The Asylum
by Tha Yr on Friday, August 13, 2010 at 7:54am
"Saksi pertama, Dokter Arifin, dipersilakan untuk memberikan keterangan."
Seorang dokter bertubuh gempal maju dan meletakkan tangannya di atas Al-Quran. "Anda bersumpah untuk tidak berkataselain kebenaran dan tidak menyembunyikan kebenaran dari persidangan?" tanyaseorang lelaki yang memegang Al-Quran. Dokter Arifin mengangguk. Dia duduk disebuah meja di samping sang hakim. Seorang pengacara dari pihak terdakwabergegas memberinya beberapa pertanyaan.
"Apakah Anda, Dokter Arifin, berada di ruang operasi saat kejadiantersebut berlangsung?" tanya pengacara itu. Dokter Arifin mengangguk. "Saat itusaya menjadi asisten operasi dokter Nurfina," jawab dokter Arifin.
"Apa yang dilakukan oleh seorang asisten operasi, dokter Arifin?" tanya pengacaralagi. Dokter Arifin berdehem sejenak. "Saya hanyalah seorang residen tahunketiga. Dokter Nurfina hanya memberikan saya wewenang untuk mengambilkanalat-alat yang diperlukan," jawabnya.
"Apakah Anda tahu mengenai perintah dokter Nurfina kepada dokterspesialis anestesi untuk menambahkan obat bius karena pasien mulai sadar?" tanyapengacara lagi. Dokter Arifin mengangguk mantap, sama sekali tidak ada keraguandi wajahnya. Diam-diam seorang wanita berjilbab yang duduk di sampingpengacaranya di sudut ruangan menghela nafas panjang. Seorang pengacara lainnyaberusaha menenangkannya.
"Dokter Nurfina memberikan instruksi untuk menambah dosis obat biussebanyak lima kali lipat," jawab dokter Arifin. Wanita berjilbab itu kontanmenggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak melakukan itu! Dia hanyamenginstruksikan dokter anestesi untuk menambah dosis obat menjadi dua kalilipat, bukan lima!
Persidangan itu berlanjut dengan semakin banyak keterangan-keteranganpalsu dari saksi. Wanita berjilbab itu, terdakwa dokter Nurfina, Sp.JP, hanyamendesah. Seorang pria yang duduk di sampingnya tampak memberikan semangat. "Tenanglah,Bun. Aku percaya Bunda tidak melakukan itu," katanya di telinga ibunya.
+++
"Katakan!"
"Bukan aku! Aku bersumpah!"
"Katakan yang sebenarnya atau kugorok lehermu!"
"Bb... baiklah! Dia adalah saksi kedua yang menghadiri kasus ibumu beberapa minggu yang lalu. Aku hanya dibayaruntuk memberikan kesaksian palsu di persidangan! Tapi tolong, tolong rahasiakannamaku. Jika tidak mereka akan membunuhku."
"Mereka tidak akan membunuhmu karena aku akan membunuhmu lebih dulu!"
"Aaaarghh!!"
Robert menyeringai puas saat sang korban meregang nyawa di hadapannya.Dia mengambil pisau itu dan menjilati darah yang ada di permukaannya. "Oh,begitu rupanya. Aku tahu siapa yang telah memfitnah ibuku dan satu persatumereka akan mati di tanganku!" kata Robert disambung dengan derai tawa beberapaorang anak buah yang mengelilinginya.
"Pekerjaan kita masih banyak! Aku tidak akan berhenti sebelum merekasemua mati di tanganku!" kata Robert sambil memberikan tanda pada tiga orangpria bertubuh kekar untuk mengubur mayat orang yang baru saja dibunuhnya, seorangsaksi dari pihak penggugat yang mengatakan bahwa terdakwa, ibu Robert, dengansadar menambah dosis obat penenang sehingga membuat jantung pasien bermasalahsaat operasi di persidangan. Robert tersenyum sinis. "Dasar dokter tidakberadat! Seenaknya saja kau menuduh ibuku melakukan mal praktik. Sekarangrasakan akibatnya!"
+++
"Cukup untuk saksi pertama. Saksi kedua, dokter Tegar, dipersilakan untukmemberikan keterangan."
Seorang lelaki berkepala botak segera menempati tempat yang telahdipersiapkan. Setelah memberikan sumpah, dokter Tegar bersiap untuk menjawabpertanyaan dari pengacara terdakwa.
"Nama Anda dokter Tegar?" tanya pengacara. Lelaki itu mengangguk. "Apaposisi Anda saat operasi berlangsung?" tanya pengacara itu lagi.
"Saya bertugas mengawasi monitor jantung dan otak," jawab dokter Tegar. Pengacaradari pihak terdakwa itu mengangguk-angguk. "Anda berada dalam satu ruangan saatdokter Nurfina melakukan operasi?" tanyanya lagi. Dokter Tegar menggeleng.
"Tapi saya tahu jika dokter Nurfina menginstruksikan dokter anestesiuntuk menambah obat bius pada pasien lima kali lipat dari dosis standart," katadokter Tegar. Lagi-lagi wanita berjilbab itu mendesah panjang. "Bagaimanabisa?" tanya pengacara.
"Ruangan kami terhubung dengan sebuah mikrofon dan speaker. Kami bisasaling memantau kegiatan satu sama lain meskipun kondisi mikrofon tidak terlalubagus karena kami bisa melihat jalannya operasi melalui kaca penyekat ruangan,"jawab dokter Tegar. Dokter Nurfina kembali mendesah. Residen terbaiknya, dokterTegar Riyadi, telah memberikan keterangan palsu. "Saat itu kau jelas-jelasmendengar instruksiku, Nak. Aku menyuruh dokter anestesi untuk menambah dosisobat sebanyak dua kali lipat, bukan lima," kata dokter Nurfina.
"Saat itu Anda benar-benar mendengar bahwa dokter Nurfina menyuruh dokteranestesi untuk menambah dosis obat?" tanya pengacara dari pihak terdakwa.Dokter Tegar mengangguk. "Berapa banyak?" tanya pengacara dari pihak terdakwa.
"Lima kali lipat dari dosis normal," jawab dokter Tegar. Lagi-lagi dokterNurfina mendesah. Pria muda itu masih setia menggenggam tangan dokter Nurfinadengan erat seraya berkata, "Aku percaya padamu, Bunda."
+++
"Namanya Tegar, seorang calon dokter spesialis penyakit dalam yangmenjadi saksi kedua saat persidangan. Dia sasaran kita selanjutnya."
Robert membagikan lima lembar foto seorang lelaki berkepala botak padaanak buahnya. Tak lama kemudian mereka mengendarai sebuah mobil offroad danmengikuti sebuah mobil Mercy yang dikendarai oleh dokter Tegar. Namun sepertinyamobil sasaran mengetahui jika dirinya diikuti oleh mobil lain. Kejar mengejartidak terelakkan lagi.
"Ikuti terus! Jangan sampai lepas!" teriak Robert pada anak buahyangbertugas menyetir mobil. Mobil Mercy itu berjalan dengan kecepatan penuh.Mobil offroad tua milik Robert tidak bisa menandingi kecepatannya. "Kita ambiljalan pintas saja," kata Robert saat mobil Mercy itu semakin menjauh.
"Siap Bos," kata salah satu anak buahnya. Mereka berbelok ke sebuah gangsempit –lebih tepatnya jalan perkampungan- dan berhenti di sebuah persimpangan.Benar saja, mereka bisa melihat mobil Mercy milik dokter Tegar melesat kencang.
"Potong jalannya!" teriak Robert. Tak lama kemudian mobil jeep offroad miliknyaberhasil memotong jalan mobil Mercy itu. Robert dan enam orang kawannya segeramenghampiri dokter Tegar yang saat itu marah-marah.
"Ada apa ini?" tanya dokter Tegar saat Robert tersenyum sinis padanya.Robert mendengus. "Ada apa katamu? Aku datang untuk menuntut balas," jawabRobert. Dokter Tegar tampak berpikir sejenak. "Apakah keluargamu pernah menjadipasienku dan aku gagal menyelamatkannya? Oh, maaf sekali. Memang ajalnya sudahdekat," kata dokter Tegar enteng.
"Tidak ada satupun anggota keluargaku yang menjadi pasienmu. Tidak akanpernah!" jawab Robert garang. Dokter Tegar terkekeh.
"Lalu apa yang kau maudariku? Uang?" tanya dokter Tegar sambil mengeluarkan beberapa lembar uangseratus ribuan dari dompetnya. Robert semakin gusar dan memerintahkan dua anakbuahnya untuk menahan dokter Tegar.
"Hey! Hey! Apa-apaan ini?" bentak dokter Tegar. Dia berontak, apalagisetelah melihat Robert mengeluarkan sebuah jarum suntik yang telah diiisidengan cairan mematikan, sianida pekat. "Kau berhutang padaku, Dok, ataskesaksian palsumu di sidang tadi," kata Robert. Dokter Tegar menelan ludah.
"Kesaksianku benar adanya," kata dokter Tegar. Robert tersenyum sinis."Kau mau sianida ini masuk ke tubuhmu?" tanya Robert sambil menggulung lenganbaju tawanannya. Dokter Tegar berontak dan berteriak-teriak minta tolong. Robertsegera menutup mulut dokter itu.
"Oke. Baiklah, aku akan memberitahumu," kata dokter Tegar. Robert melepaskantangannya dari mulut dokter Tegar. "Dia adalah saksi ketiga yang dihadirkan dipersidangan! Tolong, jangan bunuh aku," kata dokter Tegar memohon pada Robert.Robert tersenyum sinis. Seorang calon dokter spesialis memohon-mohon padanyasetelah siang tadi dengan angkuhnya dia memberikan keterangan palsu dipersidangan.
"Ups, maaf. Aku tidak bisa membiarkan dokter yang tidak bertanggung jawabsepertimu berkeliaran di kota ini," kata Robert sambil menyuntikkan sianidapekat ke tubuh dokter Tegar. Tidak sampai sepuluh menit, dokter botak itumeregang nyawa.
+++
"Benar anda dokter Mirna?" tanya pengacara dari pihak terdakwa saatpersidangan menghadirkan saksi keempat. Seorang wanita blasteran bertubuhtinggi dan berkulit putih tersenyum. "Ya, benar," jawabnya.
"Anda berjanji akan berkata benar dan tidak mengatakan hal yang lainkecuali kebenaran?" tanya pengacara dari pihak terdakwa. Dokter Mirna kembalimengangguk. "Apa tugas Anda saat operasi berlangsung?" tanya pengacara daripihak terdakwa lagi.
"Saya bertugas mengawasi supply darah pasien sekaligus asisten operasidokter Nurfina," jawab dokter Mirna. Pengacara dari pihak terdakwa mengangguk. "Sungguhmengejutkan, wanita secantik Anda hanya menjadi asisten operasi, bukan actor utamayang melakukan operasi." Pengacara itu sedikit berbasa-basi. Wanita cantik yangduduk di hadapannya kali ini mau tidak mau sedikit mengurangi konsenterasinya.
"Kau akan kuoperasi jika kau mau," canda dokter Mirna. Pengacara daripihak terdakwa tertawa renyah. Sang hakim berdehem sejenak, membuat suasanakembali serius. "Thankyou, Your Honor," kata pengacara dari pihak terdakwa.Sang hakim mengangguk.
"So. Anda mengetahui saat dokter Nurfina memberikan instruksi pada dokteranestesi agar menambahkan dosis obat pada pasien?" tanya pengacara itu. DokterMirna mengangguk. "Sama seperti saksi-saksi sebelumnya, saya tahu dokterNurfina meminta dokter anestesi menyuntikkan obat tambahan sebanyak lima kalidari dosis normal," jawab dokter Mirna. Pengacara itu mengangguk-angguk.
+++
Dokter Mirna tengah mengendarai mobil sedannya saat sebuah panggilanmasuk ke ponselnya. Sebuah nomor tertera di layar. Tanpa pikir panjang diasegera mengangkatnya. Ah, mungkin telepon dari rumah sakit dan merekamembutuhkanku, batinnya.
"Hello sweetheart."
Dokter Mirna tampak berpikir. Jelas bukan rumah sakit yang menelepon jikamenggunakan kata-kata sweet heart seperti ini. Ah, mungkin pacarku, batinnya.
"Andrew, is that you?"
"No, I'm Robert."
"Robert who? OK, katakan apa perlumu. Quick."
"Oh, why are you so hurry, Hon?"
"Hey, diam! Katakan saja apa maumu!"
"Baiklah kalau itu maumu. Aku telah memasang peledak di mobilmu. Akuhanya ingin tahu siapa yang menyuruhmu memberikan kesaksian palsu dipersidangan tadi."
"Bullshit. Bohong!"
"Silakan lihat di bawah mobilmu, Dok. Ada pelat baja yang selalu berdetiklebih cepat setiap kali kau menambah kecepatan dan akan langsung meledak jika aku menekan tombol yang ada di tanganku ini."
Dokter Mirna bergegas menghentikan mobilnya namun urung karena Robertkeburu mengancamnya, "Jika kau berhenti maka kau akan mati seketika."
"Katakan apa maumu! Aku akan memberimu uang sebanyak yang kau mau. Tapitolong jangan bunuh aku."
"Katakan siapa yang menyuruhmu memberikan keterangan palsu saatpersidangan tadi!"
"Tidak ada yang menyuruhku!
"
"Katakan atau aku akan meledakkan mobilmu sekarang juga!"
"OK, baiklah. Dia adalah dokter anestesi yang ada di ruang operasibersama dengan dokter Tegar. Dia salah mendengar instruksi yang diberikan olehdokter Nurfina. Dia memberiku uang cukup banyak untuk memberi keterangan palsusaat persidangan! Dia adalah..."
BUUMMMM!!!
Robert menekan tombol yang ada di tangannya dengan penuh kebencian. Diadapat melihat kepulan asap tebal membumbung tinggi saat melihat ke arah utara.Mobil dokter Mirna sempurna terbakar.
"Brengsek! Ternyata kau pelakunya!" kata Robert sambil memutar mobilnya.Beberapa anak buah yang ikut di dalam mobilnya hanya menggedikkan bahu.
+++
"Sidang akan menghadirkan saksi terakhir. Dokter Bryan, silakanmemberikan keterangan."
Bryan memeluk ibunya sejenak dan melangkah menuju tempat yang telahdisediakan. Dia merapikan jasnya sejenak sebelum meletakkan tangannya diatasAl-Quran dan bersumpah hanya akan mengatakan kebenaran.
"Dokter Bryan?" sapa pengacara. Dokter Bryan mengangguk. "Sedikit bebanuntukku memberikan beberapa pertanyaan padamu. Namun kuharap kau akanmengatakan hal yang sebenarnya meskipun sang terdakwa adalah ibumu sendiri,"kata pengacara lagi. Dokter Bryan hanya mengangguk.
"Kau ada di ruang operasi saat itu?" tanya pengacara. Dokter Bryanmengangguk. "Aku adalah dokter anestesi yang menangani pembiusan pasien saatoperasi berlangsung," jawab dokter Bryan. Pengacara itu mengangguk-angguk."Anda adalah satu-satunya saksi kunci di persidangan ini," katanya.
"Anda yakin ibu anda meminta Anda untuk menyuntikkan obat bius tambahan?"tanya pengacara lagi. Dokter Bryan mengangguk. "Berapa banyak?" tanya pengacaralagi.
BRAAAKK...
"Bunda hanya memintamu menyuntikkan obat bius tambahan sebanyak dua kalilipat dosis standart, bukan lima!!" Robert membuka pintu ruang sidang dengankasar. Di tangannya terdapat sepucuk pistol yang siap memuntahkan pelurunyakapan saja. "Kau brengsek!" teriak Robert marah. Beberapa orang polisi segeramengepung tempat itu, namun mereka tidak berani mendekat karena Robert membawa pistol.
"Aku mengetahui semuanya, Kak," kata Robert sinis. Dokter Bryan hendakmaju mendekati sang adik namun tertahan saat sang adik mengacungkan pistol kearahnya. "Aku tahu kau membayar para saksi untuk memberikan keterangan palsu!Sebenarnya itu salahmu! Kau salah mendengar instruksi bunda karena saat itu kauberada di ruang monitor bersama dokter Tegar!" teriak Robert.
"Hey, ada apa denganmu Rob?" tanya dokter Bryan. Robert tersenyum sinis."Dialah pelakunya, pak hakim. Dia salah mendengar instruksi bunda. Bundamemberinya instruksi untuk menambah dosis obat sebanyak dua kali lipat, bukanlima!" teriaknya.
"Kau tidak diijinkan untuk berbicara di persidangan kecuali akumenyuruhmu berbicara!" bentak hakim. Robert terlihat semakin gusar. Diamerangsek maju mendekati hakim. "Salah satu saksi pasti telah menjelaskanpadamu, bahwa mikrofon di ruang monitor tidak dalam kondisi baik!" kata Robertdengan nada tinggi.
"Ya, memang ada saksi yang mengatakannya padaku. But can you please sitdown?" kata hakim berusaha menenangkan Robert. Robert menggeleng. "Jadikan akusaksi Pak Hakim!" bentak Robert. Hakim itu menggeleng. "You are insane! Get himout of here!" katanya. Robert berlari ke arah Bryan.
"Kau tega melakukannya! Dasar brengsek!" bentak Robert pada Bryan.Tangannya siap memukul wajah sang kakak, namun segera diurungkannya saat sangbunda berteriak, "Kalau kau melakukannya, aku tidak akan menganggapmu sebagaianak lagi!"
"Kau akan menyesal karena kau telah melahirkan anak seperti dia Bunda!"bentak Robert. Sang ibu menggeram. "Aku lebih kecewa memiliki anak sepertimu!"katanya. Robert terperangah. "Bunda..."
"Lihatlah kakakmu! Dia tidak pernah sekalipun mengecewakanku! Sekaranglihatlah kau! Kau hanyalah seorang anak jalanan yang tidak memiliki arah hidup!Kau tidak memiliki masa depan! Dengan kata lain kau menyedihkan!"
"Mengapa Bunda tidak pernah berhenti membanding-bandingkanku dengan kak Bryan?Aku ingin menjadi musisi, Bunda. Kau tahu itu. Tapi kau terus saja memaksakumasuk fakultas kedokteran!"
"Aku menyesal telah melahirkanmu!" kata dokter Nurfina.
Tiba-tiba sekelompok polisi masuk dan meneriakkan agar semua pengunjungtiarap. Sebuah pistol tepat berada di sisi kiri Robert bersiap memuntahkanpeluru jika dia melakukan tindakan yang dianggap berbahaya. Robert tidakpeduli. Dia menerjang maju ke arah sang bunda. Tepat pada saat itu dokter Bryanmemeluknya dan membalikkan badannya.
DOR!
Peluru terlontar. Darah langsung membasahi lantai. Dokter Bryanmelepaskan pelukannya.
"Bryan! Apa yang kau lakukan!" jerit Robert saat sang kakak roboh kelantai. Sang bunda segera menghambur ke arah mereka. "Bunda... maafkan aku," katadokter Bryan sambil memegang erat tangan bundanya.
"Semua ini salahku, Bunda. Aku salah mendengarkan instruksimu. Saat itu kata "dua" terdengar seperti "lima",Bunda. Awalnya aku berpikir kau salah mengambil tindakan. Namun kepanikan diruang operasi karena pasien mulai sadar membuatku cepat-cepat menyuntikkan obatitu. Maafkan aku, Bunda. Maafkan aku karena aku telah menyuap semua saksi yanghadir di persidangan ini. Aku tidak ingin menjadi pesakitan, Bunda, dan karenakeegoisanku aku memprovokasi rekan-rekan sekalian untuk menuntutmu. Semuasalahku, Bunda. Maafkan aku," kata dokter Bryan.
"Will you do me a last favor, Mom?" tanya dokter Bryan yang nafasnyamulai tersengal. Dokter Nurfina mengangguk.
"Tolong sayangi Robert seperti kau menyayangiku."
Dokter Nurfina mendekap Bryan dengan erat ketika dia meregang nyawa.
+++
"Apa kabarmu, Nak?"
Seorang wanita datang mengunjungi Robert di rumah sakit jiwa hari itu.Robert tersenyum senang, khas seorang anak yang merindukan ibunya. "Bundadatang," katanya sambil berlari-lari kecil dan memeluk sang bunda. Tanpa sadarair mata sang bunda menetes. "Maafkan aku, Nak. Aku tidak bisa membalas pelukanmu,"katanya sambil melirik borgol yang mengikat kedua tangannya.
"I love you so much," kata Robert sambil mencium kedua pipi ibunya.Dokter Nurfina tersenyum. "I love you too," jawabnya. Robert tersenyum senang. DokterNurfina tersenyum getir. Maafkan bunda, Nak. Bunda tidak bisa mencurahkanperhatian padamu karena bunda masih belum bisa menerima statusmu, puterapertama dari mantan suamiku yang berselingkuh dengan wanita lain. MaafkanBunda, Nak, karena bunda sudah mengorbankanmu, batinnya.
"Bunda sedang apa? Bunda sedang main polisi-polisian ya?" tanyanya polos.Sang bunda hanya mengangguk. Robert menggenggam tangan dokter Nurfina danmengajaknya bermain bersama. Sang bunda tidak dapat menolak.
Diam-diam tiga orang calon dokter spesialis penyakit jiwa berbisik-bisiksaat mengamati mereka.
"Sayang sekali, ya. Dulu, Robert adalah seorang mahasiswa kedokteran yangberprestasi di kampus. Dia adalah teman sekelasku. Jiwanya pasti sangatterguncang karena kejadian itu."
"Ya. Sungguh menyedihkan. Apalagi sekarang ibunya harus dipenjara karenakesalahan yang bukan sepenuhnya miliknya."
"Dan sekarang Robert menderita skizofrenia paranoid dan dirawat di asylumini... ckckck... Mengenaskan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar