Connecticut, 20 Maret 2010
Dear papa…
I miss you so much, Pa.
Everything is doing great. Sungguh menyenangkan jika kau pernah menjadi siswa pertukaran pelajar. Kau bisa bertemu dengan banyak teman dari seluruh penjuru dunia dan bertukar pikiran dengan mereka. What a cool opportunity! Mereka membuka pikiranku tentang masa depan. And you know what, sepertinya aku berpikiran untuk menjadi seorang oncology surgeon sepertimu. Apalagi Yale University, tempatmu menempuh pendidikan spesialis beberapa tahun yang lalu, bisa kukunjungi setiap hari dengan menggunakan kereta selama sepuluh menit. Keren sekali rasanya jika aku bisa belajar di salah satu medical school terbaik di dunia itu.
Pa…
Beberapa hari yang lalu aku mengunjungi sebuah taman di tepi sungai dan melihat seorang anak berjalan bersama kedua orang tuanya. Aku ingin kembali ke saat-saat itu, Pa. Ketika kau selalu berada di sampingku. Ketika kau selalu ada saat aku membutuhkanmu. Ketika kau selalu siap mendengarkan keluh kesahku. Ketika kau ada untuk membuatku lebih tegar saat mama meninggalkan kita untuk selamanya. Saat itu aku melihat kehilangan yang begitu besar di matamu, Pa. Bahkan aku bisa melihatnya hingga sekarang.
Pa…
Ingatkah kau saat kita mengunjungi makam mama sebelum aku berangkat ke Connecticut? Kau masih saja meneteskan air mata saat mengelus batu nisan mama. Saat itu aku menggenggam tanganmu dengan erat, mencoba membagi kesedihan yang kau tanggung sendiri selama bertahun-tahun lamanya. “Seorang gadis berusia 18 tahun ada di sampingku, Ma. Dia begitu cantik dan cerdas,” katamu. Aku hanya tersenyum. “Aku sudah melakukan yang terbaik untuk mendidiknya,” katamu.
Kau memandangku dan tersenyum. Matamu memerah, begitu juga dengan mataku. Aku langsung memelukmu saat bahumu berguncang hebat. “I’m here, Pa,” kataku menenangkanmu. Kau balas memelukku begitu erat. “Maafkan Papa, Nak,” katamu. Aku menggeleng dan melepaskan pelukanku. Kuraup wajahmu dan kuciumi pipimu satu-persatu. “You have to be strong, Pa. Okay?” kataku sambil mengusap air matamu yang terus saja meleleh. Senyuman lebar itu kembali menghias bibirmu setelah kau mengecup keningku berulang kali. Entah apakah aku sanggup untuk meninggalkanmu saat itu, Pa.
Pa…
Mengenang hari-hari terakhir bersama mama masih kulakukan hingga saat ini. Sungguh, banyak memori yang sangat sulit untuk dilupakan, sampai pada suatu hari aku menemukan mama pingsan di kamar mandi. Saat itulah kita mengetahui bahwa mama terkena kanker leher rahim yang membuatnya harus menjalani pengobatan intensif di rumah sakit. Saat itu mungkin kau sudah mengetahui bahwa kanker yang diderita mama sudah tidak mungkin disembuhkan lagi, namun kau selalu menjawab mama baik-baik saja saat kutanya. Sampai pada suatu hari kondisi mama kritis dan kau, dokter yang menangani beliau, mengirimnya ke ruang ICU. Dapat kuingat wajah panikmu saat menyuruh suster memasang berbagai macam selang di tubuh mama. Lagi-lagi kau tersenyum tenang saat kutanya. “Mama baik-baik saja,” katamu. Namun pikiran kecilku mengatakan bahwa mama tidak baik-baik saja waktu itu.
Pa…
Sungguh, ingin rasanya aku memelukmu saat tiba-tiba kau datang dengan mata basah dan memberitahuku bahwa mama harus segera dioperasi. Namun kau mengelak saat aku menjulurkan tanganku. Bahkan bertatap matapun kau enggan. Seandainya kau mengizinkanku memelukmu sejenak saat itu, mungkin aku bisa sedikit mengurangi ketegangan yang kaurasakan.
Aku mengantarkan mama sampai di pintu rumah sakit, Pa, dan saat itu aku melihat kau berdiri di sana dengan mata basah. Seorang dokter berpakaian seragam operasi berwarna hijau tampak menggamit lenganmu. “Kau yakin akan melakukannya sendiri?” tanyanya. Kau menghela nafas panjang dan mengangguk, namun sedetik kemudian kau limbung dan terduduk di lantai. Aku langsung menghampirimu saat itu. “Papa?” panggilku saat melihat matamu terpejam. Air matamu tidak berhenti mengalir. Saat itu timbullah kekhawatiranku. Bukan pada mama, tapi padamu.
“Papa?” tanyaku sekali lagi. Kau masih memejamkan matamu. Kugenggam tangan kananmu dan kucium lembut. “Papa harus kuat. Papa harus kuat untukku,” kataku. Entah dari mana aku mendapat kekuatan untuk mengangkat tubuhmu dan membantumu berdiri tegak kembali. Kau tersenyum dan mencium kedua pipiku.
“Terimakasih, Sayang,” katamu sebelum kau masuk ke ruang operasi. Aku mengangguk dan mengedipkan sebelah mataku. Biasanya kau akan membalasnya dengan gelitikan di pinggangku, namun kali ini tidak. Saat itu aku menyadari ada yang tidak beres dengan semuanya. Denganmu dan mama. Aku sangat bersyukur, Pa, karena aku tidak meninggalkanmu saat itu.
Pa…
Aku tahu diam-diam kau mengusap air matamu saat menangani mama yang kondisinya semakin kritis. Aku juga tahu saat kau diam-diam kembali ke ruang praktekmu dan menangis setelah kau tidak berhasil mengembalikan denyut jantung mama lagi. Saat itu aku menyalahkanmu, Pa. Aku menganggapmu sebagai pembunuh mama. Aku tidak ingin menemuimu selama beberapa hari. Aku terus saja menganggapmu sebagai pembunuh mama sampai akhirnya kau jatuh sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Saat itu aku baru menyadari bahwa rasa kehilanganmu terhadap mama jauh lebih besar dari pada rasa kehilanganku.
“Maafkan aku, Pa,” kataku sambil memelukmu yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Kau memelukku dengan erat. Dapat kurasakan isakan halusmu saat itu, Pa, sebagai tanda bahwa kau memaafkanku dengan tulus. Pandanganku mengabur berkat air mata.
Pa…
Setelah kepergian mama, kau tetap mendampingiku seperti biasa. Hanya saja tugasmu bertambah satu: menggantikan posisi mama. Kau sudah melakukan yang terbaik, Pa, but sometimes a girl just needs her mom. Dapat kuingat ketika kau terpaksa menunjukkan video anatomimu saat aku mulai mendapatkan menstruasi pertamaku. Dapat kurasakan kebingunganmu saat kau menjelaskan siklus menstruasi padaku. Penjelasanmu yang berbelit-belit (saat itu usiaku masih 12 tahun dan kau sudah menggunakan istilah morula, blastula dan gastrula!) memaksaku untuk mencoba-coba menggunakan kamus kedokteranmu. Saat itu aku menemukan sebuah kata yang dihiasi dengan coretan spidol berwarna merah di bawahnya. Kanker rahim. Aku terus membaca kamusmu, Pa, dan tanpa sengaja aku menemukan selembar foto mama terselip di salah satu halaman. Di belakang foto itu tertulis, “Mutia Kasih, 20 Maret 2004. I love you with all parts of my heart.”
Tahukah kau, Pa? Saat itu aku sangat berambisi untuk menjadi dokter sepertimu. Entah kapan kesempatan itu akan datang padaku. Semoga saja aku belum pergi meninggalkanmu.
Pa…
Saat aku mulai beranjak remaja, kau mulai over protective padaku. Kau tidak mengizinkan satupun teman lelakiku untuk membawaku keluar rumah meskipun kami tidak memiliki hubungan apapun. Lalu kau mulai mengawasi kegiatanku saat nilai rapor semesterku jeblok. Kau memasukkanku ke sebuah lembaga bimbingan belajar dan meminta salah satu putera dari temanmu untuk menjadi guru privatku. Kau tahu betul kelemahanku, Pa. Aku tidak suka dikekang.
Saat itu aku terus memberontak, bahkan hampir lari dari rumah karena kau memarahiku habis-habisan saat aku membolos les privat pada malam itu. Kau begitu marah, Pa, namun sama sekali tidak tampak gurat kebencian di wajahmu. Kau memarahiku dengan penuh rasa kasih sayang. Kau tidak ingin puteri semata wayangmu tumbuh di luar batas-batas yang telah kau rencanakan bersama dengan mama. Aku menangis saat itu. Aku berteriak di depan mukamu, “Aku benci papa!”
Aku berlari ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Namun siapa sangka pada malam harinya suhu tubuhku naik dan kaulah orang pertama yang mengetahuinya? Kau mengambil kain kompres dan mengompres dahiku. Kau juga memberiku beberapa butir obat. Saat itu aku baru sadar kalau kau begitu menyayangiku, Pa, sampai akhirnya kau terpaksa membawaku ke rumah sakit ketika melihat tanganku penuh bercak merah. Kau terus menenangkanku selama perjalanan menuju rumah sakit.
Kau tidak pernah melepaskan genggaman tanganku sampai aku berada di UGD. Aku bisa meraskan kebingunganmu saat itu. “Kau akan baik-baik saja, Nak,” katamu sambil mengelus rambutku. Panas tinggi yang kuderita membuatku tidak meresponmu. Aku tahu saat itu kau begitu mengkhawatirkanku, Pa, hingga akhirnya kau memutuskan untuk menanganiku sendiri karena dokter jaga UGD tidak kunjung menanganiku. Saat itu aku sempat malu padamu. Kau begitu menyayangiku, Pa, namun aku belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Dalam hati aku bertanya, “Pa, did I grow up according to your plan?”
Pa…
Masih teringat jelas ketika aku terbangun di tengah malam dan melihatmu sedang memegangi perutmu. “Ada apa, Pa?” tanyaku saat melihatmu meringis menahan sakit. Kau menggeleng dan mengelus kepalaku. “Nothing to worry about, Dear. I’m fine,” jawabmu. Aku segera memejamkan mataku setelah memastikan kau baik-baik saja dengan beberapa pertanyaan. Keesokan harinya aku kembali melihatmu kesakitan, Pa, dan oh! Wajahmu memerah karena menahan rasa itu. Tanpa pikir panjang aku langsung memanggil beberapa suster untuk membantumu. “I’ll be back soon,” katamu saat suster-suster itu membawamu dengan kursi roda. “Yeah, you should,” jawabku. Kau tersenyum dan mencium keningku.
Kau memang kembali beberapa lama kemudian, Pa, namun sebuah selang infuse telah menancap di tangan kirimu. Kau melempar senyum padaku. “What’s wrong, Pa?” tanyaku. Papa menggeleng. Dibantu oleh seorang suster, kau berbaring di ranjang yang ada di samping ranjangku. Kita tidur dengan berpegangan tangan, Pa, dan pagi harinya aku mendapatimu duduk di sampingku. “Bagaimana tidurmu, Nak?” tanyamu saat aku mengucek mataku. Aku tersenyum dan mengangguk. “Kau sakit apa, Pa?” tanyaku. Lagi-lagi kau mengelak. “Aku baik-baik saja,” jawabmu. Namun aku tahu kau tidak baik-baik saja saat sekali lagi kau memegangi perutmu. “Tapi kau kesakitan,” kataku khawatir. Kau tersenyum dan menggeleng. “Jangan mengkhawatirkanku, Sayang. Kau harus cepat sembuh,” katamu.
Pa…
Seharusnya aku tahu tubuhmu mulai melemah karena penyakit yang kau derita itu. Setelah pulang dari rumah sakit, aku mendapatimu tidak sehat seperti biasanya. Aku tahu diam-diam kau meminum beberapa butir pil setelah makan pagi bersamaku. Aku juga tahu kau mulai mengurangi hobi bermain sepak bolamu. Kau mulai mengatur aktivitasmu. Tidak ada lagi papa yang pergi bersama klub raftingnya setiap hari minggu. Tidak ada lagi papa yang mengajakku bertanding basket di halaman belakang atau hanya sekedar berlari-lari kecil mengitari kompleks perumahan. Betapa kagetnya aku saat malam itu seorang petugas rumah sakit meneleponku dan memberitahuku bahwa kau dilarikan ke rumah sakit karena pingsan di tempat praktek beberapa hari setelah kita makan ice cream bersama di sebuah mall. Saat itulah kehidupan kita berubah. Kau semakin lemah, Pa, dan kau tidak mau aku mengetahui penyakitmu. Siapa sangka pada suatu pagi seorang dokter yang menanganimu memintaku untuk mendonorkan salah satu ginjalku padamu karena kau mengalami gagal ginjal!
Aku segera menyanggupinya saat itu, Pa, tapi kau marah. Kau tidak ingin aku mendonorkan ginjalku padamu. Berkali-kali aku berusaha meyakinkanmu kalau aku akan baik-baik saja meskipun harus hidup dengan satu ginjal. Saat semua kemungkinan penyembuhan yang kau jalani sudah tidak mungkin dilakukan lagi, kau baru menyetujuinya. Terlambat, Pa. Tubuhmu telah penuh dengan racun karena ginjalmu tidak berfungsi sama sekali. Aku begitu ketakutan saat operasi akan dilakukan. Berbagai pikiran berkecamuk dalam otakku sampai seorang suster mendorong ranjangmu dan meletakkannya di sampingku. Aku takut kau tidak akan selamat, Pa. Kugenggam erat tanganmu saat obat bius mulai mengalir di tubuhku.
Pa…
Aku sangat bersyukur ketika kau membuka matamu saat kita dirawat di ruang khusus bersama-sama. Kau selamat, Pa, dan aku berhasil menyadari betapa pentingnya dirimu dalam hidupku. Kau tersenyum manis ke arahku. Hampir saja aku menangis saat kau mengucapkan terimakasih padaku. Tidak, Pa, bukan kau yang seharusnya mengucapkan terimakasih. Tapi aku. Terimakasih karena kau sudah memberiku kesempatan untuk membalas semua jasa-jasamu. Kau pulih begitu cepat, Pa, begitu pula denganku. Aku sangat bersyukur, Pa, karena aku belum meninggalkanmu saat itu.
Aku kembali ke bangku sekolah beberapa minggu setelah operasi cangkok ginjal itu. Kau sendiri yang mengantarku ke sekolah. Terimakasih, Pa. Terimakasih untuk semua yang telah kau lakukan untukku.
Malam itu kau memintaku untuk menunggumu di sebuah restoran Chinese di tengah kota. Sungguh aku tidak menyangka kau akan datang bersama dengan seorang wanita cantik. “Mia, ini tante Tary, teman Papa,” katamu saat aku menjabat tangan wanita itu. Makan malam yang penuh canda tawa terulang lagi saat itu, Pa, dan kau terus saja tersenyum. Dalam hati aku berkata, “Pa, mungkin sudah waktunya kau mencari pengganti mama.”
Beberapa minggu kemudian kau memintaku untuk menemanimu mengunjungi makam mama. Malam sebelumnya aku sudah memberimu izin untuk meminang tante Tary. Acara pinangan itu sukses besar, Pa, namun sayang kau tidak mengizinkanku untuk terlibat di dalamnya. Kau hanya memintaku untuk menggenggam tanganmu dan mengurangi ketegangan yang kau rasakan. Aku tertawa geli saat kau menjatuhkan cincin pinangan yang akan dipasangkan di jari manis tante Tary karena tanganmu terus gemetar. “Bukankah kau sudah pernah merasakannya dulu, Pa?” batinku geli.
Persiapan pernikahan itu sungguh menguras waktu dan tenagamu, Pa, dan kau jatuh sakit selama beberapa hari. Aku sangat mengkhawatirkan kondisi ginjalmu saat itu, namun lagi-lagi kau menenangkanku. Kau betul, Pa. Tubuhmu kembali sehat dan kau sibuk mengurus persiapan pernikahanmu kembali. Sungguh merupakan kenangan yang tidak akan kulupa saat kau dan tante Tary mencoba hasil rancangan baju pernikahan di sebuah butik dan lagi-lagi air mataku menetes. Aku melihat sosok mama di dalam diri tante Tary.
Hari yang dinantikan itupun tiba. Kau tampak begitu gagah dalam balutan busana adat Jawa. Wajahmu begitu cerah, namun aku tahu bahwa kau masih mengharapkan sosok mama yang berdiri di sampingmu, bukan tante Tary. Saat itu aku benar-benar siap seandainya Tuhan memanggilku, Pa. Aku siap seandainya aku harus meninggalkanmu saat itu juga. Kali ini aku siap, Pa…
Satu hal yang perlu kau tahu Pa. Wherever you are, your little girl loves you so much.
Your little girl, Mia…
+++
Dokter Allan melipat surat yang ada di tangannya perlahan-lahan. Dikembalikannya surat itu ke sebuah amplop berwarna merah dan diciumnya sepenuh hati. “Papa rindu sekali padamu, Nak,” katanya. Dia meletakkan surat itu di lemarinya kemudian terduduk di ruang prakteknya. Perlahan-lahan dirabanya bekas luka yang melintang di perutnya. Dokter Allan tersenyum.
“Meskipun kanker kelenjar getah bening itu telah merenggutmu dariku empat bulan yang lalu, namun kau masih hidup di tubuhku. Terimakasih untuk semua memori indah itu, Sayang. Terimakasih untuk harta yang begitu berharga ini. I will always love you.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar