seorang suster mendorong ranjangmu dan meletakkannya di sampingku. Aku takut kau tidak akan selamat, Pa. Kugenggam erat tanganmu saat obat bius mulai mengalir di tubuhku.

Pa…

Aku sangat bersyukur ketika kau membuka matamu saat kita dirawat di ruang khusus bersama-sama. Kau selamat, Pa, dan aku berhasil menyadari betapa pentingnya dirimu dalam hidupku. Kau tersenyum manis ke arahku. Hampir saja aku menangis saat kau mengucapkan terimakasih padaku. Tidak, Pa, bukan kau yang seharusnya mengucapkan terimakasih. Tapi aku. Terimakasih karena kau sudah memberiku kesempatan untuk membalas semua jasa-jasamu. Kau pulih begitu cepat, Pa, begitu pula denganku. Aku sangat bersyukur, Pa, karena aku belum meninggalkanmu saat itu.

Aku kembali ke bangku sekolah beberapa minggu setelah operasi cangkok ginjal itu. Kau sendiri yang mengantarku ke sekolah. Terimakasih, Pa. Terimakasih untuk semua yang telah kau lakukan untukku.
Malam itu kau memintaku untuk menunggumu di sebuah restoran Chinese di tengah kota. Sungguh aku tidak menyangka kau akan datang bersama dengan seorang wanita cantik. “Mia, ini tante Tary, teman Papa,” katamu saat aku menjabat tangan wanita itu. Makan malam yang penuh canda tawa terulang lagi saat itu, Pa, dan kau terus saja tersenyum. Dalam hati aku berkata, “Pa, mungkin sudah waktunya kau mencari pengganti mama.”

Beberapa minggu kemudian kau memintaku untuk menemanimu mengunjungi makam mama. Malam sebelumnya aku sudah memberimu izin untuk meminang tante Tary. Acara pinangan itu sukses besar, Pa, namun sayang kau tidak mengizinkanku untuk terlibat di dalamnya. Kau hanya memintaku untuk menggenggam tanganmu dan mengurangi ketegangan yang kau rasakan. Aku tertawa geli saat kau menjatuhkan cincin pinangan yang akan dipasangkan di jari manis tante Tary karena tanganmu terus gemetar. “Bukankah kau sudah pernah merasakannya dulu, Pa?” batinku geli.

Persiapan pernikahan itu sungguh menguras waktu dan tenagamu, Pa, dan kau jatuh sakit selama beberapa hari. Aku sangat mengkhawatirkan kondisi ginjalmu saat itu, namun lagi-lagi kau menenangkanku. Kau betul, Pa. Tubuhmu kembali sehat dan kau sibuk mengurus persiapan pernikahanmu kembali. Sungguh merupakan kenangan yang tidak akan kulupa saat kau dan tante Tary mencoba hasil rancangan baju pernikahan di sebuah butik dan lagi-lagi air mataku menetes. Aku melihat sosok mama di dalam diri tante Tary.

Hari yang dinantikan itupun tiba. Kau tampak begitu gagah dalam balutan busana adat Jawa. Wajahmu begitu cerah, namun aku tahu bahwa kau masih mengharapkan sosok mama yang berdiri di sampingmu, bukan tante Tary. Saat itu aku benar-benar siap seandainya Tuhan memanggilku, Pa. Aku siap seandainya aku harus meninggalkanmu saat itu juga. Kali ini aku siap, Pa…

Satu hal yang perlu kau tahu Pa. Wherever you are, your little girl loves you so much.

Your little girl, Mia…

+++

Dokter Allan melipat surat yang ada di tangannya perlahan-lahan. Dikembalikannya surat itu ke sebuah amplop berwarna merah dan diciumnya sepenuh hati. “Papa rindu sekali padamu, Nak,” katanya. Dia meletakkan surat itu di lemarinya kemudian terduduk di ruang prakteknya. Perlahan-lahan dirabanya bekas luka yang melintang di perutnya. Dokter Allan tersenyum.

“Meskipun kanker kelenjar getah bening itu telah merenggutmu dariku empat bulan yang lalu, namun kau masih hidup di tubuhku. Terimakasih untuk semua memori indah itu, Sayang. Terimakasih untuk harta yang begitu berharga ini. I will always love you.”

Senin, 26 Juli 2010

My Brother Brings Me Home

Cerpen ini dibuat untuk mengenang teman kami tercinta, Falentina Airin, yang meninggal akibat kanker otak yang dialaminya lima bulan yang lalu. Dia adalah teman sekaligus sahabat kami yang cerdas dan selalu ceria. Kami tidak pernah mengira penyakit itu akan merenggut nyawanya tepat beberapa minggu sebelum UM UGM 2010 dilaksanakan. Rest in peace, my best friend…
+++
Dear Luna “Love”
Bagaimana kondisi kesehatanmu? Kuharap aku bisa segera pulang setelah semua urusanku selesai…
Love you,
Arya
Arya mendesah dan memejamkan mata. Jadwal yang padat membuatnya sedikit kelelahan hari ini. Dia tidak berharap akan mendapat balasan dari email yang dikirimnya malam itu, namun sebuah email baru telah menghuni inboxnya.
Lovely Arya…
I miss you so much… Aku baik-baik saja… Selesaikan saja urusanmu dan selamatkan nyawaku…
Luna “Love”
Arya tersenyum. Ah, dia memang selalu ada untuk mendukungku, batinnya. Arya kembali membalas email dengan senyuman lebar.
“Love” Luna…
Terimakasih… Terimakasih karena kau selalu ada disaat aku membutuhkanmu. I love you…
Arya.
Arya mematikan notebook dan menyalakan lampu meja belajarnya. Diambilnya sebuah kamus tebal dan ditelusurinya kata-kata yang ada satu persatu. Tak lama kemudian mata itu terpaku pada sebuah kata. Diambilnya lagi sebuah buku lainnya yang tidak kalah tebal kemudian diletakkan buku itu disamping kamus yang telah dibukanya lebih dulu. Dalam hatinya dia berujar, “Aku pasti bisa!”
+++
“Outstanding!” kata Dr. Carter saat Arya menemuinya di ruangan pribadinya. Arya tersenyum puas. “Thanks, but I do need some informations from you about that case,” katanya. Dr. Carter tersenyum dan duduk di depan Arya. Dia siap membuka diskusi panjang bersama murid terbaiknya.
“Can I ask you something?” tanyanya sebelum diskusi dimulai. Arya mengangguk. “Sebenarnya siapa Luna? Kenapa kau begitu berambisi untuk menyelamatkannya?” tanya Dr. Carter. Arya tampak berpikir sejenak. “Is she your girl?”
“More than just a girl, Sir. She is my everything,” jawab Arya. Dr. Carter mengangguk-angguk. “Kalau begitu kamu harus menjadi neuro surgeon secepatnya. OK, what do we get for today?” tanyanya. Arya menyodorkan beberapa lembar kertas. Dr. Carter membacanya dengan serius dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Im sorry, it is untreatable,” kata Dr Carter sambil melepas kacamatanya. Arya mendesah. Dia sudah menduga jawabannya akan seperti itu. “There must be a way,” kata Arya lirih. Dr. Carter mendesah.
“Kamu sudah mendapatkan hasil terakhir MRI-test-nya?” tanya Dr. Carter. Arya mengangguk. “Sel jahanam itu sudah menyebar terlalu jauh,” jawab Arya sedih, namun masih terdengar optimis. Dr. Carter bangkit dan menepuk-nepuk punggung Arya. “Jangan menyebutnya dengan jahanam,” katanya. Arya menunduk. Jangan menyebutnya dengan jahanam katanya? Lalu nama apa yang akan kau berikan pada sebuah penyakit yang mengancam nyawa orang yang paling kau cintai?
“We will find the way to save her. I promise,” kata Dr. Carter menenangkan Arya. Tangannya menggenggam kedua pundak Arya. “I’m terribly sorry,” katanya lagi. Arya mengangguk. Tanpa dia sadari air matanya menetes.
+++
Dear Luna…
You have to be strong for your surgery… I miss you so much…
Arya.
Arya mendesah dan mengambil buku pemberian Dr. Carter di dalam tasnya. Menjadi seorang dokter bedah syaraf memang bukan hal yang mudah. Dia harus melalui pendidikan di fakultas kedokteran Universitas Gajah Mada selama enam tahun lamanya. Betapa beruntungnya dia saat terpilih untuk mengikuti ajang pertukaran pelajar dengan mahasiswa Harvard University dan menjadi the best student selama masa pertukaran tersebut. Dengan senang hati dia menerima tawaran untuk melanjutkan sudinya di universitas terbaik di Amerika itu.
Arya kembali mendesah untuk kedua kalinya saat membaca email balasan dari Luna. “Aku akan menunggumu, Sayang. Tetaplah berjuang.” Arya membaca email itu keras-keras. Ada sesuatu yang dirasa meletup di dalam tubuhnya. Semangat itu kembali muncul. Arya mengambil spidol berwarna merah dari laci mejanya dan kembali belajar.
“Hey, I heard someone speak Indonesia here,” kata Eric, teman satu asramanya yang baru saja masuk. Arya tersenyum dan menatap sahabatnya yang duduk di tempat tidurnya. “Belum tidur?” tanya Eric. Arya tersenyum dan menggeleng. Pikirannya kembali terfokus pada buku yang sedang dibacanya.
“Bisakah kau berhenti belajar sebentar saja?” tanya Eric sambil mengambil buku Arya yang ada di meja. Arya mendengus kesal. “I can’t,” jawabnya singkat sambil merebut kembali buku yang diambil oleh Eric. Eric tertawa geli. “Jangan sampai sel otakmu mengalami mutasi karena terlalu banyak menghafal pelajaran kedokteran,” katanya. Mau tidak mau Arya tertawa.
“I just wanna be the best student,” katanya. Eric tersenyum. “Everyday, each semester, every year,” lanjutnya. Arya hanya tersenyum. Dia selalu menerima hasil outstanding selama belajar di Harvard. Semua itu dia lakukan untuk Luna. Untuk menyembuhkan penyakit mematikan yang dialami olehnya.
“She is a strong girl, you know. Kebanyakan penderita oligodendroglioma tahap akhir tidak mampu survive,” katanya. Arya hanya mengangguk-angguk. Sulit menyembuhkan penyakit itu hanya dengan operasi, batinnya.
“Aku memiliki beberapa daftar lembaga yang mengurusi masalah kanker. Mungkin kau membutuhkannya,” kata Eric. Arya tersenyum. “Thanks, tapi Luna akan tetap tinggal dan menjalani pengobatan di Indonesia,” jawabnya. Eric menggelengkan kepala.
“You sure?” tanyanya tidak percaya. Arya mengangguk dan tersenyum. “Padahal kau sendiri pernah bilang kalau teknologi kedokteran di negaramu masih kalah jauh dengan Amerika. Kualitas dokter-dokternyapun tidak bisa bersaing dengan dokter-dokter lulusan Harvard. Bagaimana mungkin kau bisa menyerahkan Luna pada orang-orang yang tidak professional seperti itu?” tanya Eric heran.
“Aku kan dokter lulusan Harvard,” jawab Arya enteng. Eric langsung bangkit dari duduknya. “Kau tidak berencana mengobatinya sendiri kan?” tanyanya kaget. Arya terkekeh. “Aku sudah mengontak beberapa dokter ahli bedah onkologi di negaraku dan mereka siap membantu mem-follow-up Luna,” jawabnya.
“You must be kidding me!”
+++
Dear Luna…
Aku sedang mempelajari penyakit yang kau derita. Aku berdiskusi dengan temanku dan kami menemukan cara untuk mengakhiri penyakitmu. Besok aku akan bertemu dengan Dr. Carter dan berbicara dengannya mengenai masalah ini.
Your dearest Arya.
Beberapa lama kemudian sebuah email masuk.
Arya…
Terimakasih karena kau mau berjuang untukku. Melihat semangatmu yang begitu menggebu membuatku ingin hidup lebih lama lagi. I love you so much.
Luna
Tanpa terasa sebutir air mata jatuh dari mata elang Arya. Aku akan terus berusaha, Luna. Aku akan terus berjuang demi kesembuhanmu...
+++
“It might not work, Arya,” kata Dr Carter saat Arya mendiskusikan terapi yang rencananya akan digunakan untuk menyembuhkan Luna.
“It won’t work if we don’t try,” jawab Arya. Dr Carter mendengus kesal. “Now what, kau akan menjadikan Luna sebagai kelinci percobaanmu?” tanyanya. Arya langsung menunduk. “Don’t be so selfish. Kau harus berpikir ulang untuk menerapkan metode ini pada Luna.”
“Lalu apa lagi yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan nyawanya? Aku datang dengan berbagai solusi pengobatan namun kau selalu menolaknya mentah-mentah! She is very important for me, and I’ll do anything to save her life!” kata Arya sedikit kecewa. Dr. Carter tampak menghela nafas.
“So you have to think deeper,” kata Dr Carter menenangkan Arya. Arya terdiam. “Kau adalah mahasiswa spesialis semester akhir Harvard Medical School, and you are my best student. I know you know what you have to do. Namun kali ini kau harus mengurangi sedikit sifat keras kepalamu itu. She is untreatable. You know that. You better take her home and make her comfortable,” kata Dr Carter.
“But I can’t,” kata Arya. Dr Carter menghela nafasnya. “I lost my parents two years ago. Please, Doc. You have to understand me. She is my sister,” kata Arya sedikit putus asa. Dr Carter tampak kaget.
“Jadi Luna adikmu?”
Arya mengangguk.
“Dan dia satu-satunya anggota keluargamu yang masih hidup?”
Arya mengangguk lagi.
“You know, it will be worth it to try that methods. I’ll help you,” dukung Dr. Carter.
+++
Dear Luna…
I miss you so much… Aku akan pulang ke Indonesia bersama Dr Carter minggu ini.
Arya.
Arya menekan tombol send dan tersenyum puas. Beberapa lama kemudian sebuah email balasan masuk.
Lovely Arya…
Aku akan menjemputmu di airport!
Luna loves you.
Arya tersenyum simpul. Seandainya saja kau masih memiliki cukup tenaga untuk menungguku di ruang tunggu bandara seperti saat kau mengantarkan kepergianku ke Amerika beberapa tahun yang lalu, batin Arya. Dia segera mengetik email balasan dan mematikan laptopnya. Besok Dr Carter menunggu Arya di ruang pribadinya untuk berdiskusi. Dia harus datang lebih pagi jika tidak mau ada para interns yang meminta waktunya untuk mengajari mereka ini-itu.
Keesokan paginya…
“Dengan hasil MRI yang semakin membaik, aku optimis rencanamu akan berhasil,” kata Dr. Carter saat Arya melaporkan hasil pemeriksaan Luna. Arya tersenyum puas. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Arya memiliki dua ponsel. Ponsel yang pertama digunakannya untuk berkomunikasi dengan teman dan dosen-dosennya. Ponsel yang kedua digunakannya untuk berkomunikasi dengan Luna, adiknya. Ponsel pertamanya tidak mungkin diaktifkan saat dia berdiskusi dengan Dr Carter.
Luna? Ada apa?
“Sorry, Sir,” kata Arya sambil berjalan menuju sudut ruangan. Dia mengangkat telepon itu dan terdengarlah suara Luna di seberang. “Hello, Rascal!” sapa Luna riang. Arya tersenyum.
”Ada apa meneleponku?”
“Aku hanya merindukan kakakku. Ada yang salah?”
“Of course not. Hanya saja waktunya kurang tepat. Ah, Dr Carter pasti mau merelakan waktu diskusinya berkurang untukmu.”
“Kapan kau akan pulang ke Indonesia?”
“Dua hari lagi. Kau harus mempersiapkan dirimu untuk operasi.”
“Sure. Aku akan kirim email untukmu.”
“Okay. Bye, Sissy.”
+++
Dear Luna…
Besok aku pulang ke Indonesia bersama Dr Carter. Tidak sabar rasanya. Aku merindukan pelukan hangatmu itu.
Arya.
Seperti biasa balasan email itu datang begitu cepat.
Arya…
Aku juga merindukan aroma colognemu yang aneh itu… He he he… Aku menunggumu, Sayang…
Luna.
Arya tersenyum dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Dia menoleh dan menatap dua koper sedang yang berdiri di depan lemarinya. Tunggu aku, Luna. Kau akan segera sembuh, batinnya.
Keesokan paginya, Arya dan Dr Carter bertemu di bandara. Dr Carter menyambut Arya dengan senyuman lebar. “You are ready for the journey, Kid,” sapa Dr Carter saat melihat Arya memakai baju bermotof batik berwarna merah marun. Dia mengacak-acak rambut Arya. Arya hanya tertawa. Tak lama kemudian Arya dan Dr Carter telah berada di dalam pesawat yang siap membawa mereka ke Yogyakarta.
Perjalanan yang cukup panjang membuat Arya dan Dr Carter lelah. Namun beberapa saat setelah kaki mereka menginjak tanah Indonesia (untuk Dr Carter ini adalah pengalaman pertamanya), rasa lelah itu berubah menjadi rasa senang yang membuncah. Sebuah mobil APV silver bertuliskan ”RS. BETHESDA” berhenti di depan ruang tunggu. Seorang supir segera membawa Arya dan Dr Carter ke rumah sakit.
Di rumah sakit…
Arya tertegun saat mendapati tubuh Luna tergolek lemah di ranjang ICU. Kenapa kau terlihat begitu lemah, Luna? Batinnya. Dengan perlahan dirabanya dahi sang adik. Luna membuka matanya perlahan-lahan.
“Kakak?”
Luna mengucek matanya beberapa kali. Arya segera merengkuhnya dalam pelukan. “Benar ini kau?” tanya Luna seraya memeluk sang kakak lebih erat lagi.
“Aku datang, Sayang,” kata Arya. Luna menangis haru di pelukan sang kakak. Arya melepas pelukannya dan memandangi Luna yang tubuhnya semakin mengurus.
“Kau diet ketat ya?” tanya Arya. Luna tertawa geli dan mencubit lengan sang kakak. “Tubuhku terlihat menyedihkan ya,” katanya sambil menatap mata kakaknya. Arya tersenyum dan kembali merengkuh sang adik dalam pelukannya. “Kau harus sembuh kembali,” katanya. Luna hanya mengangguk-angguk.
“Lama sekali aku tidak merasakan pelukan ini,” kata Arya. Luna tersenyum geli dan mendongakkan kepalanya menatap sang kakak. “Kemana parfummu yang berbau aneh itu? Aku merasa sedang berada di kuburan jika mencium aromanya,” balas Luna. Mereka tertawa bersama.
Seorang dokter menepuk pundak Arya, memintanya untuk ikut.
“Silakan masuk,” kata dokter itu sambil membuka pintu. Arya masuk dan mendapati Dr Carter bersama dengan beberapa dokter lainnya duduk mengitari meja marmer putih berbentuk elips. Arya menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya.
“Ada sesuatu yang harus kami katakan pada Anda, dokter Arya,” kata seorang dokter berkepala botak. Tiba-tiba lampu di ruangan itu meredup, sejalan dengan sorotan sinar LCD pada layar yang semakin menyilaukan mata. “Itu adalah hasil terakhir MRI saudari Luna,” katanya lagi. Sekilas gambar tengkorak manusia itu tampak normal, namun mata Arya membelalak saat mendapati hampir seluruh otaknya tertutupi oleh bayangan putih.
“Sel kanker saudari Luna sudah menyebar ke seluruh otaknya. Operasi dan kemoterapi tidak bisa menolongnya,” kata satu-satunya dokter wanita yang ada di ruangan itu. Arya menatap hasil MRI itu tanpa berkedip.
“Ini bukan hasil tes terakhir Luna yang saya terima melalui email,” kata Arya tidak percaya. Semua dokter yang ada di ruangan terdiam, begitu pula dengan Dr Carter yang sejak tadi tidak mengerti pembicaraan para dokter itu.
“Kami mohon maaf. Pasien Luna sendiri yang meminta kami untuk mengirimkan hasil MRI palsu ke email anda,” kata seorang dokter berkacamata disusul anggukan dari rekan-rekannya. Mulut Arya kontan menganga.
“But why?” tanya Arya tidak percaya. Tanpa disadarinya sebutir air mata jatuh membasahi pipinya. “Pasien tidak ingin Anda khawatir dengan kondisinya yang semakin memburuk,” jawab dokter berkacamata itu lagi. Arya menghembuskan nafas panjang. “Doctor Carter, we will do the surgery tomorrow,” katanya. Tubuhnya bergetar menyadari peluang hidup sang adik sangat tipis.
Dr Carter menggeleng. “Its too risky, Dear. I’m afraid she will not awake anymore,” jawabnya. Arya menggeleng. “I will do the surgery tomorrow. Who else is with me?” tanyanya. Tidak ada satupun dokter yang mengangkat tangannya tanda setuju. Arya menggeram. ”Fine! I’ll do it my self!” katanya sambil bangkit dari tempat duduknya.
“You can’t do that, Kid. This is a big surgery. You can’t handle it alone,” kata Dr Carter berusaha menghalangi Arya yang hendak keluar ruangan.
“You are right. I can’t handle it alone. Tapi tidakkah hatimu tergerak untuk membantuku menyelamatkan adikku?” tanya Arya garang. Dr Carter tidak mengatakan apapun lagi. Arya tidak peduli dan segera menemui Luna di ruang rawatnya.
“Kenapa kau membohongiku?” tanya Arya saat mendapati Luna duduk di ranjangnya. Luna tersenyum manis. ”Mereka sudah memberitahumu?” tanyanya santai
“Untuk apa kau melakukan ini semua? Selama ini aku berjuang menjadi neuro surgeon terbaik agar aku dapat menyembuhkanmu!” kata Arya. Luna kembali tersenyum. “Kau telah menjadi dokter spesialis bedah syaraf terbaik, Kak,” katanya.
“Tapi semua ini kulakukan hanya untukmu! Untuk menyembuhkanmu!” kata Arya gusar. Matanya mulai basah.
“Penyakitku ini tidak dapat disembuhkan.”
“Siapa yang memberitahumu hal bodoh seperti itu?” tanya Arya gusar. Dia tidak dapat menutupi kegelisahannya. Sejujurnya dia mulai ragu dengan ambisinya menyembuhkan Luna. Apakah Luna benar-benar akan sembuh atau ini hanya akan membuatnya meninggalkanku lebih cepat? Batinnya.
“Why are you so stupid?!” bentak Luna. Matanya menatap Arya dengan garang. “Mahasiswi kedokteran semester dua seperti akupun tahu kalau kanker ini tidak dapat disembuhkan!”
“Jangan membuang tenagamu. Kau akan dioperasi besok,” potong Arya sambil meninggalkan ruangan. Matanya basah. Nafasnya memburu. Kau akan sembuh, Luna. Harus! Batinnya.
+++
“Silakan Dok,” kata seorang suster yang baru saja memakaikannya baju operasi. Arya mengangguk dan berdiri di samping meja operasi. Diamatinya wajah Luna yang tengah tertidur. Kakak akan mengoperasimu sekarang. Bertahanlah, batinnya. Dia berjalan menuju bagian kepala sang adik dan bersiap-siap melakukan craniotomy.
“Skalpel,” katanya. Seorang suster menyerahkan sebilah pisau pada Arya. Dengan mantap dia mulai menggores kulit kepala sang adik. Operasi berjalan lancar sampai Arya menemukan gumpalan daging yang menempel di otak Luna. Dengan sekali potong, gumpalan itu telah berpindah dari otak Luna ke sebuah tempat berwarna keperakan yang dibawa oleh suster. Tiba-tiba terjadi pendarahan.
“Bring me the sucker,” kata Arya. Dia menyedot darah sang adik dengan sebuah alat. Arya juga meminta suster menyediakan darah untuk Luna. Dua jam lamanya dia berkutat dengan pendarahan yang semakin meluas. Saat itulah Dr Carter masuk dan berdiri di sampingnya.
“She needs more blood,” kata Arya saat mendapati Dr Carter berdiri di sampingnya. Dr Carter tampak mengamati sejenak kemudian menggeleng. Dia menoleh ke arah dokter yang mengawasi monitor otak. Dokter itu juga menggeleng. Dr Carter mengerti apa yang telah terjadi.
“Arya, She is gone,” kata Dr Carter sambil memegang pundak Arya. Arya menggeleng dan terus menghisap darah di otak Luna dengan alat penghisap. “She just needs more blood. Give her more blood!” kata Arya. Seorang suster hendak menambah darah Luna namun batal saat Dr Carter menatapnya dan menggeleng.
“She is gone, Arya,” kata Dr Carter lagi. Arya tidak peduli. Dia memegang alat penghisap lebih erat saat Dr Carter hendak mengambilnya.
“Arya, look at me.”
Arya tidak peduli.
“Look at me!” kata Dr Carter sedikit membentak.
”I can’t! I have to keep focus!” jawab Arya tidak kalah membentak.
“Arya, it’s over. Don’t fight anymore. She is gone,” kata Dr Carter lembut. Arya menggeleng berkali-kali. “Give her more blood,” katanya.
“No more blood, Arya. Let her go.”
Arya berontak.
“She just needs more blood. Give her more blood. Give her more!”
Arya terduduk lemas di lantai ruang operasi.
+++

Minggu, 25 Juli 2010

Mentari di Kaki Merapi

tKaki gunung merapi. Tidak pernah terbayangkan tempat ini akan menjadi tempat praktekku yang pertama setelah lulus dari fakultas kedokteran sebuah universitas ternama di Jakarta. Tanpa kusangka, sebuah desa bernama Ringinanom dengan jumlah penduduk tidak lebih dari seratus orang itu mampu memikat hatiku saat pertama kali aku datang.
“Eh, pak dokter sudah datang. Monggo, mari silakan,” kata bu Lurah yang menyambutku di rumahnya. Jauhnya perjalanan yang harus kutempuh dan nyamannya udara desa yang bersih dari polusi membuatku tidak sabar untuk beristirahat.
“Silakan beristirahat dulu, pak dokter. Maaf, tempatnya ndak seperti rumah pak dokter di kota,” kata bu Lurah lagi. Aku tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa, Bu,” kataku sambil menenteng tasku. Setelah mengucapkan terimakasih, aku segera merebahkan tubuhku di sebuah kamar kecil di samping kamar pak Lurah. Mataku hampir saja terpejam saat sebuah ketukan halus terdengar di pintu.
“Ini kopi dan singkong rebus, pak dokter. Bisa untuk menghilangkan capek,” kata bu Lurah sambil membawakan nampan berwarna merah berisi segelas kopi dan sepiring singkong rebus yang masih mengepul. Aku memutuskan untuk makan bersama bu Lurah di ruang makan.
“Oh, jadi pak dokter ini anak tunggal to,” kata bu Lurah sambil mencocol singkong rebusnya dengan garam. Aku mengangguk. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari luar. “Mboook. Ini sayur kangkungnya sudah dipetik,” kata seorang gadis yang langsung berdiri di samping bu Lurah. Dia tersenyum kikuk ke arahku setelah menyadari simboknya sedang bersama seseorang.
“Kenalkan, Nduk. Ini dokter Yongki. Dia akan bertugas disini selama beberapa bulan,” kata bu Lurah sambil memperkenalkanku pada puterinya. Aku langsung menjulurkan tanganku. “Yongki,” kataku singkat. Gadis itu tersenyum manis. “Mentari,” jawabnya.
Itulah yang membuatku terpikat untuk pertama kalinya.
+++
Keesokan paginya, Mentari mengajakku untuk berkeliling desa dengan menaiki sepeda. Aku harus memahami lingkungan desa ini karena sore nanti aku sudah mulai praktek. Dengan sabar Mentari menjelaskan desanya padaku. Dia hafal dengan semua warga yang hidup di desanya. Hm… puteri lurah yang baik, batinku.
Matahari mulai bersinar terik saat Mentari mengajakku ke kebun mentimun miliknya. Dia memetikkan sebuah timun berukuran besar dan memotongnya menjadi dua bagian. “Silakan dimakan,” katanya padaku yang sudah mulai mengibas-ngibaskan tangan karena kepanasan. Aku tersenyum dan mencari-cari air untuk mencuci mentimunku.
“Sini biar saya bersihkan,” kata Mentari sambil mengambil mentimun itu dari tanganku. Dia mengelap mentimunku dengan selendang yang ada di pinggangnya. “Nih,” katanya sambil menyerahkan mentimun itu. Aku menerimanya dengan kikuk.
“Tenang saja. Dokter ndak akan sakit perut gara-gara makan mentimun yang belum dicuci,” kata Mentari geli saat melihat keragu-raguanku. Aku segera menggigit mentimun itu. Dapat kurasakan kesegaran mengalir di kerongkonganku. Hm, lumayan, batinku sambil menggigit mentimun itu sekali lagi. Tiba-tiba Mentari tertawa. “Dokter ndak pernah makan timun sebelumnya ya?” tanyanya heran.
“Eh… em… Pernah kok,” kataku kikuk sambil menatap Mentari yang sedang tersenyum manis. Dia kembali tertawa. “Tapi belum pernah kan, makan timun di tengah sawah begini?” tanyanya lagi. Aku tersenyum malu dan menggeleng. Mentari kembali tertawa lepas.
Itulah yang membuatku terpikat untuk kedua kalinya.
+++
Sore harinya, Mentari mengantarku ke sebuah klinik yang akan menjadi tempatku praktek. Rupanya beberapa orang manula dan dua orang balita telah menunggu kedatanganku. Aku bergegas masuk ke ruang praktek sedangkan Mentari mendaftar pasien satu persatu.
“Bapak Slamet,” panggil Mentari. Seorang manula masuk. Aku segera menyilakannya duduk di kursi dan menanyakan keluhannya. Tak lama kemudian aku selesai memeriksa pasien pertamaku. Klinik kecil ini tidak memiliki ranjang periksa sehingga aku terpaksa memeriksa pasienku dengan posisi duduk. Klinik mulai ramai setelah seorang ibu bersama balita masuk ke ruang periksa. Balita berusia empat tahun itu menangis meraung-raung saat aku meminta ibunya menidurkannya di pangkuan. Untunglah Mentari datang dan membantuku menenangkan pasien kecil itu. Pasien ketigaku adalah seorang manula yang hanya mampu berbicara dalam bahasa Jawa. Aku yang tidak mengerti bahasa Jawa meminta bantuan Mentari untuk menerjemahkannya. Selanjutnya, beberapa orang manula dan balita selesai kuperiksa.
Sore berganti petang saat aku mengunci pintu klinik. Aku dan mentari berjalan beriringan menuju rumah. “Kamu capek ya, Mentari?” tanyaku saat melihat wajah kusut Mentari. Dia menggeleng. “Ndak apa-apa kok, Mas Yongki,” jawabnya sambil tersenyum. Aku yang memintanya untuk memanggilku “mas” setelah acara makan memakan timun tadi siang.
“Terimakasih ya, kamu sudah membantu saya di klinik sore ini,” kataku. Mentari tersenyum. “Itu tugas saya, Mas. Saya memang harus menemani mas Yongki selama bertugas disini,” kata Mentari. Jalan yang mulai gelap memaksaku lebih berhati-hati. Sesekali aku terperosok lubang di tengah jalan atau kakiku tertusuk duri-duri tanaman liar. Tanganku sibuk menggaruk-garuk leher dan telingaku yang menjadi sasaran empuk nyamuk malam itu. Tiba-tiba tangan Mentari meraih tanganku.
“Sini Mas, biar saya bantu,” katanya sambil menggandeng tanganku.
Itulah yang membuatku terpikat untuk ketiga kalinya.
+++
Keesokan harinya aku mulai praktek full time di klinik. Meskipun pasienku tidak terlalu banyak, namun aku sedikit kelelahan karena harus menjelaskan berbagai macam hal pada pasien yang tampaknya masih kurang mengerti dengan penyakit yang mereka derita.
“Pasien yang keenam belas, Mas. Sudah siap?” tanya Mentari sambil menatapku yang berkali-kali mendesah panjang. Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba Mentari keluar dari ruangan dan berbicara sejenak dengan para pasien yang sedang antri. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Mohon maaf, praktek dokter akan dilanjutkan nanti pukul dua siang. Mohon maaf sekali. Terimakasih, Pak, Bu,” katanya dengan logat jawa yang khas. Mentari kembali ke ruang praktek dan duduk di depanku.
“Mas Yongki capek ya?” tanyanya. Aku menggeleng dan tersenyum. “Nggak capek, tapi lelah,” jawabku sambil menelungkupkan kepalaku di meja. Mentari berteriak, “Uuu.” Dan melempar tutup pulpen ke kepalaku. Aku tertawa geli.
“Iya, saya capek,” kataku sambil mengangkat kepalaku dari meja dan menatap wajah Mentari. Mentari melakukan hal yang sama. Dia menyandarkan kepalanya di meja. Kami saling berpandangan. Ah, Mentari… entah apa jadinya jika kau tidak membantuku disini, batinku. Tiba-tiba Mentari bangkit.
“Mas Yongki genit ah,” kata Mentari sambil menutup mukanya. Dahiku berkerut heran. “Jangan melihat saya seperti itu to Mas. Ndak ilok. Tidak baik,” katanya. Aku tersenyum geli dan mengangguk-angguk tanda setuju. Polos sekali kau, Mentari!
Keesokan paginya…
Tidak seperti biasanya, Mentari tidak membangunkanku pagi ini. Bu Lurah dan pak Lurah juga tidak ada di rumah. Tiba-tiba seorang pria mengetuk pintu dengan keras. Segera kubuka pintu dan kudapati Mentari sedang berada dalam gendongannya. Pak Lurah, bu Lurah, dan beberapa warga mengikuti di belakangnya.
“Mentari?!”
Aku berteriak kaget. Mentari membuka matanya sekilas dan menatapku. “Segera baringkan di kamar. Biar saya periksa,” kataku sedikit panik. Mentari telah berada di ranjang sekarang. Aku hendak memeriksanya denyut nadinya saat tiba-tiba tangan Mentari menyentuh tanganku.
“Saya ndak mau diperiksa, Mas,” kata Mentari lemah. Aku duduk di sebelahnya, meraba denyut nadinya, dan mencocokkannya dengan jam tangan yang kupakai. Normal kok, batinku sambil menggenggam tangan Mentari. “Ada apa, Mentari?” tanyaku sambil meraba dahinya. Panas!
“Saya ndak apa-apa, Mas. Beneran deh, suer,” katanya polos. Aku tersenyum geli dan meminta Mentari meletakkan termometer di ketiaknya. Suhu badan Mentari yang tinggi membuatnya tidak bisa membantuku di klinik.
Bertugas tanpa Mentari adalah hal paling repot yang harus kuhadapi saat ini. Ada dua puluh pasien yang harus kutangani dan tidak ada satupun dari mereka yang mau mengantre. Saat itulah tiba-tiba Mentari muncul. Dia langsung membantuku mengatur antrean pasien.
“Kamu sudah baikan?” tanyaku saat aku selesai memeriksa pasien terakhirku. Mentari mengangguk dan duduk di hadapanku. Tanganku terjulur meraba dahi Mentari. Hm, demamnya sudah turun, batinku.
“Terimakasih ya, Mas. Obatnya manjur. Mas Yongki pinter deh,” puji Mentari. Ada binar ketulusan di matanya saat itu. Aku tersenyum dan segera mengajaknya pulang.
Itulah yang membuatku terpikat untuk keempat kalinya.
+++
Suhu badan Mentari kembali naik saat kami sampai di rumah. Aku segera meminta Mentari untuk beristirahat. Malam harinya aku mengantarkan semangkuk bubur, segelas air, dan beberapa butir obat ke kamar Mentari.
“Loh… Mas Yongki ndak usah repot-repot,” kata Mentari sambil membukakan pintu untukku. Aku menggeleng dan meletakkan nampan yang kubawa di meja. “Saya suapin ya,” tawarku. Mentari tersenyum malu dan mengangguk. Saat itu entah mengapa aku ikut tersipu malu melihatnya.
“Besok kamu istirahat saja di rumah. Tidak usah ikut saya praktek,” kataku sambil menyuapkan bubur ke mulut Mentari. Mentari kontan menggeleng. “Kalau Mentari ndak bantuin Mas, nanti Mas repot,” katanya sambil memandangku penuh perhatian.
“I can handle it. Trust me,” kataku yakin. Mentari terdiam dan menatap kedua mataku. “Mas yakin?” tanyanya. Aku mengangguk dan memasukkan satu suapan ke mulut Mentari.
“Kita ukur suhu badan kamu ya,” kataku sambil menyerahkan termometer yang kukibas-kibaskan terlebih dahulu. Mentari menurut dan meletakkan termometer itu di ketiaknya. Aku mengamati Mentari sejenak. Tubuhnya lemas, suhu badannya tinggi, dan lidahnya sedikit kotor.
Jangan-jangan…
Malam semakin larut saat aku mendengar rintihan dari kamar Mentari. Pintuku diketuk seseorang. Pak Lurah.”Nak Yongki bisa bantu saya? Suhu badan Mentari tinggi sekali,” kata pak Lurah. Aku mengangguk dan menyambar stetoskopku yang ada di meja.
“Mentari,” panggilku sambil menggenggam tangannya. Mentari hanya merintih. Matanya terpejam. “Mas… Mentari ndak apa-apa kok,” jawabnya lirih. Aku mendesah dan memakai stetoskopku. Tidak kupedulikan penolakan-penolakan Mentari saat aku memeriksanya.
“Pak, apakah ada rumah sakit di sekitar sini?” tanyaku saat selesai memeriksa Mentari. Pak Lurah mengangguk. “Saya curiga Mentari terkena demam berdarah. Kita harus ke rumah sakit sekarang juga,” kataku. Pak Lurah dan bu Lurah mengangguk. Aku segera mengangkat tubuh Mentari ke mobilku.
Satu jam kemudian Mentari tengah ditangani di UGD. Benar dugaanku. Mentari terkena demam berdarah. Trombositnya hanya separuh dari jumlah normal. Pada saat itu juga timbullah rasa sayangku padanya. Rasa sayang yang belum pernah timbul sebelumnya. Rasa sayang sejati seorang pria kepada wanita yang dicintainya…
+++
Lagu Dear God milik Avenged mengalun dari ponselku. Aku yang masih terjaga malam itu segera mengangkat telepon yang masuk. “Dokter Yongki, ada pasien yang urgent melahirkan dan butuh operasi. Anda satu-satunya dokter bedah yang dapat kami hubungi,” kata seorang suster di seberang telepon.
Aku mengangguk. Kupandangi Mentari yang masih terlelap. “Terimakasih untuk kenangan-kenangan indah itu, Mentari,“ kataku sambil mengecup keningnya.
Pandanganku beralih ke seorang bayi laki-laki berusia enam bulan yang tertidur lelap di samping Mentari. Dia adalah Delvon Adirangga, buah cinta kami. Aku tersenyum dan membelai pipinya yang montok. Ayah dan bunda akan selalu menyayangimu, Nak.

Pengorbanan Terakhir

Bruuukkk…
Kraaakkk…
“Kakaaaaaak!!!”
Aku terbangun dari tidur malamku. Segera kuraba kening dan leherku. Keringatku mengucur deras, sederas ingatanku tentang kak Reza, kakakku. Sesaat aku terdiam, namun beberapa detik kemudian air mataku menetes.
“Kak Reza…”
Aku mengerang lirih. Entah mengapa hati ini rasanya sakit sekali setiap kali mengenang kejadian itu. Tuhan… mengapa kecelakaan itu harus terjadi. Kecelakaan yang membuatku harus berpisah dengan kak Reza. Kecelakaan yang membuatku kehilangan dia untuk selama-lamanya…

+++

Pagi ini aku bangun dengan semangat. Tidak seperti biasanya, aku menyentuh air dingin di bak mandi tanpa rasa enggan. Hari ini aku dan keluargaku akan berekreasi bersama ke Dieng, sebuah daerah yang terletak di Jawa Tengah yang terkenal sebagai penghasil keripik jamur kesukaanku. Meskipun membutuhkan waktu sekitar lima jam perjalanan, namun pemandangan yang tersaji di sepanjang perjalanan cukup menghilangkan rasa lelah. Begitu kata kak Reza.
“Dari mana aja sih? Kakak tunggu dari tadi,” kata kak Reza sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. Aku mendengus kecil, meletakkan tas yang kubawa, dan masuk kembali ke rumah. Terdengar suara tawa kak Reza.
“Hey hey hey… Gitu aja marah. Kakak bercanda tau,” kata kak Reza sambil memelukku dari belakang. Hal yang sering dia lakukan untuk membujukku saat aku merajuk. Aku menggeleng jengah dan berbalik.
“Nyebelin!” kataku singkat dan bersiap untuk berlari ke kamarku. Namun sebelum niatku terlaksana, kak Reza memegang tanganku dan menuntunku kembali ke mobil. “Jadi orang jangan cepat marah. Ntar cepat tua loh,” kata kak Reza. Aku terkikik geli.
“Mana papa dan mama, Kak?” tanyaku saat kami telah berada di mobil. Kak Reza menggedikkan bahunya dan menekan klakson mobil. Tak lama kemudian papa datang tergopoh-gopoh.
“Mendadak mama sakit perut. Perjalanannya kita tunda saja ya,” kata papa. Aku mendengus kesal dan cepat-cepat keluar dari mobil. Tidak kuhiraukan panggilan kak Reza yang mengikutiku dari belakang.
“Mit… Mita…” Kak Reza terus mengikutiku samai ke kamar. Kututup pintu kamarku dengan kasar dan membaringkan tubuhku di kasur. Moodku berubah 180 derajat pagi itu.
“Lagi ngapain Dek?” sapa kak Reza disusul dengan bunyi deritan pintu. Aku memalingkan wajahku dan mendengus sekali lagi. Kurasakan kak Reza duduk di tepi tempat tidurku dan tertawa kecil.
“Manja banget sih kamu,” kata kak Reza singkat, namun cukup membuatku tertarik untuk mencubitinya berkali-kali. Kak Reza tertawa, menjerit, kemudian tertawa lagi sambil berusaha menghalau tanganku.
“Mama udah baikan tuh. Kita berangkat sekarang,” kata kak Reza. Aku nyengir ke arah kak Reza dan menggamit tangannya. “Ayo kita berangkat!” kataku semangat. Kak Reza menyentil hidungku dan kami kembali ke mobil bersama-sama.
Sesampainya di halaman depan, mama menyambut kami. Wajah beliau pucat dan kedua tangannya terus saja memegangi perut. “Maaf, Sayang. Mama tidak bisa ikut hari ini,” kata mama. Aku kecewa berat. Hampir saja aku kembali ke kamarku seandainya kak Reza tidak menahanku.
“Biar mama istirahat saja dirumah. Lagipula kita masih bisa having fun kan, meskipun mama tidak ikut?” kata papa sambil mengelus punggungku. Aku menatap mama, meminta persetujuan.
“Papa benar. Biar mama istirahat saja dirumah,” kata mama. Demi melihat wajah mama yang tampak pucat, akhirnya aku mengangguk. Kak Reza melingkarkan tangannya di bahuku dan berkata, “Ayo kita berangkat!”
Aku tersenyum dan mencium kening mama, kemudian masuk mobil. Kak Rendra ganti mencium kening dan tangan mama dan berkata, “Reza pergi dulu Ma.”

+++

Sebuah truk berukuran besar berhenti di pinggir jalan. Sopir yang mengendarainya membuka pintu dengan kasar dan mengumpat-umpat pada dua teman seprofesinya. Dengan panik dia memeriksa bagian belakang mobil. Ada cairan berwarna hitam kental yang menetes dari sana. Oli.
“Menurut kau, berapa panjang tetesan oli ini sampai ke tempat kita berangkat tadi?” tanya si sopir dengan logat bicaranya yang khas. Seorang temannya meletakkan salah satu tangannya di dahi untuk mengurangi silaunya matahari dan menatap ke kejauhan.
“Menurut awak, perjalanan kita ini sudah lima ratus meter jauhnya. Jadi, mungkin saja oli ini sudah menetes sepanjang itu,” kata orang itu. Si sopir menepuk dahinya dan dengan geram dia membentak, “Bah! Lima ratus meter kau bilang? Alamak, ini berbahaya sekali. Cepat kau telepon polisi!”.

+++

“Masih jauh, Kak?” tanyaku bosan. Kak Reza dan papa yang duduk di depan tertawa geli. “Ini belum setengah perjalanan,” kata kak Reza. Aku mendesah panjang dan kembali menatap keluar.
“Kenapa? Kamu bosan ya?” tanya papa. Aku hanya mengangguk tanpa melepaskan pandanganku dari jendela. Sepertinya pemandangan diluar mulai indah, batinku sambil menurunkan kaca mobil. Kak Rendra ikut-ikutan. Dia mematikan AC dan membuka semua jendela mobil lebar-lebar. Angin sejuk mulai terasa.
“Coba kamu lihat ke sisi kanan jalan. Ada pemandangan bagus disana,” kata kak Reza. Aku menurut dan melemparkan pandanganku. Tepat di sisi kananku, berhektar-hektar sawah yang hijau terhampar dengan indahnya. Aku tersenyum lebar dan cepat-cepat melepas kaca mataku. Kata dokter, minus mataku bisa dikurangi dengan melihat pemandangan seperti ini.
“Bagus kan?” tanya kak Reza sambil tetap fokus mengemudi. Aku mengangguk dan mulai mengabadikannya lewat kamera ponsel.

+++

“Sudah kau telepon polisi hah?!” tanya si sopir truk dengan panik. Temannya mengangguk berkali-kali. “Polisi sedang menuju kemari,” jawabnya. Sopir itu kembali mengangguk dan mulai berjalan mondar-mandir, hal yang sering dilakukannya ketika sedang menghadapi masalah penting.
“Sekarang apa yang dapat kita lakukan? Bah! Kalau saja kau mengeceknya dengan benar, tentu saja tidak akan menetes sepanjang ini,” katanya. Si sopir terus menggerutu sampai beberapa polisi datang dari arah yang berlawanan.
“Selamat siang. Ada yang bisa…”
Polisi itu terdiam saat melihat tumpahan oli yang begitu banyak. Dengan sigap dia mengambil handie talkie dan menghubungi rekan-rekannya sedangkan sopir truk itu hanya dapat berkata, “Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Ada jurang di sebelah kanan jalan. Jika ada kendaraan yang tergelincir, mau tak mau juranglah yang mereka hadapi.”

+++

Aku masih sibuk memandangi pemandangan di luar jendela. Bibirku berkali-kali bergumam kagum saat melihat hutan ataupun sawah yang sambung menyambung dengan teratur dan sangat indah. Udarapun mulai terasa lebih dingin, membuatku mengambil jaket kak Reza yang ada di sebelahku. Kak Reza hendak menutup jendelaku, namun kularang. Biarlah aku menghirup udara segar ini setelah dijejali oleh udara kota yang penuh polusi.
“Kak…”
Aku memanggil kak Reza dan memeluknya dari belakang. Kak Reza melepaskan salah satu tangannya dari kemudi dan mengelus kepalaku yang berada di pundak kirinya. “Makasih ya, Kak. Pemandangannya bagus banget,” kataku. Kak Reza mengangguk dan mencium pipiku. Iseng, kucubit pipinya keras-keras. Kak Reza mengaduh sedangkan aku dan papa tertawa geli.
Kuarahkan kembali pandanganku pada pemandangan di luar. Ttiba-tiba aku terpaku pada noda panjang berwarna hitam di jalan yang tengah dilewati oleh kami.
“Kak Reza, hati-hati. Ada oli di sebelah kanan jalan,” kataku. Kak Reza memelankan laju mobil dan memandang ke kanan jalan. Hasilnya nihil. Tidak ada oli di jalan barang setetespun.
“Mana olinya?” tanya papa yang juga ikut-ikutan memandang sisi kanan jalan. Telunjukku mengarah. “Itu Pa, yang di tengah jalan itu! Olinya banyak sekali Pa!” kataku panik. Kak Reza segera menghentikan mobil dan mengajakku turun.
“Mana olinya? Nggak ada kan?” kata kak Reza meyakinkan. Aku terdiam. Aneh… bukankah tadi ada banyak tetesan oli di jalan ini? Batinku bingung. Kak Reza memintaku kembali masuk mobil dan melanjutkan perjalanan.
Dan tetesan oli yang ada di jalan itu kembali muncul!

+++

“Lapor, Pak. Kami telah mencoba mengurangi tetesan oli itu, namun hasilnya nihil,” kata seorang anak buah Letnan Haryo, polisi yang menangani kasus ini. Polisi itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dan mendesah panjang. Segera diinstruksikannya anak buahnya untuk menjalankan strategi kedua.
“Segera tutup semua jalan yang menuju kemari. Cari jalur alternatif! Lakukan pengamanan!” perintahnya. Semua anak buahnya mengangguk dan segera kembali ke lokasi. Sopir truk dengan panik mendekati polisi dan bertanya, “Bagaimana Pak polisi?”
“Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan selain menutup akses melewati jalan ini,” kata Letnan Haryo. Sopir truk itu mengangguk dengan cemas seraya berdoa agar Tuhan tidak menyiapkan skenario lain. Agar Tuhan menyelamatkan semua atas kuasaNya.
Namun semua terlambat. Sebuah mobil APV silver berjalan tidak terkendali saat menuruni jalan yang curam…

+++

“Ada apa ini, Reza?!”
Papa yang panik berteriak keras, apalagi saat mobil menghantam sisi kiri jalan. Kak Reza menggeleng-gelengkan kepala dan berusaha menginjak rem. “Reza tidak tahu, Pa. Mobilnya tidak bisa dikendalikan!”
Aku yang juga berada di mobil APV silver itu hanya dapat menatap sisi kanan jalan dengan ngeri. Tetesan oli itu tampaknya semakin banyak saja. Aku memegang handle di pintu dengan erat.
“Reza! Ada oli di sebelah kanan jalan!”
Benar apa yang kulihat! Batinku. Oli! Itu oli yang tumpah! Aku tidak dapat berpikir lagi ketika mobil kembali menghantam sisi kiri jalan. Teriakan histeris keluar dari mulutku.
Tak lama kemudian sebuah tikungan tajam mulai tampak. Hanya ada sebuah pohon besar yang berdiri kokoh disana. Jantungku semakin berpacu kencang, sekencang mobil yang melaju tanpa sanggup ditahan. “Kak Reza… bagaimana ini?” tanyaku panik. Terdengar suara desahan kak Reza.
“Pohon itu akan menyelamatkan kalian,” kata kak Reza. Papa yang berpegangan kuat-kuat pada handle mobil langung menyahut, “Apa yang akan kamu lakukan?”
“Reza akan menghentikan laju mobil ini dengan menabrakkannya pada pohon itu. Dan kalian akan selamat,” kata kak Reza. Aku menggelengkan kepalaku keras-keras.
“Bukan kalian, tapi KITA!” kataku keras.
“Kakak akan berusaha menabrakkan mobil ini tepat di pintu kanan belakang. Tabrakannya akan cukup keras, tetapi pintu belakang tidak akan terbuka. Kamu akan selamat, Dek,” kata kak Reza.
“Tidak, Reza. Jangan tabrakkan mobil ini. Pasti ada jalan lain,” kata papa. Kak Reza menggeleng. “Sudah tidak mungkin lagi, Pa. Ini satu-satunya jalan,” katanya pesimis.
“Nggak, Kak!” sahutku. Mendadak suara kak Reza menjadi parau. “Lebih baik kakak yang berkorban untuk kalian,” katanya.
“Apa? Jadi Kakak…”
“Mita! Lebih baik mengorbankan satu nyawa daripada dua ataupun tiga!” sambar kak Reza. Suaranya makin bergetar saat mobil semakin mendekati tikungan tajam itu.
Dan kak Reza benar-benar melakukannya…

+++

“Yang sabar ya, Sayang.”
Mama mengelus punggungku sesaat setelah aku turun dari mobil, seakan berusaha untuk memberikanku kekuatan. Aku menatap nanar. Sebuah pemandangan yang sangat menyayat hati terhampar di depan mata. Bukan lagi pemandangan indah itu. Bukan lagi sawah atau hutan yang berjajar dengan manis. Tetapi sebuah makam. Makam yang tanahnya masih memerah basah. Makam yang baru berumur tiga hari, namun telah kukunjungi berkali-kali…

Reza Wisnu Wardhana
Lahir: 18 Februari 1988
Wafat: 30 September 2009

Makam kak Reza…
Masih hangat di benakku saat kak Reza membujukku yang sedang merajuk. Masih kuingat saat kak Reza mencium kening mama dan mengucapkan salam perpisahan. Masih jelas terasa pelukanku pada pundak kak Reza saat berada di mobil, dan pelukan itu menjadi yang terkahir untukku!
Aku tahu, aku tidak dapat menyalahkan takdir dan keputusan yang Tuhan tetapkan. Namun jika boleh meminta, Tuhan, izinkanlah kak Reza mendapat tempat yang layak disisimu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang. Hapuslah semua dosanya, sebagai balasan dari pengorbanannya. Muliakanlah dia. Karena aku tahu, Tuhan, Engkaulah sang Maha Kuasa.

+++

Love all brothers in the world!
lihat cerpenku di cerpen.net

Sabtu, 24 Juli 2010

Briliana

Memiliki tiga orang kakak laki-laki memang tampak menyenangkan. Apalagi kalau dua diantara mereka kembar identik. Namun tidak untuk Brilianna, seorang siswi sekolah menengah atas di Yogyakarta. Ketiga kakaknya yang jenius, Leo, Rio, dan Yongki menuntutnya untuk menjadi jenius pula. Apalagi empat tahun yang lalu Si Kembar Leo dan Rio kompak masuk fakultas kedokteran universitas Gajah Mada Yogyakarta melalui jalur prestasi. Yongki juga berhasil mencetak prestasi yang membanggakan. Dia berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada dan sempat dikirim untuk belajar di Yale University. Sekarang dia telah resmi menjadi dokter spesialis penyakit dalam.
Kedua orang tua Brilianna juga menuntutnya untuk mengikuti jejak sang kakak. Brilianna harus menjadi generasi penerus Leo, Rio, dan Yongki. Padahal, Lian-nama panggilan Brilianna-sama sekali tidak berminat masuk ke fakultas kedokteran, apalagi menjadi dokter. Dia ingin menjadi seorang sarjana ilmu komputer karena selama ini blognya dianggap lebih oleh para guru di sekolahnya, baik dari segi penampilan maupun kualitas isinya.
Karena keingintahuannya yang cukup besar akan dunia komputer, Lian mencoba mendekati Angga, kakak dari sahabatnya sendiri yang berkuliah di fakultas ilmu komputer. Usaha Lian membuahkan hasil. Angga mau mengajari Lian membuat sketsa dengan menggunakan beberapa program, kemudian Lian sendiri yang membuat webnya. Lama kelamaan Angga dan Lian menjadi akrab.
Beberapa waktu kemudian, seorang guru mata pelajaran memberikan sebuah tugas kepada Lian. Beliau mendaftarkan Lian menjadi salah satu peserta olimpiade kedokteran. Beliau juga telah mempersiapkan seorang alumni yang berkuliah di fakultas kedokteran untuk membimbing Lian. Pembinaan yang terus menerus untuk menghadapi olimpiade kedokteran membuat persiapan lomba desain yang akan diikuti oleh Gilang dan Lian menjadi sedikit terbengkalai. Akhirnya, Anggapun turun tangan.
Masalah mulai muncul ketika pada suatu hari Angga datang ke rumah Lian dan bertemu dengan Rio. Rio tidak suka sang adik dekat dengan Angga. Oleh karena itu, dengan dukungan penuh dari saudara kembarnya, Rio melarang Lian bertemu kembali dengan Angga. Protes Lian sama sekali tidak ditanggapi. Akhirnya Lian sempat mogok pembinaan olimpiade kedokteran selama beberapa minggu dan mendapat surat teguran langsung dari kepala sekolah!
Hasil ujian kenaikan kelas membuat papa dan mama Lian marah. Ada nilai enam yang bertengger manis pada pelajaran Biologi dan Matematika. Pelajaran yang menurut Leo dan Rio
adalah dasar dari pelajaran di fakultas kedokteran. Nilai itu juga yang membuat posisi Lian di kelas akselerasi terancam. Papa dan mama segera menjadualkan bimbingan les privat selama liburan kenaikan kelas dan Yongkilah yang diberi mandat untuk mencarikan guru privat untuk Lian. Keputusan mereka membuat Lian semakin tertekan. Dia lari dari rumah dan meninggalkan secarik kertas bertuliskan ”Don’t push me!” di meja belajarnya.
Lalu bagaimana nasib Lian selanjutnya? Akankah Lian tetap bertahan di kelas akselerasi? Bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana hubungan Lian dan Angga selanjutnya? Berhasilkah Lian lepas dari bayang-bayang ketiga kakaknya?

Novel Barukuuuu

Najwa Alluna Novaschek (Luna), Kharinza Tirana Lockhart (Ririn), Aicylla Cybelrose (Ai), Kesya Marendradani (Kesya), Ardillia Vronzka (Dilla), dan Yvonne Pradiptia (Tia) adalah enam orang cewek yang bersekolah di salah satu sekolah internasional di Yogyakarta. Mereka bersahabat mulai dari awal masuk sekolah. Dengan latar belakang yang berbeda, Luna yang tomboy, Ririn yang feminin, Kesya dan Dilla yang baik hati, dan Tia yang perhatian segera menemukan kecocokan masing-masing. Selera yang sama (mulai dari makanan hingga cowok!) membuat mereka semakin tidak terpisahkan.
Semua bermula saat seorang cowok, Delvonando Wiratama Primahadiputra (Delvon), mulai hadir dalam kehidupan mereka dan menarik perhatian Luna dan Ririn. Perlahan-lahan geng itu mulai terpecah. Luna dibantu oleh Dilla dan Tia berusaha menarik perhatian Delvon, sedangkan Ai dan Kesya membantu Ririn untuk selalu dekat dengan Delvon.
Sebuah ujian datang menghampiri Luna saat Devon telah memilihnya. Ternyata Luna menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan! Hal itulah yang membuatnya mengambil keputusan untuk mundur dari persaingan itu. Dilla dan Tia yang membantunya kontan melawan, namun mereka tidak dapat berbuat apapun setelah Luna beralasan bahwa dia tidak mencintai Delvon lagi. Tia dan Dilla menganggap Luna telah mempermainkan mereka, begitu pula dengan Delvon. Perlahan-lahan mereka menjauhi Luna.
Ririn menganggap Luna telah kalah saat Delvon datang dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Ririn langsung menyanggupinya. Hubungan antara Ririn, Kesya, Ai, Dilla, Luna, dan Tia semakin membaik, namun tidak dengan hubungan Luna dan Delvon. Suatu waktu Luna pingsan saat praktikum dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Delvon yang masih menyayangi Luna selalu menemani Luna setiap saat sampai dia sembuh dan kembali bersekolah. Ririn yang mengetahui hal tersebut menganggap Luna telah menghianati dirinya. Ririn kembali menjauhi Luna.
Suatu hari Luna terpaksa dilarikan kembali ke rumah sakit. Delvon kembali berada di sisinya sampai pada suatu hari dia mengetahui bahwa penyakit Luna tidak dapat disembuhkan dan dapat merenggut nyawanya sewaktu-waktu. Delvon segera memberitahu Ririn, Dilla, Ai, Kesya, dan Tia. Namun usahanya sia-sia. Tidak satupun dari mereka mau menjenguk Luna yang kondisinya semakin melemah dari waktu ke waktu.
Lalu bagaimanakah kondisi Luna selanjutnya? Apakah teman-temannya mau memaafkannya? Mampukah dia bertahan?

Never Ending Love Story

Siapa sih, yang ingin menjadi anak dari keluarga broken home? Siapa sih, yang ingin hidup tanpa kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua? Siapa sih, yang ingin dipandang perlu dikasihani hanya karena keluarga kita tidak utuh lagi? Kupikir tidak ada satupun yang menginginkannya, begitu pula denganku.
Papa dan mamaku bercerai setengah tahun yang lalu. Hak asuh anak jatuh pada papa. Aku dan kedua adikku tidak banyak protes saat beliau mengajak kami pindah ke rumah baru, meskipun kami juga harus mengurus kepindahan kami dari sekolah yang lama.
Tidak ada yang istimewa di sekolah baruku, kecuali seseorang yang membuat hatiku berbunga untuk pertama kalinya. Namanya Gilang. Usianya satu tahun lebih tua dariku. Saat ini dia sedang sibuk mempersiapkan ujian akhir sekolah yang kabarnya semakin sulit karena pemerintah kembali menaikkan standar kelulusan. Aku sering berpapasan dengannya saat kami berada di kantin. Dia selalu menyapaku lebih dulu.
Gilang bukanlah orang penting di sekolah. Dia bukan ketua OSIS yang setiap hari mengumpulkan anggotanya di ruang rapat. Dia bukan ketua teater atau klub seni di sekolahku. Dia juga tidak tergabung di klub olimpiade sains bergengsi di sekolahku. Dia hanyalah seorang kapten tim basket yang setiap hari selalu meluangkan waktu untuk berlatih di halaman belakang ditemani olehku.
Ah, menemaninya berlatih basket sudah membuatku senang. Aku juga penyuka basket. Mungkin karena itulah aku kami menemukan kecocokan dalam diri masing-masing. Gilang sudah pernah merasakan bertanding dengan pemain basket nasional saat mengikuti ajang basket yang diselenggarakan oleh salah satu produsen mie instan. Dia mengetahui banyak trik permainan. Itulah sebabnya mengapa klub basket sekolahku disegani oleh klub basket sekolah lain.
Gilang juga mahir berbahasa Inggris. Dia pernah mengikuti program pertukaran pelajar selama empat bulan ke Connecticut. Selama itulah ada seseorang yang hadir di hatiku. Namanya Angga. Dia adalah kakak Gilang. Kak Angga adalah seorang dokter yang pernah menangani cedera lututku saat aku bertanding basket. Hubungan kami semakin dekat saat aku ditugaskan untuk mengikuti olimpiade kedokteran yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi bergengsi di kotaku, dan kak Angga menjadi pembimbingku.
Kami banyak meluangkan waktu bersama. Saat itu entah mengapa aku sedikit melupakan Gilang. Aku tidak begitu bersemangat saat dia meluangkan waktu untuk meneleponku. Aku juga tidak begitu tertarik saat dia mengajakku video chatting. Aku lebih bersemangat saat kak Angga mengajakku melihat rekaman video “Dr. Oz Show” yang dia dapatkan dari sebuah situs.
Siang itu, seperti biasa aku mengikuti bimbingan dengan kak Angga. Sebuah SMS yang masuk ke HP kak Angga membuatnya tersenyum senang. Hari ini Gilang pulang dari Connecticut. Itu artinya, besok pagi aku dan kak Angga akan menjemputnya di bandara. Ayayay… dua orang yang aku sukai akan bertemu besok.
Keesokan harinya kak Angga telah menjemputku di rumah. Toyota Fortunernya membunyikan klakson, membuatku cepat-cepat menuntaskan sarapan pagiku dan berlari menemuinya. Kami bergurau di sepanjang jalan menuju bandara. Di ruang tunggu, kak Angga mendahuluiku saat melihat Gilang sedang duduk dengan dua tumpuk koper di sampingnya. Riuh sejenak. Kak Angga dan Gilang saling berangkulan dan menemuiku yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Gilang memelukku dengan erat saat aku tersenyum ke arahnya. Kak Angga membawa kami mengitari kota Yogyakarta dan berhenti sejenak di depan kampusnya saat dia melihat seseorang. Kak Angga mengenalkannya padaku. Namanya Lian. Dia adalah rekan seprofesi sekaligus teman istimewa kak Angga. Saat itu ada sesuatu yang kurasakan hilang dari tubuhku.
Kami melanjutkan perjalanan. Penghuni mobil bertambah satu, kak Lian. Dia duduk di samping Gilang dan mengobrol dengan riuh. Aku mengamati mereka satu-persatu. Kak Angga. Dia istimewa untukku, namun entah apakah aku pernah menjadi istimewa untuknya. Kak Lian. Istimewa untuk orang istimewaku. Gilang. Setidaknya aku pernah menjadi istimewa untuknya.
Kami berhenti di sebuah rumah di jalan Ganesha. Kak Angga, kak Lian, aku, dan Gilang masuk. Betapa terkejutnya saat aku melihat seorang wanita turun dari tangga menyambut kami. Mama!
“Ma, ini teman Gilang. Namanya Mita,” kata Gilang sambil merangkul mama. Hah? Mama? Gilang memanggil mama dengan sebutan “mama”? Aku menatap mama dengan pandangan tidak percaya.
“Kemarilah, Nak,” kata mama sambil memelukku. Air mataku menetes. Ternyata mama telah menikah lagi dengan seorang pengusaha dua bulan yang lalu. Pengusaha itu adalah ayah dari kak Angga dan Gilang. Itu berarti, mereka berdua adalah saudara tiriku.
Kurasakan kelegaan yang sangat saat aku memeluk kak Angga dan Gilang bergantian. Ternyata rasa cintaku selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mampu mendapatkan cinta dari keduanya. Ya, cinta yang tulus dan abadi dari kedua orang kakak. Dan cerita cinta ini akan terus berlanjut…

Kutemukan Mutiaraku Kembali

Aku menatap seorang gadis cilik yang pagi ini dibawa ke rumah sakit dengan pandangan miris. Entah apa lagi yang dia alami sampai-sampai tubuhnya penuh luka lebam. Baru beberapa minggu yang lalu dia dirawat di rumah sakit dengan gejala yang sama: tubuhnya penuh luka lebam. Namun, setiap kali aku menanyakan sebabnya, anak itu hanya menjawab, “Saya jatuh dari metromini.”
Sungguh terenyuh aku mendengarnya. Anak ini baru berumur sebelas tahun, namun bnyak sekali kehidupan pahit yang telah dia rasakan. Dia sudah tidak memiliki orang tua, namun masih memiliki seorang kakak yang berusia empat tahun lebih tua. Sayang, sang kakak pergi tanpa diketahui rimbanya.
Aku mulai mencuci kedua tanganku dengan sabun dan mengenakan sarung tangan karet. Untuk kasus seperti ini, biasanya para suster yang menangani. Namun kali ini biar aku saja yang melakukannya.
Sampai di ruang UGD, aku segera menuju tempat perawatan. Setelah melihat kondisi pasien, aku langsung meminta para suster untuk memindahkannya ke ruang tindakan operasi kecil. Ada beberapa luka di kakinya yang kuperkirakan harus dijahit. Tanpa membutuhkan banyak waktu, anak itu telah siap untuk ditangani.
“Siapa namamu?” tanyaku sebelum aku mulai melakukan tindakan. Anak itu meringis kecil, menggeser kakinya sedikit, lalu menjawab, “Lia.”
Aku mengangguk-angguk dan mulai memerksa luka di kakinya. Tampaknya memang cukup lebar, namun tidak terlalu dalam. Aku memutuskan untuk tidak menjahitnya.
“Lia jatuh dari metromini lagi?” tanyaku. Dia mengangguk, begitu juga denganku. Namun aku mendadak ragu saat melihat bekas luka di tangan kirinya, tepatnya bagian lengan atas. Tampak sepertiga bagian lengannya membiru. Aku sedikit khawatir ketika Lia mengaduh saat aku menyentuh bagian yang membiru itu.
“Lia beneran jatuh dari metromini?” tanyaku. Lia mengangguk berkali-kali. Tapi warna biru di lengan atasnya tampak seperti bekas pukulan benda tumpul, batinku. Entah karena terlalu sering menonton acara penganiayaan di televisi atau karena naluri seorag dokter, aku segera memeriksa kepalanya.
“Dok, kepala saya nggak sakit,” kata Lia saat aku memeriksa kepalanya. Aku tersenyum. “Saya hanya ingin tahu apakah ada luka juga di kepalamu,” jawabku. Lia mengangguk-angguk. Setelah tiga puluh menit berlalu, aku selesai memeriksanya. Semua luka yang ada di tubuhnya telah selesai kuobati. Anak ini tidak perlu dirawat, batinku saat memberikan selembar resep pada orang yang waktu itu mengantar Lia ke rumah sakit dan memintanya kembali kontrol esok hari.

+++

“Pasien Lia sudah ada di ruang tunggu, Dokter Kevin,” kata seorang suster saat aku masuk ke ruang praktik. Aku meletakkan tas kerjaku dan duduk di kursi. Seorang pekerja membawakan segelas teh hangat dan langsung kuteguk.
“Sudah siap untuk praktik?” tanya suster. Aku tersenyum dan mengangguk. Suster itu mulai memanggil pasien satu-persatu. Pasien pertamaku pagi ini adalah Lia. Lia adalah pasien yang penurut. Dia selalu datang setiap kali kuminta untuk kontrol ulang.
“Selamat pagi,” sapaku saat Lia masuk. Dia tampak menggandeng seseorang yang belakangan kuketahui adalah sopir metromini bernama Bakir yang sering Lia bantu untuk mencari uang.
“Selamat pagi juga, Dokter,” jawab Lia. Dia meminta sopir metromini yang mengantarnya untuk duduk, kemudian tidur di tempat yang telah disediakan. Seorang suster memberikan status pasien kepadaku. Aku membacanya dengan teliti, kemudian bertanya dengan sedikit nada curiga kepada Pak Bakir.
“Lia bilang, dia jatuh dari metromini kemarin. Benar, Pak?” tanyaku. Sopir taksi itu tampak akan mengatakan sesuatu namun Lia cepat-cepat menyahut, “Iya, Dok. Beneran deh.”
Keningku berkerut, namun aku segera memeriksa Lia. Tidak ada masalah dengan kondisi anak ini. Hanya saja warna biru di lengan kiri atasnya masih tampak, bahkan semakin jelas terlihat. Lia mengaduh kesakitan saat aku menyentuhnya.
“Kita harus melakukan foto rontgent untuk mengetahui kondisi tangan kiri Lia,” kataku pada Pak Bakir. Pak Bakir hanya terdiam. Tiba-tiba Lia yang baru saja selesai kuperiksa menyahut, ”Pak Bakir nggak punya uang.”
Aku tertegun. Meskipun baru tiga tahun menjalani profesi sebagai seorang dokter, aku telah paham bagaimana rasa kemanusiaan terkadang tidak berlaku di rumah sakit. Pengobatan pasien seringkali tertunda hanya karena masalah ekonomi. Aku tahu pemerintah telah memberikan program jaminan kesehatan, namun terkadang ada pula oknum yang mempersulit para golongan ekonomi lemah untuk mendapatkannya. Sebagai seorang dokter, terkadang akupun tidak dapat melakukan tindakan jika si pasien bermasalah dengan uang.
Seperti saat ini. Aku mengizinkan Lia keluar dari ruang praktikku tanpa tindakan apapun. Hanya prosedur pemeriksaan standart yang dia dapatkan.

+++

“Sudah pulang. Vin?” tanya mama saat aku kembali dari rumah sakit. Aku mengangguk dan duduk di sebelah mama. Kubiarkan Mbok Rah, pembantu yang telah bekerja di rumahku sejak aku berumur lima tahun, meletakkan sepatu dan tas di kamarku.
“Kamu kelihatan capek sekali hari ini?” tanya mama lagi. Aku mengangguk dan mengendurkan dasiku. Mama tersenyum dan mengelus rambutku. Hal yang sering dilakukan mama meskipun aku telah dewasa.
“Mama sudah masak makanan kesukaan kamu, Vin. Sebaiknya kamu segera makan, kemudian istirahat. Mama nggak mau dokter pribadi mama sakit,” kata mama. Aku tersenyum dan memeluk mama, kemudian segera menuju kamarku.
Makan malam yang sunyi. Papa seperti biasa belum pulang dari kantornya, sedangkan mama sibuk dengan aromatherapy yang beberapa hari yang lalu dibelinya. Seluruh ruangan berbau lavender sekarang.
Aku mengambil sesendok nasi dari ricecooker yang letaknya tidak jauh dari meja makan. Tampaknya malam ini perutku menolak untuk diisi makanan terlalu banyak, meskipun mama memasak sayur kangkung kesukaanku. Aku makan sambil sesekali memikirkan Lia. Sepertinya ada sesuatu yang membuatku ingin menyelidikinya.
“Kok kamu makan sedikit sekali Vin? Masakan mama kurang enak ya?” tanya mama. Aku tersenyum dan menggeleng. “Tidak, Ma. Kevin hanya sedang ada sedikit masalah di rumah sakit,” jawabku.
Mama mengelus kepalaku dan duduk di sampingku. Beliau mengambil sebutir apel dan mulai mengupasnya perlahan-lahan. “Masalah dengan pasien kamu?” tanya mama. Aku mengangguk. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Cepat-cepat kuraih gagang telepon dan menelepon asistenku di rumah sakit.
“Halo, selamat malam.”
“Selamat malam. Suster, tolong alihkan semua pasien saya kepada dokter Brian malam ini karena besok saya tidak dapat datang.”

+++

“Lucu. Kamu akan melakukan penyelidikan? Memangnya kamu pikir, kamu seorang detektif? Lebih baik kamu urus pasien-pasienmu saja,” kata Brian, teman seprofesiku, saat aku meneleponnya. Aku tersenyum.
“Aku titip pasien-pasienku sebentar,” kataku sambil menutup telepon. Segera kupakai topi hitamku dan keluar rumah tanpa membawa mobil. Rencananya hari ini aku akan menumpang metromini yang dikondekturi oleh Lia.
Sudah satu jam aku berdiri di pinggir jalan Ganesha, pusat metromini yang ada di kotaku. namun Lia tidak kunjung muncul. Berulang kali aku melirik arloji, berharap dia segera muncul.
Diiin... Diiin...
“Jalur lima Pak! Jalur lima!”
Terdengar suara yang sangat kukenal. Suara Lia. Sudut bibirku terangkat. Dengan sekali lambaian metromini itu menepi dan berhenti. Sekilas kulirik sopir yang duduk di depan. Pak Bakir.
Sempurna! Batinku saat metromini mulai melaju. Aku memilih duduk di belakang agar aku dapat mengawasi Lia. Dia bekerja sangat cekatan, seperti orang dewasa saja. Tiba-tiba bahuku dicolek seseorang. “Ongkos, Mas,” katanya.
Aku mengeluarkan selembar uang duapuluh ribuan. “Ambil saja kembaliannya,” kataku saat si penarik ongkos memberikan uang kembalian. Dia tersenyum. “Terima kasih Mas. Terimakasih.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian aku kembali serius mengamati Lia. Tidak ada masalah dengan anak itu. Hanya saja dia jarang sekali menggunakan tangan kirinya. Aku tahu tangan kirinya mengalami cedera. Tak lama kemudian metromini melaju di jalan Mangkubumi dan melewati rumah sakit tempatku bekerja. Lia tampak berbicara sebentar dengan Pak Bakir kemudian turun. Aku buru-buru mengikutinya.
Lia menyusuri gang sempit disamping rumah sakit. Aku berusaha mengkutinya tanpa menimbulkan suara. Saat itu suasana mendung dan hujan gerimis turun. Beberapa kali aku hampir terpeleset karena jalan sangat licin.
“Sudah kau dapatkan uang itu, anak ingusan?!” bentak seseorang saat Lia memasuki sebuah gubug. Langkahku terhenti. Segera kucari tempat persembunyian. Entah apa yang Lia lakukan di dalam sana. Yang kudengar hanyalah bentakan-bentakan yang sangat kasar yang tidak pantas diucapkan.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam. Tanpa pikir panjang aku keluar dari persembunyianku dan menerobos masuk. Kulihat Lia sedang terkapar dengan memegangi lengan kirinya. Beberapa orang bertubuh sangar berdiri di depannya dengan membawa sebilah kayu. Jadi... ini alasan mengapa banyak luka di tubuhnya? Luka-luka itu disebabkan oleh pukulan kayu, bukan karena jatuh dari metromini! Batinku.
Aku segera memeluk Lia dan membawanya keluar. Tidak kupedulikan teriakan geram dan ancaman dari orang-orang bertubuh besar itu. Satu hal yang kupikirkan: aku harus menyelamatkan anak ini.

+++

“Kadaver dengan kasus drowning dengan ciri-ciri: tinggi tubuh 160 cm, kulit sawo matang, rambut ikal sebahu berwarna hitam, identitasnya telah diketahui...”
Aku mendengarkan penjelasan seorang co-ass yang sedang mengambil siklus forensik dengan seksama. Sesekali aku tersenyum saat si co-ass sibuk mendeskripsikan kadaver dengan berbagai gaya: menggaruk-garuk kepalanya ketika kebingungan, menjelaskan dengan gerak tangan yang berlebihan, bahkan terkadang kehabisan suara karena gugup.
“Cukup. Saya mengerti,” kataku sambil berjalan mendekati si co-ass. Co-ass itu mengangguk dan memberikan sepasang sarung tangan karet padaku. “Tolong ambilkan map yang ada atas meja,” kataku sambil meneliti kembali kadaver yang tadi diteliti oleh Lia, adikku.
Adik?
Ya, Lia adalah adikku. Adik angkat lebih tepatnya. Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk menjadikannya sebagai adik angkat. Mama dan papa setuju. Sekarang, Lia telah menyelesaikan studinya di fakultas kedokteran dan tengah mengambil profesi di rumah sakit tempatku bekerja.
Aku sendiri telah resmi menjadi dokter spesialis forensik satu tahun yang lalu. Pendidikan forensik kudapatkan di Yale University, Amerika, dilanjutkan dengan mengambil profesi di salah satu universitas di Indonesia, dan akhirnya bekerja kembali di rumah sakit ini.
“Silakan, Dok,” kata Lia sambil menyerahkan sebuah map berwarna biru muda. Aku mengangguk dan membaca data-data otopsi dengan teliti. Sekilas kulirik Lia yang berdiri tidak jauh dariku. Air matanya menggenang.
“Kenapa Lia?” tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari map yang sedang kubaca. Tiba-tiba terdengar suara isakan. “Kadaver itu bernama Eka Saputra kan, Kak?” tanya Lia. Aku mengangguk.
“Akhirnya aku bisa bertemu dengan kakak kandungku, meskipun dengan kondisi seperti ini...”
+++


Untuk keluargaku, terimakasih telah mendukung cita-citaku.

Bagaimana kualitas cerpen yang baru saja anda baca?