Kamis, 12 Agustus 2010

The Asylum
by Tha Yr on Friday, August 13, 2010 at 7:54am

"Saksi pertama, Dokter Arifin, dipersilakan untuk memberikan keterangan."

Seorang dokter bertubuh gempal maju dan meletakkan tangannya di atas Al-Quran. "Anda bersumpah untuk tidak berkataselain kebenaran dan tidak menyembunyikan kebenaran dari persidangan?" tanyaseorang lelaki yang memegang Al-Quran. Dokter Arifin mengangguk. Dia duduk disebuah meja di samping sang hakim. Seorang pengacara dari pihak terdakwabergegas memberinya beberapa pertanyaan.


"Apakah Anda, Dokter Arifin, berada di ruang operasi saat kejadiantersebut berlangsung?" tanya pengacara itu. Dokter Arifin mengangguk. "Saat itusaya menjadi asisten operasi dokter Nurfina," jawab dokter Arifin.



"Apa yang dilakukan oleh seorang asisten operasi, dokter Arifin?" tanya pengacaralagi. Dokter Arifin berdehem sejenak. "Saya hanyalah seorang residen tahunketiga. Dokter Nurfina hanya memberikan saya wewenang untuk mengambilkanalat-alat yang diperlukan," jawabnya.



"Apakah Anda tahu mengenai perintah dokter Nurfina kepada dokterspesialis anestesi untuk menambahkan obat bius karena pasien mulai sadar?" tanyapengacara lagi. Dokter Arifin mengangguk mantap, sama sekali tidak ada keraguandi wajahnya. Diam-diam seorang wanita berjilbab yang duduk di sampingpengacaranya di sudut ruangan menghela nafas panjang. Seorang pengacara lainnyaberusaha menenangkannya.



"Dokter Nurfina memberikan instruksi untuk menambah dosis obat biussebanyak lima kali lipat," jawab dokter Arifin. Wanita berjilbab itu kontanmenggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak melakukan itu! Dia hanyamenginstruksikan dokter anestesi untuk menambah dosis obat menjadi dua kalilipat, bukan lima!



Persidangan itu berlanjut dengan semakin banyak keterangan-keteranganpalsu dari saksi. Wanita berjilbab itu, terdakwa dokter Nurfina, Sp.JP, hanyamendesah. Seorang pria yang duduk di sampingnya tampak memberikan semangat. "Tenanglah,Bun. Aku percaya Bunda tidak melakukan itu," katanya di telinga ibunya.



+++



"Katakan!"



"Bukan aku! Aku bersumpah!"



"Katakan yang sebenarnya atau kugorok lehermu!"



"Bb... baiklah! Dia adalah saksi kedua yang menghadiri kasus ibumu beberapa minggu yang lalu. Aku hanya dibayaruntuk memberikan kesaksian palsu di persidangan! Tapi tolong, tolong rahasiakannamaku. Jika tidak mereka akan membunuhku."

"Mereka tidak akan membunuhmu karena aku akan membunuhmu lebih dulu!"



"Aaaarghh!!"



Robert menyeringai puas saat sang korban meregang nyawa di hadapannya.Dia mengambil pisau itu dan menjilati darah yang ada di permukaannya. "Oh,begitu rupanya. Aku tahu siapa yang telah memfitnah ibuku dan satu persatumereka akan mati di tanganku!" kata Robert disambung dengan derai tawa beberapaorang anak buah yang mengelilinginya.



"Pekerjaan kita masih banyak! Aku tidak akan berhenti sebelum merekasemua mati di tanganku!" kata Robert sambil memberikan tanda pada tiga orangpria bertubuh kekar untuk mengubur mayat orang yang baru saja dibunuhnya, seorangsaksi dari pihak penggugat yang mengatakan bahwa terdakwa, ibu Robert, dengansadar menambah dosis obat penenang sehingga membuat jantung pasien bermasalahsaat operasi di persidangan. Robert tersenyum sinis. "Dasar dokter tidakberadat! Seenaknya saja kau menuduh ibuku melakukan mal praktik. Sekarangrasakan akibatnya!"



+++



"Cukup untuk saksi pertama. Saksi kedua, dokter Tegar, dipersilakan untukmemberikan keterangan."



Seorang lelaki berkepala botak segera menempati tempat yang telahdipersiapkan. Setelah memberikan sumpah, dokter Tegar bersiap untuk menjawabpertanyaan dari pengacara terdakwa.



"Nama Anda dokter Tegar?" tanya pengacara. Lelaki itu mengangguk. "Apaposisi Anda saat operasi berlangsung?" tanya pengacara itu lagi.



"Saya bertugas mengawasi monitor jantung dan otak," jawab dokter Tegar. Pengacaradari pihak terdakwa itu mengangguk-angguk. "Anda berada dalam satu ruangan saatdokter Nurfina melakukan operasi?" tanyanya lagi. Dokter Tegar menggeleng.



"Tapi saya tahu jika dokter Nurfina menginstruksikan dokter anestesiuntuk menambah obat bius pada pasien lima kali lipat dari dosis standart," katadokter Tegar. Lagi-lagi wanita berjilbab itu mendesah panjang. "Bagaimanabisa?" tanya pengacara.



"Ruangan kami terhubung dengan sebuah mikrofon dan speaker. Kami bisasaling memantau kegiatan satu sama lain meskipun kondisi mikrofon tidak terlalubagus karena kami bisa melihat jalannya operasi melalui kaca penyekat ruangan,"jawab dokter Tegar. Dokter Nurfina kembali mendesah. Residen terbaiknya, dokterTegar Riyadi, telah memberikan keterangan palsu. "Saat itu kau jelas-jelasmendengar instruksiku, Nak. Aku menyuruh dokter anestesi untuk menambah dosisobat sebanyak dua kali lipat, bukan lima," kata dokter Nurfina.



"Saat itu Anda benar-benar mendengar bahwa dokter Nurfina menyuruh dokteranestesi untuk menambah dosis obat?" tanya pengacara dari pihak terdakwa.Dokter Tegar mengangguk. "Berapa banyak?" tanya pengacara dari pihak terdakwa.



"Lima kali lipat dari dosis normal," jawab dokter Tegar. Lagi-lagi dokterNurfina mendesah. Pria muda itu masih setia menggenggam tangan dokter Nurfinadengan erat seraya berkata, "Aku percaya padamu, Bunda."



+++



"Namanya Tegar, seorang calon dokter spesialis penyakit dalam yangmenjadi saksi kedua saat persidangan. Dia sasaran kita selanjutnya."



Robert membagikan lima lembar foto seorang lelaki berkepala botak padaanak buahnya. Tak lama kemudian mereka mengendarai sebuah mobil offroad danmengikuti sebuah mobil Mercy yang dikendarai oleh dokter Tegar. Namun sepertinyamobil sasaran mengetahui jika dirinya diikuti oleh mobil lain. Kejar mengejartidak terelakkan lagi.



"Ikuti terus! Jangan sampai lepas!" teriak Robert pada anak buahyangbertugas menyetir mobil. Mobil Mercy itu berjalan dengan kecepatan penuh.Mobil offroad tua milik Robert tidak bisa menandingi kecepatannya. "Kita ambiljalan pintas saja," kata Robert saat mobil Mercy itu semakin menjauh.



"Siap Bos," kata salah satu anak buahnya. Mereka berbelok ke sebuah gangsempit –lebih tepatnya jalan perkampungan- dan berhenti di sebuah persimpangan.Benar saja, mereka bisa melihat mobil Mercy milik dokter Tegar melesat kencang.



"Potong jalannya!" teriak Robert. Tak lama kemudian mobil jeep offroad miliknyaberhasil memotong jalan mobil Mercy itu. Robert dan enam orang kawannya segeramenghampiri dokter Tegar yang saat itu marah-marah.



"Ada apa ini?" tanya dokter Tegar saat Robert tersenyum sinis padanya.Robert mendengus. "Ada apa katamu? Aku datang untuk menuntut balas," jawabRobert. Dokter Tegar tampak berpikir sejenak. "Apakah keluargamu pernah menjadipasienku dan aku gagal menyelamatkannya? Oh, maaf sekali. Memang ajalnya sudahdekat," kata dokter Tegar enteng.



"Tidak ada satupun anggota keluargaku yang menjadi pasienmu. Tidak akanpernah!" jawab Robert garang. Dokter Tegar terkekeh.



"Lalu apa yang kau maudariku? Uang?" tanya dokter Tegar sambil mengeluarkan beberapa lembar uangseratus ribuan dari dompetnya. Robert semakin gusar dan memerintahkan dua anakbuahnya untuk menahan dokter Tegar.



"Hey! Hey! Apa-apaan ini?" bentak dokter Tegar. Dia berontak, apalagisetelah melihat Robert mengeluarkan sebuah jarum suntik yang telah diiisidengan cairan mematikan, sianida pekat. "Kau berhutang padaku, Dok, ataskesaksian palsumu di sidang tadi," kata Robert. Dokter Tegar menelan ludah.



"Kesaksianku benar adanya," kata dokter Tegar. Robert tersenyum sinis."Kau mau sianida ini masuk ke tubuhmu?" tanya Robert sambil menggulung lenganbaju tawanannya. Dokter Tegar berontak dan berteriak-teriak minta tolong. Robertsegera menutup mulut dokter itu.



"Oke. Baiklah, aku akan memberitahumu," kata dokter Tegar. Robert melepaskantangannya dari mulut dokter Tegar. "Dia adalah saksi ketiga yang dihadirkan dipersidangan! Tolong, jangan bunuh aku," kata dokter Tegar memohon pada Robert.Robert tersenyum sinis. Seorang calon dokter spesialis memohon-mohon padanyasetelah siang tadi dengan angkuhnya dia memberikan keterangan palsu dipersidangan.



"Ups, maaf. Aku tidak bisa membiarkan dokter yang tidak bertanggung jawabsepertimu berkeliaran di kota ini," kata Robert sambil menyuntikkan sianidapekat ke tubuh dokter Tegar. Tidak sampai sepuluh menit, dokter botak itumeregang nyawa.



+++



"Benar anda dokter Mirna?" tanya pengacara dari pihak terdakwa saatpersidangan menghadirkan saksi keempat. Seorang wanita blasteran bertubuhtinggi dan berkulit putih tersenyum. "Ya, benar," jawabnya.



"Anda berjanji akan berkata benar dan tidak mengatakan hal yang lainkecuali kebenaran?" tanya pengacara dari pihak terdakwa. Dokter Mirna kembalimengangguk. "Apa tugas Anda saat operasi berlangsung?" tanya pengacara daripihak terdakwa lagi.



"Saya bertugas mengawasi supply darah pasien sekaligus asisten operasidokter Nurfina," jawab dokter Mirna. Pengacara dari pihak terdakwa mengangguk. "Sungguhmengejutkan, wanita secantik Anda hanya menjadi asisten operasi, bukan actor utamayang melakukan operasi." Pengacara itu sedikit berbasa-basi. Wanita cantik yangduduk di hadapannya kali ini mau tidak mau sedikit mengurangi konsenterasinya.



"Kau akan kuoperasi jika kau mau," canda dokter Mirna. Pengacara daripihak terdakwa tertawa renyah. Sang hakim berdehem sejenak, membuat suasanakembali serius. "Thankyou, Your Honor," kata pengacara dari pihak terdakwa.Sang hakim mengangguk.



"So. Anda mengetahui saat dokter Nurfina memberikan instruksi pada dokteranestesi agar menambahkan dosis obat pada pasien?" tanya pengacara itu. DokterMirna mengangguk. "Sama seperti saksi-saksi sebelumnya, saya tahu dokterNurfina meminta dokter anestesi menyuntikkan obat tambahan sebanyak lima kalidari dosis normal," jawab dokter Mirna. Pengacara itu mengangguk-angguk.



+++



Dokter Mirna tengah mengendarai mobil sedannya saat sebuah panggilanmasuk ke ponselnya. Sebuah nomor tertera di layar. Tanpa pikir panjang diasegera mengangkatnya. Ah, mungkin telepon dari rumah sakit dan merekamembutuhkanku, batinnya.



"Hello sweetheart."



Dokter Mirna tampak berpikir. Jelas bukan rumah sakit yang menelepon jikamenggunakan kata-kata sweet heart seperti ini. Ah, mungkin pacarku, batinnya.



"Andrew, is that you?"



"No, I'm Robert."



"Robert who? OK, katakan apa perlumu. Quick."



"Oh, why are you so hurry, Hon?"



"Hey, diam! Katakan saja apa maumu!"



"Baiklah kalau itu maumu. Aku telah memasang peledak di mobilmu. Akuhanya ingin tahu siapa yang menyuruhmu memberikan kesaksian palsu dipersidangan tadi."



"Bullshit. Bohong!"



"Silakan lihat di bawah mobilmu, Dok. Ada pelat baja yang selalu berdetiklebih cepat setiap kali kau menambah kecepatan dan akan langsung meledak jika aku menekan tombol yang ada di tanganku ini."



Dokter Mirna bergegas menghentikan mobilnya namun urung karena Robertkeburu mengancamnya, "Jika kau berhenti maka kau akan mati seketika."



"Katakan apa maumu! Aku akan memberimu uang sebanyak yang kau mau. Tapitolong jangan bunuh aku."



"Katakan siapa yang menyuruhmu memberikan keterangan palsu saatpersidangan tadi!"



"Tidak ada yang menyuruhku!

"

"Katakan atau aku akan meledakkan mobilmu sekarang juga!"



"OK, baiklah. Dia adalah dokter anestesi yang ada di ruang operasibersama dengan dokter Tegar. Dia salah mendengar instruksi yang diberikan olehdokter Nurfina. Dia memberiku uang cukup banyak untuk memberi keterangan palsusaat persidangan! Dia adalah..."



BUUMMMM!!!



Robert menekan tombol yang ada di tangannya dengan penuh kebencian. Diadapat melihat kepulan asap tebal membumbung tinggi saat melihat ke arah utara.Mobil dokter Mirna sempurna terbakar.



"Brengsek! Ternyata kau pelakunya!" kata Robert sambil memutar mobilnya.Beberapa anak buah yang ikut di dalam mobilnya hanya menggedikkan bahu.



+++



"Sidang akan menghadirkan saksi terakhir. Dokter Bryan, silakanmemberikan keterangan."



Bryan memeluk ibunya sejenak dan melangkah menuju tempat yang telahdisediakan. Dia merapikan jasnya sejenak sebelum meletakkan tangannya diatasAl-Quran dan bersumpah hanya akan mengatakan kebenaran.



"Dokter Bryan?" sapa pengacara. Dokter Bryan mengangguk. "Sedikit bebanuntukku memberikan beberapa pertanyaan padamu. Namun kuharap kau akanmengatakan hal yang sebenarnya meskipun sang terdakwa adalah ibumu sendiri,"kata pengacara lagi. Dokter Bryan hanya mengangguk.



"Kau ada di ruang operasi saat itu?" tanya pengacara. Dokter Bryanmengangguk. "Aku adalah dokter anestesi yang menangani pembiusan pasien saatoperasi berlangsung," jawab dokter Bryan. Pengacara itu mengangguk-angguk."Anda adalah satu-satunya saksi kunci di persidangan ini," katanya.



"Anda yakin ibu anda meminta Anda untuk menyuntikkan obat bius tambahan?"tanya pengacara lagi. Dokter Bryan mengangguk. "Berapa banyak?" tanya pengacaralagi.



BRAAAKK...



"Bunda hanya memintamu menyuntikkan obat bius tambahan sebanyak dua kalilipat dosis standart, bukan lima!!" Robert membuka pintu ruang sidang dengankasar. Di tangannya terdapat sepucuk pistol yang siap memuntahkan pelurunyakapan saja. "Kau brengsek!" teriak Robert marah. Beberapa orang polisi segeramengepung tempat itu, namun mereka tidak berani mendekat karena Robert membawa pistol.



"Aku mengetahui semuanya, Kak," kata Robert sinis. Dokter Bryan hendakmaju mendekati sang adik namun tertahan saat sang adik mengacungkan pistol kearahnya. "Aku tahu kau membayar para saksi untuk memberikan keterangan palsu!Sebenarnya itu salahmu! Kau salah mendengar instruksi bunda karena saat itu kauberada di ruang monitor bersama dokter Tegar!" teriak Robert.



"Hey, ada apa denganmu Rob?" tanya dokter Bryan. Robert tersenyum sinis."Dialah pelakunya, pak hakim. Dia salah mendengar instruksi bunda. Bundamemberinya instruksi untuk menambah dosis obat sebanyak dua kali lipat, bukanlima!" teriaknya.



"Kau tidak diijinkan untuk berbicara di persidangan kecuali akumenyuruhmu berbicara!" bentak hakim. Robert terlihat semakin gusar. Diamerangsek maju mendekati hakim. "Salah satu saksi pasti telah menjelaskanpadamu, bahwa mikrofon di ruang monitor tidak dalam kondisi baik!" kata Robertdengan nada tinggi.



"Ya, memang ada saksi yang mengatakannya padaku. But can you please sitdown?" kata hakim berusaha menenangkan Robert. Robert menggeleng. "Jadikan akusaksi Pak Hakim!" bentak Robert. Hakim itu menggeleng. "You are insane! Get himout of here!" katanya. Robert berlari ke arah Bryan.



"Kau tega melakukannya! Dasar brengsek!" bentak Robert pada Bryan.Tangannya siap memukul wajah sang kakak, namun segera diurungkannya saat sangbunda berteriak, "Kalau kau melakukannya, aku tidak akan menganggapmu sebagaianak lagi!"



"Kau akan menyesal karena kau telah melahirkan anak seperti dia Bunda!"bentak Robert. Sang ibu menggeram. "Aku lebih kecewa memiliki anak sepertimu!"katanya. Robert terperangah. "Bunda..."



"Lihatlah kakakmu! Dia tidak pernah sekalipun mengecewakanku! Sekaranglihatlah kau! Kau hanyalah seorang anak jalanan yang tidak memiliki arah hidup!Kau tidak memiliki masa depan! Dengan kata lain kau menyedihkan!"



"Mengapa Bunda tidak pernah berhenti membanding-bandingkanku dengan kak Bryan?Aku ingin menjadi musisi, Bunda. Kau tahu itu. Tapi kau terus saja memaksakumasuk fakultas kedokteran!"



"Aku menyesal telah melahirkanmu!" kata dokter Nurfina.



Tiba-tiba sekelompok polisi masuk dan meneriakkan agar semua pengunjungtiarap. Sebuah pistol tepat berada di sisi kiri Robert bersiap memuntahkanpeluru jika dia melakukan tindakan yang dianggap berbahaya. Robert tidakpeduli. Dia menerjang maju ke arah sang bunda. Tepat pada saat itu dokter Bryanmemeluknya dan membalikkan badannya.



DOR!



Peluru terlontar. Darah langsung membasahi lantai. Dokter Bryanmelepaskan pelukannya.



"Bryan! Apa yang kau lakukan!" jerit Robert saat sang kakak roboh kelantai. Sang bunda segera menghambur ke arah mereka. "Bunda... maafkan aku," katadokter Bryan sambil memegang erat tangan bundanya.



"Semua ini salahku, Bunda. Aku salah mendengarkan instruksimu. Saat itu kata "dua" terdengar seperti "lima",Bunda. Awalnya aku berpikir kau salah mengambil tindakan. Namun kepanikan diruang operasi karena pasien mulai sadar membuatku cepat-cepat menyuntikkan obatitu. Maafkan aku, Bunda. Maafkan aku karena aku telah menyuap semua saksi yanghadir di persidangan ini. Aku tidak ingin menjadi pesakitan, Bunda, dan karenakeegoisanku aku memprovokasi rekan-rekan sekalian untuk menuntutmu. Semuasalahku, Bunda. Maafkan aku," kata dokter Bryan.



"Will you do me a last favor, Mom?" tanya dokter Bryan yang nafasnyamulai tersengal. Dokter Nurfina mengangguk.

"Tolong sayangi Robert seperti kau menyayangiku."



Dokter Nurfina mendekap Bryan dengan erat ketika dia meregang nyawa.



+++



"Apa kabarmu, Nak?"



Seorang wanita datang mengunjungi Robert di rumah sakit jiwa hari itu.Robert tersenyum senang, khas seorang anak yang merindukan ibunya. "Bundadatang," katanya sambil berlari-lari kecil dan memeluk sang bunda. Tanpa sadarair mata sang bunda menetes. "Maafkan aku, Nak. Aku tidak bisa membalas pelukanmu,"katanya sambil melirik borgol yang mengikat kedua tangannya.



"I love you so much," kata Robert sambil mencium kedua pipi ibunya.Dokter Nurfina tersenyum. "I love you too," jawabnya. Robert tersenyum senang. DokterNurfina tersenyum getir. Maafkan bunda, Nak. Bunda tidak bisa mencurahkanperhatian padamu karena bunda masih belum bisa menerima statusmu, puterapertama dari mantan suamiku yang berselingkuh dengan wanita lain. MaafkanBunda, Nak, karena bunda sudah mengorbankanmu, batinnya.



"Bunda sedang apa? Bunda sedang main polisi-polisian ya?" tanyanya polos.Sang bunda hanya mengangguk. Robert menggenggam tangan dokter Nurfina danmengajaknya bermain bersama. Sang bunda tidak dapat menolak.



Diam-diam tiga orang calon dokter spesialis penyakit jiwa berbisik-bisiksaat mengamati mereka.



"Sayang sekali, ya. Dulu, Robert adalah seorang mahasiswa kedokteran yangberprestasi di kampus. Dia adalah teman sekelasku. Jiwanya pasti sangatterguncang karena kejadian itu."



"Ya. Sungguh menyedihkan. Apalagi sekarang ibunya harus dipenjara karenakesalahan yang bukan sepenuhnya miliknya."



"Dan sekarang Robert menderita skizofrenia paranoid dan dirawat di asylumini... ckckck... Mengenaskan."

Kamis, 05 Agustus 2010

Surat Untuk Papa

Connecticut, 20 Maret 2010

Dear papa…

I miss you so much, Pa.

Everything is doing great. Sungguh menyenangkan jika kau pernah menjadi siswa pertukaran pelajar. Kau bisa bertemu dengan banyak teman dari seluruh penjuru dunia dan bertukar pikiran dengan mereka. What a cool opportunity! Mereka membuka pikiranku tentang masa depan. And you know what, sepertinya aku berpikiran untuk menjadi seorang oncology surgeon sepertimu. Apalagi Yale University, tempatmu menempuh pendidikan spesialis beberapa tahun yang lalu, bisa kukunjungi setiap hari dengan menggunakan kereta selama sepuluh menit. Keren sekali rasanya jika aku bisa belajar di salah satu medical school terbaik di dunia itu.

Pa…

Beberapa hari yang lalu aku mengunjungi sebuah taman di tepi sungai dan melihat seorang anak berjalan bersama kedua orang tuanya. Aku ingin kembali ke saat-saat itu, Pa. Ketika kau selalu berada di sampingku. Ketika kau selalu ada saat aku membutuhkanmu. Ketika kau selalu siap mendengarkan keluh kesahku. Ketika kau ada untuk membuatku lebih tegar saat mama meninggalkan kita untuk selamanya. Saat itu aku melihat kehilangan yang begitu besar di matamu, Pa. Bahkan aku bisa melihatnya hingga sekarang.

Pa…

Ingatkah kau saat kita mengunjungi makam mama sebelum aku berangkat ke Connecticut? Kau masih saja meneteskan air mata saat mengelus batu nisan mama. Saat itu aku menggenggam tanganmu dengan erat, mencoba membagi kesedihan yang kau tanggung sendiri selama bertahun-tahun lamanya. “Seorang gadis berusia 18 tahun ada di sampingku, Ma. Dia begitu cantik dan cerdas,” katamu. Aku hanya tersenyum. “Aku sudah melakukan yang terbaik untuk mendidiknya,” katamu.
Kau memandangku dan tersenyum. Matamu memerah, begitu juga dengan mataku. Aku langsung memelukmu saat bahumu berguncang hebat. “I’m here, Pa,” kataku menenangkanmu. Kau balas memelukku begitu erat. “Maafkan Papa, Nak,” katamu. Aku menggeleng dan melepaskan pelukanku. Kuraup wajahmu dan kuciumi pipimu satu-persatu. “You have to be strong, Pa. Okay?” kataku sambil mengusap air matamu yang terus saja meleleh. Senyuman lebar itu kembali menghias bibirmu setelah kau mengecup keningku berulang kali. Entah apakah aku sanggup untuk meninggalkanmu saat itu, Pa.

Pa…

Mengenang hari-hari terakhir bersama mama masih kulakukan hingga saat ini. Sungguh, banyak memori yang sangat sulit untuk dilupakan, sampai pada suatu hari aku menemukan mama pingsan di kamar mandi. Saat itulah kita mengetahui bahwa mama terkena kanker leher rahim yang membuatnya harus menjalani pengobatan intensif di rumah sakit. Saat itu mungkin kau sudah mengetahui bahwa kanker yang diderita mama sudah tidak mungkin disembuhkan lagi, namun kau selalu menjawab mama baik-baik saja saat kutanya. Sampai pada suatu hari kondisi mama kritis dan kau, dokter yang menangani beliau, mengirimnya ke ruang ICU. Dapat kuingat wajah panikmu saat menyuruh suster memasang berbagai macam selang di tubuh mama. Lagi-lagi kau tersenyum tenang saat kutanya. “Mama baik-baik saja,” katamu. Namun pikiran kecilku mengatakan bahwa mama tidak baik-baik saja waktu itu.

Pa…

Sungguh, ingin rasanya aku memelukmu saat tiba-tiba kau datang dengan mata basah dan memberitahuku bahwa mama harus segera dioperasi. Namun kau mengelak saat aku menjulurkan tanganku. Bahkan bertatap matapun kau enggan. Seandainya kau mengizinkanku memelukmu sejenak saat itu, mungkin aku bisa sedikit mengurangi ketegangan yang kaurasakan.
Aku mengantarkan mama sampai di pintu rumah sakit, Pa, dan saat itu aku melihat kau berdiri di sana dengan mata basah. Seorang dokter berpakaian seragam operasi berwarna hijau tampak menggamit lenganmu. “Kau yakin akan melakukannya sendiri?” tanyanya. Kau menghela nafas panjang dan mengangguk, namun sedetik kemudian kau limbung dan terduduk di lantai. Aku langsung menghampirimu saat itu. “Papa?” panggilku saat melihat matamu terpejam. Air matamu tidak berhenti mengalir. Saat itu timbullah kekhawatiranku. Bukan pada mama, tapi padamu.

“Papa?” tanyaku sekali lagi. Kau masih memejamkan matamu. Kugenggam tangan kananmu dan kucium lembut. “Papa harus kuat. Papa harus kuat untukku,” kataku. Entah dari mana aku mendapat kekuatan untuk mengangkat tubuhmu dan membantumu berdiri tegak kembali. Kau tersenyum dan mencium kedua pipiku.

“Terimakasih, Sayang,” katamu sebelum kau masuk ke ruang operasi. Aku mengangguk dan mengedipkan sebelah mataku. Biasanya kau akan membalasnya dengan gelitikan di pinggangku, namun kali ini tidak. Saat itu aku menyadari ada yang tidak beres dengan semuanya. Denganmu dan mama. Aku sangat bersyukur, Pa, karena aku tidak meninggalkanmu saat itu.

Pa…

Aku tahu diam-diam kau mengusap air matamu saat menangani mama yang kondisinya semakin kritis. Aku juga tahu saat kau diam-diam kembali ke ruang praktekmu dan menangis setelah kau tidak berhasil mengembalikan denyut jantung mama lagi. Saat itu aku menyalahkanmu, Pa. Aku menganggapmu sebagai pembunuh mama. Aku tidak ingin menemuimu selama beberapa hari. Aku terus saja menganggapmu sebagai pembunuh mama sampai akhirnya kau jatuh sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Saat itu aku baru menyadari bahwa rasa kehilanganmu terhadap mama jauh lebih besar dari pada rasa kehilanganku.

“Maafkan aku, Pa,” kataku sambil memelukmu yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Kau memelukku dengan erat. Dapat kurasakan isakan halusmu saat itu, Pa, sebagai tanda bahwa kau memaafkanku dengan tulus. Pandanganku mengabur berkat air mata.

Pa…

Setelah kepergian mama, kau tetap mendampingiku seperti biasa. Hanya saja tugasmu bertambah satu: menggantikan posisi mama. Kau sudah melakukan yang terbaik, Pa, but sometimes a girl just needs her mom. Dapat kuingat ketika kau terpaksa menunjukkan video anatomimu saat aku mulai mendapatkan menstruasi pertamaku. Dapat kurasakan kebingunganmu saat kau menjelaskan siklus menstruasi padaku. Penjelasanmu yang berbelit-belit (saat itu usiaku masih 12 tahun dan kau sudah menggunakan istilah morula, blastula dan gastrula!) memaksaku untuk mencoba-coba menggunakan kamus kedokteranmu. Saat itu aku menemukan sebuah kata yang dihiasi dengan coretan spidol berwarna merah di bawahnya. Kanker rahim. Aku terus membaca kamusmu, Pa, dan tanpa sengaja aku menemukan selembar foto mama terselip di salah satu halaman. Di belakang foto itu tertulis, “Mutia Kasih, 20 Maret 2004. I love you with all parts of my heart.”

Tahukah kau, Pa? Saat itu aku sangat berambisi untuk menjadi dokter sepertimu. Entah kapan kesempatan itu akan datang padaku. Semoga saja aku belum pergi meninggalkanmu.

Pa…

Saat aku mulai beranjak remaja, kau mulai over protective padaku. Kau tidak mengizinkan satupun teman lelakiku untuk membawaku keluar rumah meskipun kami tidak memiliki hubungan apapun. Lalu kau mulai mengawasi kegiatanku saat nilai rapor semesterku jeblok. Kau memasukkanku ke sebuah lembaga bimbingan belajar dan meminta salah satu putera dari temanmu untuk menjadi guru privatku. Kau tahu betul kelemahanku, Pa. Aku tidak suka dikekang.

Saat itu aku terus memberontak, bahkan hampir lari dari rumah karena kau memarahiku habis-habisan saat aku membolos les privat pada malam itu. Kau begitu marah, Pa, namun sama sekali tidak tampak gurat kebencian di wajahmu. Kau memarahiku dengan penuh rasa kasih sayang. Kau tidak ingin puteri semata wayangmu tumbuh di luar batas-batas yang telah kau rencanakan bersama dengan mama. Aku menangis saat itu. Aku berteriak di depan mukamu, “Aku benci papa!”

Aku berlari ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Namun siapa sangka pada malam harinya suhu tubuhku naik dan kaulah orang pertama yang mengetahuinya? Kau mengambil kain kompres dan mengompres dahiku. Kau juga memberiku beberapa butir obat. Saat itu aku baru sadar kalau kau begitu menyayangiku, Pa, sampai akhirnya kau terpaksa membawaku ke rumah sakit ketika melihat tanganku penuh bercak merah. Kau terus menenangkanku selama perjalanan menuju rumah sakit.

Kau tidak pernah melepaskan genggaman tanganku sampai aku berada di UGD. Aku bisa meraskan kebingunganmu saat itu. “Kau akan baik-baik saja, Nak,” katamu sambil mengelus rambutku. Panas tinggi yang kuderita membuatku tidak meresponmu. Aku tahu saat itu kau begitu mengkhawatirkanku, Pa, hingga akhirnya kau memutuskan untuk menanganiku sendiri karena dokter jaga UGD tidak kunjung menanganiku. Saat itu aku sempat malu padamu. Kau begitu menyayangiku, Pa, namun aku belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Dalam hati aku bertanya, “Pa, did I grow up according to your plan?”

Pa…

Masih teringat jelas ketika aku terbangun di tengah malam dan melihatmu sedang memegangi perutmu. “Ada apa, Pa?” tanyaku saat melihatmu meringis menahan sakit. Kau menggeleng dan mengelus kepalaku. “Nothing to worry about, Dear. I’m fine,” jawabmu. Aku segera memejamkan mataku setelah memastikan kau baik-baik saja dengan beberapa pertanyaan. Keesokan harinya aku kembali melihatmu kesakitan, Pa, dan oh! Wajahmu memerah karena menahan rasa itu. Tanpa pikir panjang aku langsung memanggil beberapa suster untuk membantumu. “I’ll be back soon,” katamu saat suster-suster itu membawamu dengan kursi roda. “Yeah, you should,” jawabku. Kau tersenyum dan mencium keningku.
Kau memang kembali beberapa lama kemudian, Pa, namun sebuah selang infuse telah menancap di tangan kirimu. Kau melempar senyum padaku. “What’s wrong, Pa?” tanyaku. Papa menggeleng. Dibantu oleh seorang suster, kau berbaring di ranjang yang ada di samping ranjangku. Kita tidur dengan berpegangan tangan, Pa, dan pagi harinya aku mendapatimu duduk di sampingku. “Bagaimana tidurmu, Nak?” tanyamu saat aku mengucek mataku. Aku tersenyum dan mengangguk. “Kau sakit apa, Pa?” tanyaku. Lagi-lagi kau mengelak. “Aku baik-baik saja,” jawabmu. Namun aku tahu kau tidak baik-baik saja saat sekali lagi kau memegangi perutmu. “Tapi kau kesakitan,” kataku khawatir. Kau tersenyum dan menggeleng. “Jangan mengkhawatirkanku, Sayang. Kau harus cepat sembuh,” katamu.

Pa…

Seharusnya aku tahu tubuhmu mulai melemah karena penyakit yang kau derita itu. Setelah pulang dari rumah sakit, aku mendapatimu tidak sehat seperti biasanya. Aku tahu diam-diam kau meminum beberapa butir pil setelah makan pagi bersamaku. Aku juga tahu kau mulai mengurangi hobi bermain sepak bolamu. Kau mulai mengatur aktivitasmu. Tidak ada lagi papa yang pergi bersama klub raftingnya setiap hari minggu. Tidak ada lagi papa yang mengajakku bertanding basket di halaman belakang atau hanya sekedar berlari-lari kecil mengitari kompleks perumahan. Betapa kagetnya aku saat malam itu seorang petugas rumah sakit meneleponku dan memberitahuku bahwa kau dilarikan ke rumah sakit karena pingsan di tempat praktek beberapa hari setelah kita makan ice cream bersama di sebuah mall. Saat itulah kehidupan kita berubah. Kau semakin lemah, Pa, dan kau tidak mau aku mengetahui penyakitmu. Siapa sangka pada suatu pagi seorang dokter yang menanganimu memintaku untuk mendonorkan salah satu ginjalku padamu karena kau mengalami gagal ginjal!

Aku segera menyanggupinya saat itu, Pa, tapi kau marah. Kau tidak ingin aku mendonorkan ginjalku padamu. Berkali-kali aku berusaha meyakinkanmu kalau aku akan baik-baik saja meskipun harus hidup dengan satu ginjal. Saat semua kemungkinan penyembuhan yang kau jalani sudah tidak mungkin dilakukan lagi, kau baru menyetujuinya. Terlambat, Pa. Tubuhmu telah penuh dengan racun karena ginjalmu tidak berfungsi sama sekali. Aku begitu ketakutan saat operasi akan dilakukan. Berbagai pikiran berkecamuk dalam otakku sampai seorang suster mendorong ranjangmu dan meletakkannya di sampingku. Aku takut kau tidak akan selamat, Pa. Kugenggam erat tanganmu saat obat bius mulai mengalir di tubuhku.

Pa…

Aku sangat bersyukur ketika kau membuka matamu saat kita dirawat di ruang khusus bersama-sama. Kau selamat, Pa, dan aku berhasil menyadari betapa pentingnya dirimu dalam hidupku. Kau tersenyum manis ke arahku. Hampir saja aku menangis saat kau mengucapkan terimakasih padaku. Tidak, Pa, bukan kau yang seharusnya mengucapkan terimakasih. Tapi aku. Terimakasih karena kau sudah memberiku kesempatan untuk membalas semua jasa-jasamu. Kau pulih begitu cepat, Pa, begitu pula denganku. Aku sangat bersyukur, Pa, karena aku belum meninggalkanmu saat itu.

Aku kembali ke bangku sekolah beberapa minggu setelah operasi cangkok ginjal itu. Kau sendiri yang mengantarku ke sekolah. Terimakasih, Pa. Terimakasih untuk semua yang telah kau lakukan untukku.
Malam itu kau memintaku untuk menunggumu di sebuah restoran Chinese di tengah kota. Sungguh aku tidak menyangka kau akan datang bersama dengan seorang wanita cantik. “Mia, ini tante Tary, teman Papa,” katamu saat aku menjabat tangan wanita itu. Makan malam yang penuh canda tawa terulang lagi saat itu, Pa, dan kau terus saja tersenyum. Dalam hati aku berkata, “Pa, mungkin sudah waktunya kau mencari pengganti mama.”

Beberapa minggu kemudian kau memintaku untuk menemanimu mengunjungi makam mama. Malam sebelumnya aku sudah memberimu izin untuk meminang tante Tary. Acara pinangan itu sukses besar, Pa, namun sayang kau tidak mengizinkanku untuk terlibat di dalamnya. Kau hanya memintaku untuk menggenggam tanganmu dan mengurangi ketegangan yang kau rasakan. Aku tertawa geli saat kau menjatuhkan cincin pinangan yang akan dipasangkan di jari manis tante Tary karena tanganmu terus gemetar. “Bukankah kau sudah pernah merasakannya dulu, Pa?” batinku geli.

Persiapan pernikahan itu sungguh menguras waktu dan tenagamu, Pa, dan kau jatuh sakit selama beberapa hari. Aku sangat mengkhawatirkan kondisi ginjalmu saat itu, namun lagi-lagi kau menenangkanku. Kau betul, Pa. Tubuhmu kembali sehat dan kau sibuk mengurus persiapan pernikahanmu kembali. Sungguh merupakan kenangan yang tidak akan kulupa saat kau dan tante Tary mencoba hasil rancangan baju pernikahan di sebuah butik dan lagi-lagi air mataku menetes. Aku melihat sosok mama di dalam diri tante Tary.

Hari yang dinantikan itupun tiba. Kau tampak begitu gagah dalam balutan busana adat Jawa. Wajahmu begitu cerah, namun aku tahu bahwa kau masih mengharapkan sosok mama yang berdiri di sampingmu, bukan tante Tary. Saat itu aku benar-benar siap seandainya Tuhan memanggilku, Pa. Aku siap seandainya aku harus meninggalkanmu saat itu juga. Kali ini aku siap, Pa…

Satu hal yang perlu kau tahu Pa. Wherever you are, your little girl loves you so much.

Your little girl, Mia…

+++

Dokter Allan melipat surat yang ada di tangannya perlahan-lahan. Dikembalikannya surat itu ke sebuah amplop berwarna merah dan diciumnya sepenuh hati. “Papa rindu sekali padamu, Nak,” katanya. Dia meletakkan surat itu di lemarinya kemudian terduduk di ruang prakteknya. Perlahan-lahan dirabanya bekas luka yang melintang di perutnya. Dokter Allan tersenyum.

“Meskipun kanker kelenjar getah bening itu telah merenggutmu dariku empat bulan yang lalu, namun kau masih hidup di tubuhku. Terimakasih untuk semua memori indah itu, Sayang. Terimakasih untuk harta yang begitu berharga ini. I will always love you.”

Bagaimana kualitas cerpen yang baru saja anda baca?